Konten dari Pengguna

Gibran dan Kekuasaan: Membangun Masa Depan atau Mengorbankan Keadilan?

Muhammad Rahmat Ramadhan
Students Law-University Andalas
8 November 2024 14:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rahmat Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar : ilustrasi by pixel
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar : ilustrasi by pixel
ADVERTISEMENT
Kehadiran Gibran Rakabuming Raka di panggung politik Indonesia telah memicu perdebatan yang hangat dan penuh kontroversi. Sebagai putra Presiden Joko Widodo, Gibran berhasil menduduki jabatan penting dalam waktu singkat. Banyak yang mempertanyakan: apakah langkah-langkah ini mencerminkan ambisi pribadi yang mengabaikan keadilan dalam persaingan politik, ataukah ini murni perjalanan politik yang sah? Fenomena ini mengangkat isu penting tentang sejauh mana kekuasaan bisa diwariskan secara adil dalam politik yang sehat.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, Gibran menunjukkan bahwa ia memiliki visi dan tekad untuk memajukan daerah yang dipimpinnya. Sebagai Wali Kota Solo, ia dikenal aktif memperkenalkan berbagai program pembangunan dan kebijakan inovatif bagi masyarakat setempat. Keberhasilannya dalam bidang ini mendapat dukungan dari sebagian warga yang melihatnya sebagai pemimpin muda yang potensial. Oleh karena itu, banyak yang menganggap kiprah politiknya sebagai bagian dari perjalanan wajar seorang pemimpin muda yang ingin berkontribusi kepada negara.
Namun, di sisi lain, perjalanan politik Gibran juga menuai kritik. Banyak yang mempertanyakan kemudahan akses yang ia peroleh dalam meraih jabatan publik. Sebagai putra Presiden, kemudahan ini dianggap memberikan keuntungan yang tidak dimiliki oleh calon lainnya. Fenomena ini memicu kekhawatiran akan menguatnya dinasti politik di Indonesia karena kekuasaan cenderung berada di tangan keluarga. Ketidaksetaraan akses dan kesempatan dalam sistem politik menjadi sorotan, karena ini bertentangan dengan prinsip keadilan dalam demokrasi yang seharusnya menjamin peluang yang sama bagi setiap warga negara.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Indonesia memiliki contoh konkret mengenai dampak negatif dari dinasti politik, seperti yang terjadi di Banten, di mana beberapa keluarga terus mempertahankan kekuasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pola ini menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakpuasan publik, karena masyarakat merasa bahwa sistem politik lebih mengutamakan koneksi daripada kompetensi. Gibran, sebagai putra presiden, tidak bisa menghindari tantangan serupa dalam mempertahankan legitimasi dan kredibilitas di mata masyarakat luas.
Tentu, ada yang berpendapat bahwa Gibran memiliki hak yang sama seperti warga negara lainnya untuk berpolitik, dan bahwa kualitas kepemimpinannya seharusnya menjadi ukuran utama. Namun, dalam demokrasi yang sehat, transparansi dan akses yang setara adalah dasar penting. Jika seseorang mendapatkan akses yang tidak adil hanya karena kedekatannya dengan kekuasaan, maka kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi akan menurun, dan ini menjadi ancaman bagi integritas politik itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, fenomena Gibran dalam politik Indonesia mencerminkan realitas tentang ambisi, dinasti politik, dan keadilan. Ambisi pribadi dalam politik adalah hal yang wajar, tetapi ambisi yang mengorbankan keadilan dapat melemahkan sistem demokrasi. Untuk menjaga agar demokrasi tetap sehat dan adil, kita harus memastikan bahwa semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi, tanpa memandang latar belakang keluarga atau koneksi politik.