Konten dari Pengguna

Delik Pers, Apakah Sudah Cukup?

Muhammad Naufal
mahasiswa ilmu komunikasi universitas andalas
22 Oktober 2022 14:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Naufal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
www.pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
www.pexels.com
ADVERTISEMENT
Pers memiliki fungsi dan peran yang cukup vital dan juga signifikan bagi suatu negara. Pers pada hakikatnya adalah alat untuk berkomunikasi dan konfirmasi dalam upaya penyebarluasan informasi. Bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia peran pers sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi mengenai hasil-hasil pembangunan di segala aspek yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk masyarakat. Dengan demikian, pada akhirnya pers juga mengajak masyarakat untuk ikut berperan serta dalam proses pembangunan.
ADVERTISEMENT
Penyebaran informasi melalui media cetak dan elektronik yang mampu menjangkau masyarakat lebih luas dan juga lebih cepat tanpa adanya batasan jarak dan waktu membuat pers mempunyai pengaruh yang kuat dalam upaya pembentukan opini di masyarakat. Walaupun pers memiliki peran yang cukup vital bagi negara, namun undang-undang pers yang di gadang-gadang mampu memfasilitasi para pekerja jurnalistik dari aksi-aksi kriminalitas nyatanya masih banyak kesalahpahaman dalam pengimplementasiannya. Kasus yang paling banyak terjadi adalah dalam delik pers. Para penegak hukum menggunakan Kitab Undang
Undang Hukum Pidana atau KUHP dibandingkan menggunakan UU Pers. Karena hal ini banyak terjadi kasus-kasus pelaporan pers oleh oknum yang menjadi objek berita dengan alasan pencemaran nama baik yang delik pidananya menggunakan KUHP.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat terjadi karena didalam UU Pers hanya diatur 3 delik pers yaitu: delik atas asas praduga tak bersalah, delik norma susila, dan delik norma agama. Sangat ironis, delik atas pencemaran nama baik ataupun penghinaan tidak diatur didalamnya. Fenomena ini lantas menimbulkan perdebatan di antara dua kalangan.
Bagi kalangan pers, UU ini sudah dapat dianggap sebagai lex specialis (aturan khusus) sebab pada dasarnya UU ini hanya mengatur dan menyelesaikan masalah yang berdampak akibat fungsi dan peran pers (Panjaitan, 2004). Berbeda dengan kalangan Pers, Nono Anwar Makarim (ahli hukum) menilai UU Pers belum dapat disamakan dengan lex specialis disebabkan UU Pers belum memenuhi syarat formal ataupun syarat material mengenai aspek-aspek hukum khusus. Hal ini disebabkan karena masih banyak kasus pidana terkait pers yang belum masuk didalamnya (Tjipta, 2005).
ADVERTISEMENT
Saat ini tidak jarang kita dapat melihat transformasi tindakan dari upaya pelaporan delik pers menjadi upaya kekerasan represif (sepihak) terhadap jurnalis. Hal ini banyak terjadi tanpa melalui prosedur-prosedur hukum yang telah ditentukan. Selain masih ada pelaporan delik pers yang kemudian diproses di pengadilan hingga oknum jurnalis ditetapkan sebagai tersangka dan mendapatkan hukuman. Tak sedikit juga upaya-upaya main hakim sendiri terhadap jurnalis terjadi karena pemberitaan jurnalis dianggap berlebihan dan cenderung mendiskreditkan satu pihak atau golongan.
Kebanyakan kasus yang terjadi mengaitkan delik pers dengan UU ITE dengan pasal 27 ayat 3 mengenai ujaran kebencian. Padahal, pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan seorang jurnalis dapat melakukan hak jawab seperti yang diatur dalam UU Pers No 40 tahun 1999. Bukannya malah melakukan tindakan pribadi yang justru berbuntut pada kerugian yang diterima jurnalis seperti membuka data pribadi (doxing) jurnalis beserta keluarganya ataupun tindakan-tindakan lainnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini selain bisa membunuh karakter jurnalis dan juga bisa merugikan secara materiil dan immaterial. Dengan demikian, UU Pers harus memiliki posisi yang kuat untuk melindungi insan pers. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk merevisi UU tersebut agar menjadi lex specialis dari KUHP.