Konten dari Pengguna

Politik Badut: Problematika Demokrasi yang Tak Kunjung Surut

Muhammad Irfan Dhiaulhaq
An undergraduate student at the Faculty of Law at the Islamic University of Indonesia, currently write on human life and social culture problems.
2 September 2023 10:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Irfan Dhiaulhaq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pasca kemerdekaan Indonesia 1945 silam, Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta telah mendeklarasikan Indonesia merdeka sebagai sebuah negara yang demokratis melihat frasa teks proklamasi 17 Agustus 1945 “atas nama bangsa Indonesia” yang bermakna kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan bagi rakyat Indonesia sendiri. Namun, perkembangan terhadap demokrasi yang kerap terjadi mengalami pelengseran, khususnya ketika masa Orde Baru (1966-1998).
Rakyat Indonesia dipaksa mengikuti arus pemerintahan yang sangat otoriter dengan politisiasi oleh partai yang berkuasa pada saat itu. Di era Orde Baru, terjadi enam kali pemilihan umum yang selalu dimenangkan oleh partai Golongan Karya (Golkar). Hal ini karena semua elemen pemerintahan (pegawai negeri) diharuskan untuk memilih partai tersebut.
Oleh karena itu, alih-alih mengembangkan demokrasi secara merata, rakyat Indonesia kemudian terbawa arus otoriter yang ada. Setelahnya, perkembangan demokrasi mengalami penumbuhan di masa reformasi dengan munculnya beberapa partai dalam menyongsong sistem demokrasi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Beberapa partai tersebut seperti Partai Nasional Demokrat (NasDem) 2011, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 1998, dan lain-lain. Kemudian, perkembangan sistem partai tersebut mendominasi kursi pemerintah yang akhirnya menumbuhkan sistem parlementarisme di dalam struktur presidensialisme Republik Indonesia.
Kendati demikian, pergerakan pemerintah Republik Indonesia menjalankan demokrasi bersamaan di bawah kontrol partai-partai yang ada. Dampaknya, demokrasi yang dihasilkan mengandung polusi pengaruh partai serta ketidakmurnian aspirasi demokrasi masyarakat Indonesia.
Hasilnya para partai politik di mata publik memiliki citra yang kurang bagus karena mereka belum mampu memainkan dan menjalankan fungsi yang dimiliki dengan optimal.
Hal tersebut terlihat dengan ketidakmampuan mereka dalam mengerahkan dan mewakili kepentingan warga negara maupun dalam menghubungkan warga negara dengan pemerintahan. Sehingga, demokrasi yang ada tidak dimplementasikan dengan murni dan efektif.
ADVERTISEMENT
Salah satu permasalah yang timbul dari kendali partai politik adalah maraknya “politik badut” di dalam sektor pemerintahan. Para badut tersebut menyebar dan mengontrol dinamika perpolitikan Indonesia.
Badut politik ini biasanya mengumbar senyum di setiap perhelatan, cari sensasi, tebar pesona, tebar janji politik, jadi sosok seorang pahlawan dalam setiap acara terkait kemanusiaan, rasa simpati terhadap masyarakat lemah, serta berbagai program misi visi seolah menghipnotis segenap lapisan masyarakat.
Akibatnya, banyak sistem demokrasi yang tergerogoti berkat kehadiran badut-badut politik ini. Merapuhkan tatanan demokrasi negara yang seharusnya kokoh oleh rakyatnya, di lain sisi dikikis oleh pemegang takhta politik yang ada. Ibaratnya “yang di bawah membangun, yang di atas menimbun”.
Banyak aspirasi-aspirasi masyarakat yang tertimbun oleh rusaknya sistem demokrasi yang diambil oleh badut-badut tersebut. Seperti contoh atas dampak pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 silam.
ADVERTISEMENT
Banyak partai-partai yang mengajukan untuk mencabut undang-undang tersebut dikarenakan sangat tidak efektif dan efisien dengan frasa yang menyebutkan tentang persyaratan partai politik dalam threshold yang ada. Terutama dalam pasal 51 ayat 1 yang mengatur perihal verifikasi.
Pengikisan yang terjadi dalam lingkungan para partai ini menguatkan sistematika politik badut dengan lebih mengerucutkan aspirasi masyarakat dengan metode pengikisan partai politik yang tidak memenuhi prasyarat yang ada.
Hasilnya, banyak aspirasi masyarakat dari partai-partai politik yang terkikis tadi tidak tersampaikan serta tidak terwakilkan. Akhirnya, sistem demokrasi yang diinginkan berjalan sebagaimana mestinya justru terhambat.
Oleh karena itu, perlu adanya penataan partai yang efisien sesuai aspirasi masyarakat tanpa adanya pengurangan hak untuk berdemokrasi bagi masyarakat republik Indonesia. Politik badut yang terjadi perlu disingkirkan serta dimusnahkan karena dapat menjadikan demokrasi Indonesia memiliki parasit yang mengancam jalannya demokrasi ke depannya.
ADVERTISEMENT
Peninjauan Kembali (PK) terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 perlu diadakan, mengingat sangat pentingnya penataan partai politik bagi keberlangsungan demokrasi republik Indonesia.
Masyarakat republik Indonesia juga harus bijak dalam menentukan dan memilih calon yang akan menggerakkan sistem demokrasi mereka. Di mana, kerangka yang terbentuk nantinya menjadi fondasi bagaimanakah demokrasi rakyat dapat terjalankan dengan baik atau tidak.
Hancurnya sebuah demokrasi rakyat disebabkan karena kelalaian rakyat dalam menentukan penggerak demokrasi tersebut serta ketidakseimbangan aspirasi yang tersalurkan di dalamnya.