Konten dari Pengguna

Gambaran Kecil Kompromi Politik di Indonesia

M Harryasa Tafani
Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya, Administrasi Publik Universitas Sriwijaya, Pendamping Koperasi dan UKM Provinsi Sumatera Selatan
1 Juni 2020 16:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Harryasa Tafani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kompromi, diambil dari www.freshdesk.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kompromi, diambil dari www.freshdesk.com
ADVERTISEMENT
Asas demokrasi merujuk pada kebebasan dan keteraturan dalam bernegara, dimana pengaturan hidup berkehidupan masyarakat dibangun atas konsensus bersama yang kemudian dikristalisasi menjadi hukum. Konsensus tersebut dirumuskan melalui drafting, pembedahan, pemilahan dan kemudian dilegalkan guna mendapat legitimasi dalam mengatur pola tingkah laku. Begitulah kinerja demokrasi, berasal dari dan untuk rakyatnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Proses pembuatan konsensus atau selanjutnya disebut sebagai kompromi merupakan salah satu bentuk budaya politik. Namun pengertian kompromi tidak hanya sebatas pada pembentukan hukum saja, kompromi dalam artian luasnya misalnya melakukan pemecahan atau mencari solusi dari dua atau tiga pilihan yang diperdebatkan susbtansinya.
Bila dikaitkan dengan konteks bahasan politik maka fungsi lain dari kompromi adalah pengambilan keputusan. Pada suatu kondisi, kompromi berarti usaha untuk mengurangi kebuntuan akibat perbedaan kepentingan, yakni ketika ada pihak dengan posisi yang saling memiliki kuasa tidak dapat bekerja sama dan selaras dalam pelaksaan fungsi pelaksanaan kuasa. Perlu dipahami pula, awal mula kompromi dipicu oleh dua pihak yang saling berseberangan, dan di Indonesia, pemilihan umum adalah wahana besar dimana konflik kepentingan saling beradu.
ADVERTISEMENT
Pemilu biang awal terjadinya kompromi politik?
Indonesia menganut sistem pemilu dengan asas demokrasi, yang berinstrumen multipartai dalam memilih representasi rakyatnya di ranah pemerintahan. Namun, problematika yang umum terjadi antara sistem presidensial dan sistem multipartai ialah terdapat fragmentasi dan polarisasi yang kuat. Fragmentasi dan polarisasi tersebut diakibatkan karena adanya peluang besar terjadi deadlock antara lembaga eksekutif dan legislatif, sehingga berdampak pada tidak stabilnya sistem demokrasi presidensial yang dianut Indonesia. Sistem multipartai saat ini pun tidak mampu menyuguhkan kondisi pembentukan kekuatan oposisi dan koalisi pemerintahan yang diperlukan untuk menjadikan pemerintahan yang kuat dan stabil. Justru dengan adanya multipartai pun semakin meningkatkan upaya pelemahan praktik politik check and balances.
ADVERTISEMENT
Mengapa?
Karena terdapat kemungkinan tentang suatu kondisi dimana legislatif dan eksekutif berasal dari satu partai atau koalsisi partai yang sama, yang dominan memenangkan pemilihan umum. Check and balances akan sulit bahkan mustahil dilakukan karena tidak adanya kepentingan yang bersebrangan, sehingga memuluskan praktik politik pribadi partai ketimbang mengajukan kebijakan kepentingan umum yang bisa saja berbeda haluan. Pada tahap ini kompromi politik tidak berjalan, karena tidak adanya dinamika atau konflik kepentingan yang berarti diantara pemangku kuasa.
Contoh kompromi politik terlihat pada pagelaran pemilu 2019, yakni ketika Jokowi memilih KH. Ma’ruf Amin sebagai kompromi untuk koalisi politiknya. Koalisi poltik tersebut terdiri dari sembilan partai politik. Tentunya sebelum KH. Ma’ruf Amin terpilih, terdapat beberapa nama calon yang menjadi prediksi awal. Mereka terdiri dari beberapa unsur yang diambil dari politikus, tokoh ulama, purnawirawan, pengusaha, teknokrat, dan dari unsur akademisi. Politikus diantaranya Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Romarhurmuziy, sementara dari unsur ulama ada KH Ma'ruf Amin dan Din Syamsudin.
ADVERTISEMENT
Dari figur teknokrat, muncul Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti. Tak ketinggalan ada nama Mahfud MD dari unsur akademisi, lalu dari purnawirawan TNI muncul Moeldoko, sedangkan figur pengusaha, ada Chairul Tanjung. Keluarnya nama KH. Ma’ruf Amin sebagai nama final pendamping Jokowi adalah hasil kompromi politik, lobbying partai-partai yang saling memiliki kepentingan dan tujuan yang bisa dikatakan "sehaluan" atau sama, namun tentu tidak akan 100%.
Adakah kompromi politik dalam pemerintahan?
Berdasarkan penjelasan diatas bentuk dari kompromi politik juga dapat dicontohkan dengan adanya pembentukan koalisi partai dalam pemerintahan. Hal tersebut sangat lumrah terjadi pada sistem pemerintahan presidensil multipartai. Tujuannya adalah mendapat dukungan mayoritas di parlemen, ketika tidak ada koalsisi maka dikhawatirkan akan banyak goncangan yang melanda pemerintah, contoh berkaitan dengan pengeluaran suatu kebijakan. Namun perlu digarisbawahi bahwa koalisi partai di Indonesia tidaklah bersifat permanen karena tidak ada jaminan hukum yang mengikat. Koalisi yang terjadi hanya berbentuk kompromi dibelakang meja yang dapat berubah-ubah jika terjadi suatu kondisi yang dianggap tidak menguntungkan suatu pihak. Kemudian, ketika terjadi pengkhianatan terhadap pemerintah yang dilakukan oleh partai politik koalisi tertentu, maka sulit bagi pemerintah untuk menuntut partai politik koalisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada kasus koalisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berada dalam koalisi pemerintahan SBY. Namun, ketika pemerintahan SBY menajalankan kebijakan kenaikan harga BBM, Partai Keadilan Sejahtera sepakat bersama PDIP saat itu juga untuk menolak kenaikan harga BBM. Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PKS saat itu, Fahri Hamzah mengatakan, partainya akan konsisten untuk menolak kenaikan harga BBM bersama partai pimpinan Megawati dan menyatakan bahwa kenaikan harga BBM akan menyengsarakan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Dipahami dari penjelasan tersebut bahwa kompromi politik akan terus terjadi selama ada dinamika politik dan kepentingan yang memicunya.