Konten dari Pengguna

Stigma Negatif Masyarakat Terhadap Penyintas Gangguan Mental

M Nafan Syarahil Nabih
Mahasiswa Sarjana Departemen Sosiologi Universitas Brawijaya
7 Desember 2022 21:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Nafan Syarahil Nabih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi penderita gangguan mental. Sumber foto: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penderita gangguan mental. Sumber foto: pexels.com
Kesehatan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Individu yang sehat akan mampu menjalani tuntutan kehidupannya dengan baik dan optimal sesuai dengan status dan peran yang diharapkan oleh masyarakat di mana individu tersebut hidup. Akan tetapi gangguan pada kesehatan manusia bukanlah persoalan yang mudah dihindari oleh manusia. Gangguan kesehatan sendiri ada yang bentuknya fisik dan ada yang menyerang aspek psikis dari manusia. Semakin berkembangnya zaman, gangguan-gangguan kesehatan dapat ditangani dengan baik berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia medis. Di sisi lain, majunya IPTEK dan arus informasi dan globalisasi yang semakin tidak terbendung lagi turut mendatangkan permasalahan baru bagi kesehatan manusia. Salah satu contohnya dalam hal ini adalah gangguan mental.
ADVERTISEMENT
Menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2000 gangguan jiwa pengertiannya adalah terjadinya perubahan pada fungsi jiwa yang mengakibatkan fungsi jiwa mengalami gangguan, sehingga menimbulkan penderitaan atau hambatan pada individu dalam melaksanakan peran sosial. Selalu ada penyintas gangguan jiwa di seluruh belahan dunia. Oleh karena itu gangguan jiwa sendiri dipandang oleh organisasi kesehatan dunia atau WHO (World Health Organization) yang berada di bawah naungan PBB sebagai isu global yang harus mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius, seperti Skizofrenia, Alzheimer, Epilepsi, Depresi, dan masih banyak yang lainnya.
Di Indonesia sendiri menurut Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018 melaporkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk yang berumur 15 tahun ke atas menderita gangguan mental emosional, sementara 12 juta penduduk di usia yang sama mengalami depresi. Adapun hasil survei dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAHMS) pada tahun 2022 menyatakan bahwa di antara remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia mempunyai masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir ini.
ADVERTISEMENT
Fakta ini cukup disayangkan, sebab para generasi muda tersebut dipersiapkan untuk menjadi generasi emas yang pada gilirannya akan menyokong bonus demografi serta untuk meraih visi Indonesia Emas pada tahun 2024. Yang menjadi kekhawatiran adalah hanya sedikit dari remaja tersebut yang berusaha mencari pertolongan profesional bagi gangguan mental yang mereka alami, kendati fasilitas kesehatan yang memiliki kapasitas untuk mengatasi permasalahan tersebut sudah mulai meningkat. Salah satu sebab yang mencegah mereka untuk mendapatkan bantuan sesegera mungkin adalah ketakutan bahwa mereka akan mendapatkan stigma buruk dari masyarakat setelah diketahui bahwa diri mereka sedang mengalami gangguan mental. Hal ini tidak saja terjadi pada kalangan remaja saja, tetapi secara umum bagi seluruh penderita gangguan mental.
Ilustrasi remaja yang mengalami gangguan mental. Sumber foto: pexels.com
Penderita gangguan kesehatan mental lebih mendapatkan stigma buruk dan pada akhirnya berujung pada tindakan diskriminasi yang ditujukan kepada mereka daripada mereka yang mengalami gangguan-gangguan kesehatan yang bersifat fisik. Penilaian seperti itulah yang justru menghambat para penderita gangguan mental sulit mendapatkan penanganan yang tepat atau gejalanya akan lebih mudah untuk kambuh lagi. Imbasnya gangguan kesehatan yang mereka alami lebih sulit disembuhkan dan justru dapat menjadi lebih parah lagi. Hak-hak sebagai manusia yang semestinya bagi penderita gangguan jiwa sering dilanggar. Di Indonesia sendiri kita masih menjumpai para penyintas gangguan jiwa ditelantarkan oleh masyarakat bahkan keluarganya, lalu ada pula yang dipasung, dan diasingkan. Padahal lingkungan keluarga dan masyarakat yang suportif adalah elemen penting yang menentukan keberhasilan untuk kesembuhan bagi penyintas gangguan mental.
ADVERTISEMENT
Kadangkala para penderita gangguan mental menunjukkan gejala-gejala yang dianggap aneh oleh masyarakat umum yang tidak mengalami gangguan yang sama. Mereka ada yang terlihat bergelandangan di jalanan, berbicara dan meracau sendiri, kemudian ada yang sering melamun, sulit berkonsentrasi, emosi yang tidak stabil, sehingga sering marah-marah, berbuat kerusakan, melukai diri sendiri, bahkan ada yang sampai melakukan percobaan mengakhiri hidup. Perilaku-perilaku di atas tentunya kerap kali membuat masyarakat merasa ketakutan dan melihat para penderitanya secara negatif karena perbuatannya yang menyimpang serta dinilai melanggar nilai-norma yang berlaku di masyarakat. Stigma dalam bentuk labelling negatif kemudian muncul dan diatribusikan kepada para penyintas gangguan mental sebagai orang edan, sinting, gila, dan semacamnya. Apabila masyarakat terlanjur menyematkan label negatif terhadap para penderita gangguan mental, maka masyarakat yang lainnya terdorong untuk memperlakukan para penderita gangguan mental sesuai dengan label negatif tersebut. Lebih dari itu, para penderitanya sendiri cenderung percaya dan mengikuti label negatif yang diberikan kepadanya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia juga menganggap penderita gangguan mental layak dikucilkan karena beranggapan bahwa gangguan kesehatan mental tidak dapat disembuhkan. Ini menunjukkan bahwa edukasi dan pengetahuan masyarakat mengenai persoalan kesehatan mental masih rendah. Akibatnya masyarakat memberikan respon yang kurang tepat dan sesuai terhadap isu-isu tersebut, serta justru membuat permasalahan tersebut tidak kunjung menemukan jalan keluarnya secara efektif, seperti tindakan dengan membawanya ke dukun dan menganggapnya sebagai orang yang dihukum dengan azab karena berbuat dosa.
Dengan demikian menciptakan lingkungan yang inklusif bagi penyintas gangguan mental adalah suatu keharusan. Karena sesungguhnya gangguan mental itu sendiri dapat dicegah dan diatasi tidak hanya secara medis dan obat-obatan saja, akan tetapi penerimaan dan dukungan oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat secara luas juga memainkan peran penting yang menentukan kesembuhan para penderita gangguan mental sehingga dapat berfungsi lagi secara sosial. Penyuluhan dan sosialisasi mengenai kesehatan mental perlu pula dilakukan agar masyarakat teredukasi dengan baik mengenai isu-isu tersebut. Harapannya setelah masyarakat memahami dengan baik, maka masyarakat tidak lagi memandang gangguan mental secara salah dan kurang tepat, sehingga mereka dapat memperlakukan para penyintas gangguan mental dengan lebih manusiawi lagi dan tidak mengabaikannya.
ADVERTISEMENT