Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Secuil Kisah Motret Nyetreet
15 Desember 2017 23:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Fik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

"Pak, ngapain foto-foto?," tanya lelaki berseragam ala aparat keamanan dengan tatapan curiga menghampiri saya di suatu siang. Setelah dijelaskan tujuan aksi jeprat-jepret di salah satu halte bus TransJakarta semata karena hobi, si petugas jadi mahfum. Saya jelaskan merekam "emosi" warga dan kota Jakarta dengan ragam wajah, bukan untuk keperluan komersial. Semata diunggah di media sosial seperti Instagram. Si bapak malah tertawa saat ditunjukan beberapa foto di galeri IG saya @fik_motret. Itulah kekuatan foto. Imaji yang tersaji bisa mengaduk emosi penikmatnya.

Sebagian besar foto yang saya jepret dilakukan spontanitas atau diam-diam (candid) di tempat umum. Seperti taman, pedestrian, halte, stasiun sampai di dalam bus atau kereta api.
ADVERTISEMENT
Meski demikian aksi iseng saya membidik lensa dan memencet tombol 'shutter' kamera, tak selamanya dimengerti petugas keamanan. Misal saat tengah 'hunting' di Taman Ayodya, Blok M saya hampir diusir petugas Satpol PP. Pasalnya gerak-gerik saya membidikan lensa dipandang mencurigakan. Padahal yang dibidik juga burung yang hinggap di pepohonan :)
Kejadian lain saat berada di pintu keluar Stasiun KA Kota Jakarta. Saat kamera mirrorles mulai diarahkan ke obyek yang menurut saya menarik, dua petugas berbaju biru gelap dengan helm putih di kepala mengepung saya. Alasan yang saya sampaikan tak mereka pahami. Tak mau berdebat panjang, saya hapus sejumlah foto yang diambil tadi di hadapan mereka.

Sepengetahuan saya masih perlu banyak belajar ini, belum ada aturan baku bagi penikmat atau pehobi 'street photography' atau foto jalanan. Belum ada larangan hukum memotret di tempat umum. Dari bacaan di situs internet dan workshop yang saya ikuti, etika standarnya jangan asal jepret di ruang privat atau pribadi.Bisa panjang urusannya ke meja hukum. Oleh sebabnya sebelum membidikan lensa fotografer sebaiknya pandai membaca situasi. Memahami kebiasaan, budaya warga setempat. Jika obyek foto merasa keberatan direkam, dengan "lapang dada" fotografer tak memaksakan kehendak. Segera pindah cari obyek lain. Hal lainnya saat memotret berbaurlah dengan keramaian. "Bersikaplah santun saat memotret orang. Mereka adalah aset, bukan obyek penderita," seperti pesan yang saya kutip dari akun twitter @1000kata . Hal lain tak perlu penampilan dan pakaian berlebihan atau mencolok yang mengundang perhatian.
ADVERTISEMENT

Bagaimana dengan kamera yang digunakan? Kalau saya lebih nyaman memakai kamera kecil dan ringan seperti mirrorles atau smartphone. Kamera yang kecil dan ringkas dinilai tak "mengintimidasi" orang saat berburu foto, dibanding menenteng kamera DSLR yang "bongsor" dan menarik perhatian. Terlepas hal itu, apapun jenis dan mereknya, kamera hanyalah alat. Tak ada jaminan kamera berharga ratusan juta rupiah akan menghasilkan foto yang berkelas. Menarik dilihat atau dipuji keindahannya karena komposisi, elemen penunjang dan faktor pendukung lainnya.
Begitu pula dengan kamera ponsel, hasilnya tak selamanya buruk. Coba nikmati karya fotografi jalanan dari street photographer seperti @brendan.o.se yang pernah diganjar penghargaan iPhone Photographer of the Year 2017. Atau simak sejumlah karya @beawiharta fotografer Reuters asal Indonesia yang diambil dengan kamera ponsel android.

Akhirnya apapun 'genre' fotografi yang diminati, teruslah berkarya. Hambatan yang ditemui di lapangan sampai keterbatasan kamera jangan jadi penghalang untuk berkreasi. Jadi tunggu apa lagi, yuk ambil kamera turun ke jalan. Banyak momen menarik yang sayang dilewatkan. Salam jepret! (Fik).
ADVERTISEMENT