Konten dari Pengguna

Nasib Para Pekerja di Ujung Tanduk AI

Muhammad Tamim
Pendidik, pembaca, praktisi teknologi pendidikan, Widyaiswara Kemdikbud
2 Maret 2023 12:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Tamim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, sebuah kompetisi seni di sebuah event bernama Colorado State Fair membuat sedikit kehebohan. Pasalnya, salah satu pemenang dalam kompetisi tersebut adalah sebuah lukisan yang dibuat dengan bantuan teknologi Artificial Intelligance (AI) atau kecerdasan buatan bernama MidJourney.
ADVERTISEMENT
Banyak seniman yang menuding bahwa karya ini dianggap tidak layak jika dianggap sebagai sebuah produk seni. Jason Allen, si “seniman” yang “membuat” lukisan tersebut, berkilah bahwa tidak ada aturan yang dilanggar.
Perlu diketahui bahwa saat ini telah tersedia beberapa program AI yang dapat digunakan untuk membangkitkan suatu gambar dengan hanya membutuhkan pengguna untuk menuliskan deskripsi dalam bentuk kata-kata, yang dikenal sebagai prompt.
Prompt ini memberikan detail visual dari gambar atau lukisan yang ingin dihasilkan. Setelah pengguna mengklik tombol, sisa pekerjaan akan dilakukan otomatis program AI.
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Si “seniman” hanya tinggal duduk manis menunggu hasilnya sambil meneguk kopi panas. Jika hasil yang muncul tidak sesuai, tinggal pencet tombol lagi, atau kalau perlu, menyunting prompt, dan mengklik tombol Generate untuk membuat lagi gambar-gambar lain. Berulang-ulang sampai diperoleh gambar paling menarik atau sesuai keinginan.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu kemudian, kehebohan lain juga terjadi di dunia kepenulisan. Ammaar Reshi, seorang manajer desain, menerbitkan sebuah buku bergambar berjudul Alice and Sparkle, sebuah buku cerita bergambar yang menceritakan kisah Alice dan teman robotnya.
Buku ini terbit di Amazon dan meskipun tidak cukup laris, buku ini memicu perdebatan cukup seru, khususnya di kalangan penulis dan desainer grafis.
Hal ini mengingat Ammaar Reshi juga menggunakan program AI bernama ChatGPT untuk menciptakan kata dan kalimat dalam buku tersebut dan juga menggunakan program MidJourney untuk membuat gambar ilustrasinya.
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Dua peristiwa di atas hanya sebagian dari kontroversi yang akan bermunculan terkait dengan hadirnya AI. Perdebatan yang muncul, salah satunya adalah pertanyaan apakah pengguna yang menciptakan prompt ini layak disebut seniman?
ADVERTISEMENT
Apakah karya yang dihasilkan dari prompt ini layak disebut sebagai karya seni? Dan, lebih jauh lagi, perdebatan yang menjurus ke masalah etik, misalnya apakah teknologi AI harus dilarang, dibendung atau dikendalikan agar tidak membahayakan eksistensi manusia?
Kontroversi AI mungkin akan cukup terasa dalam waktu dekat ini terkait dengan pengaruhnya terhadap tenaga kerja manusia. Beberapa percaya bahwa AI akan menyebabkan pengangguran massal karena mesin akan dapat melakukan pekerjaan manusia dengan lebih efisien.
Namun, yang lain percaya bahwa AI akan menciptakan lapangan kerja dan industri baru yang bahkan tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Tidak ada keraguan bahwa AI akan berdampak bagi tenaga manusia mengingat teknologi ini semakin pintar dan terjangkau (affordable).
Ilustrasi ChatGPT. Foto: CHUAN CHUAN/Shutterstock
Hari-hari ini kita dapat mengakses ChatGPT dengan bebas dan dapat diperintahkan untuk menjawab apa saja pertanyaan kita, termasuk bisa diperintahkan untuk membuat tulisan sesuai instruksi yang kita berikan.
ADVERTISEMENT
Program semacam MidJourney, Dall-E, Stable Diffusion dan variasi-variasinya juga tersedia luas dan dapat diakses publik yang memungkinkan siapa pun membuat gambar apa pun hanya dengan menjentikkan jari. Kita bisa menjadi seniman hebat, asalkan mampu membuat prompt yang tepat.
Dengan beberapa perangkat AI yang terus bermunculan, dengan kemampuan yang semakin canggih dan bervariasi, semua orang kini akan mampu menjadi penulis dadakan, ilustrator instan atau musisi kagetan atau profesi lain yang di-support perangkat AI tanpa perlu banyak belajar dan berlatih.
