Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Bahaya Korupsi Melalui Politik Dinasti Desa
2 Juni 2020 8:53 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari M Harryasa Tafani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Korupsi dewasa ini telah menjadi problem serius berskala nasional (luas dan mengakar), tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah pun kini terjangkit korupsi.
ADVERTISEMENT
Korupsi menyerang berbagai lembaga-lembaga penting pemerintahan, baik ditingkat legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Pejabat-pejabat negara tak luput dari manisnya godaan korupsi, sehingga tak sedikit pejabat pemerintahan yang tersandung kasus korupsi.
Korupsi yang dilakukan pun beragam bentuknya mulai dari datang terlambat, bekerja malas-malasan, hingga penyalahgunaan wewenang, berarti korupsi tidak hanya mengenai kebendaan/materil.
Mengenai definisi korupsi sendiri yang paling dikenal masyarakat ialah perihal mencuri uang rakyat. Perumpamaan yang sering terjadi di masyarakat lebih ke bentuk pendekatan personifikasi, yaitu mengibaratkan koruptor sebagai tikus, dan korupsi ialah tindakan mengerat sisa-sisa bahkan makanan utuh milik orang lain.
Tindakan ini tentu merugikan, karena orang yang sebenarnya berhak atas suatu menjadi hampa tidak memiliki apa-apa, tersebab dicuri yang umumnya tidak dia sadari sendiri.
ADVERTISEMENT
Korupsi sendiri memiliki beberapa pola-pola dan penyebab-penyebab, di antara sebab khusus yang bahkan mampu memberikan dampak negative luar biasa adalah karena politik dinasti yang eksis.
Apalagi kini praktik korupsi melalui politik dinasti sudah merambah ke desa, tidak hanya ke kota. Kasus semacam tersebut benar terjadi, seperti kasus Ratu Atut di Banten, Dinasti Kukar oleh Rita dan Syaukani, serta Dinasti Cimahi oleh Atty Suharti dan suaminya.
Politik dinasti dapat dikatakan sebagai sebuah praktik penyelenggaraan distribusi kuasa dimana keluarga atau kerabat mendapat posisi serta perlakuan khusus dalam struktur internal pemerintahan. Hal ini mengindikasikan adanya proses kaderisasi penerus politik kuasa yang tidak sehat, karena cenderung memanfaatkan power demi kepentingan pribadi dan golongan.
ADVERTISEMENT
Rata-rata praktik ini tidak dibarengi dengan rasionalisasi yang jelas tentang kenapa anggota keluarga/kerabat tersebut diajukan/diberi kuasa. Dengan demikian, politik dinasti berarti sebuah proses dalam melanggengkan kekuasaan.
Mengapa politik dinasti bisa ada dan bahkan eksis?
Adanya hubungan kekerabatan atau kekeluargaan antara calon terpilih dengan penguasa sebelumnya. Hubungan ini mempengaruhi rasio pemilih, terutama bagi kalangan masyarakat desa yang merasa diuntungkan dengan program penguasa sebelumnya.
Kesadaran masyarakat desa masih rendah akan pentingnya demokrasi. Kesadaran pemilih pula dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan serta kecerdasan yang dimiliki. Rata-rata masyarakat desa akan memilih calon kepala desa yang eye catching serta yang hanya dikenal di mata mereka.
Tumpulnya kesadaran masyarakat tentunya akan sangat mengikis nilai-nilai demokrasi di desa.
ADVERTISEMENT
Calon yang terpilih memang memiliki kapasitas yang mumpuni untuk memimpin desa. Artinya walaupun secara langsung calon tersebut memiliki hubungan kekerabatan erat dengan kepala desa sebelumnya, ini tidak mempengaruhi rasio pemilih.
Hal tersebut terjadi karena calon terpilih dianggap mampu secara mandiri, mengayomi serta menelurkan program-program yang akan memajukan desa.Berdasarkan penjabaran d iatas korupsi merupakan tindakan dzalim luar biasa, apalagi bila diteruskan secara berkala bahkan turun temurun di keluarga.
Tidak mengherankan apabila terungkap kasus penangkapan pejabat terduga korupsi yang ternyata bermuara dari suntikan dana atau suap kerabat/famili nya sendiri yang juga pejabat pemerintahan.
Mentang-mentang punya uang dan relasi seakan dunia pun bisa dibeli. Bahaya. Bisa hancur negeri ini bila dibiarkan orang yang berkuasa gemar korupsi, menerima suap dan menyuap, gemar menebar "kekerabatan" dalam pemerintahan, dan mempekerjakan orang tanpa kualifikasi.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, korupsi bukan menjadi tabu, tapi seakan menjelma kebutuhan.
Moral dan harga diri seakan hilang di hadapan uang, jabatan hanya alat kepentingan bukan amanat rakyat.
Maka sudah sepantasnya perlu dilakukan pencegahan sebelum hal tersebut terjadi.
Kesadaran akan mudhorot korupsi harus dibina sejak dini. Kesadaran pemilih, terutama di desa harus ditingkatkan, mesti selektif dalam memilih calon pemimpinnya, yang adil dan bertanggung jawab. Sehingga amanat rakyat akan disalurkan menjadi kebijakan yang tepat.