Dampaknya, banyak profesi yang dulu hanya dikuasai dan didominasi segelintir orang, kini menjadi terbuka dan memungkinkan semua orang untuk ikut ambil bagian. Ini tentu saja juga akan sangat berdampak bagi industri terkait.
Ilustrasi ChatGPT. Foto: Iryna Imago/Shutterstock
Contoh kecil saja misalnya, seorang pengelola media online bisa saja memutuskan untuk mengurangi besar-besaran pegawai dan hanya mempekerjakan sedikit pekerja manusia dan mengandalkan AI, baik untuk memproduksi tulisan maupun ilustrasinya.
ADVERTISEMENT
Cukup dengan memberi perintah begini: “Buatkan tulisan dengan topik kampanye pemilu dan dampaknya bagi para tukang sablon, dengan gaya tulisan humor.” Klik! Dan Cling! Artikel muncul dengan ajaib.
Butuh ilustrasi? Cukup tuliskan prompt: “Gambar para tukang sablon tertawa bahagia sambil bekerja, dengan latar belakang baliho caleg yang tersenyum lebar, style pop-art,” klik! Dan cling!! Ilustrasi muncul dengan ajaib. Tinggal klik upload.
Murah, cepat, dan hasilnya tak kalah atau malah lebih bagus dari buatan manusia. Bagi pengusaha tertentu yang hanya mementingkan laba,pilihan menggunakan AI ini tentu sangat menggoda, apalagi di tengah hantaman resesi ekonomi.
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Ngerinya, perkembangan ini hanya sebagian kecil dari perkembangan besar yang diam-diam terjadi. Tidak ada jaminan pasti apa yang akan terjadi di masa mendatang: teknologi apa yang muncul dan akan menggusur peran manusia.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, banyak juga yang berusaha berpikir positif. Kemampuan AI yang terus berkembang, menumbuhkan potensi untuk membuat pekerjaan sulit menjadi lebih mudah, lebih cepat dan efisien.
Menurut kelompok ini, pekerjaan-pekerjaan sulit, membosankan dan berbahaya yang bisa dikerjakan mesin ya biarlah mesin yang bekerja. Manusia biarlah mengerjakan pekerjaan lain yang lebih ‘manusiawi’ atau menikmati hidup.
Bagi yang pesimistik, AI akan menjadi hantu baru yang semakin lama semakin menyeramkan yang mengintai apa pun profesi manusia. Tidak ada jaminan pasti bahwa perkembangan teknologi ini dapat menciptakan lahan-lahan pekerjaan baru bagi manusia.
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Pertanyaan besarnya kemudian adalah bagaimana kita mengantisipasi perkembangan ini? Berikut ini sedikit tips bagi siapa pun yang ingin survive menghadapi gelombang perubahan yang terus terjadi ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, jadilah manusia kreatif. AI pandai mengambil alih tugas rutin, tetapi (setidaknya hingga hari ini) tidak dapat menggantikan kreativitas manusia. Jika Anda dapat memanfaatkan dan mengembangkan sisi kreatif Anda, Anda akan dapat bertahan di era AI.
Kedua, jadilah pembelajar seumur hidup. Untuk bertahan di era AI, Anda harus menjadi pembelajar seumur hidup. Dengan lanskap yang selalu berubah, Anda harus dapat beradaptasi dan mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru dengan cepat.
Secara singkat, jadilah pemikir kritis, bertindaklah secara proaktif dan rangkul lah perubahan. Mampu berpikir kritis tentang informasi yang membanjir akan membantu Anda membuat keputusan yang lebih baik.
com-Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Dalam beberapa kasus, AI dinilai terlalu percaya diri sehingga perlu manusia yang kritis yang mampu mengontrol AI. Bertindaklah secara proaktif dan jangan menunggu sesuatu terjadi, buatlah itu terjadi. Di era AI, Anda harus proaktif untuk mampu bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Dan akhirnya rangkul lah perubahan, perubahan tidak bisa dihindari, jadi sebaiknya kita menerimanya sebagai sebuah keniscayaan. Di zaman AI, perubahan adalah satu-satunya yang konstan. Jika Anda dapat menerima perubahan, Anda akan dapat bertahan di zaman AI ini.
Pilihan-pilihan untuk merangkul atau menolak teknologi tentu menjadi pilihan masing-masing kita sebagai warga negara yang merdeka untuk memilih. Namun, pilihan untuk hidup berdampingan dengan AI, bagaimanapun, menjadi pilihan paling rasional. Tinggal di mana kita mengambil peran dan inisiatif secara tepat.