Tradisi Petik Laut Puger: Sebuah Wujud Filosofi Historis Masyarakat Pesisir

Muhammad Yusron
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Jember
Konten dari Pengguna
1 April 2024 8:46 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Yusron tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petik Laut Puger (Sumber: Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Petik Laut Puger (Sumber: Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia. Secara historis, bangsa Indonesia adalah bangsa bahari yang ditunjukkan dengan berbagai peradaban kerajaan nusantara dalam berinteraksi dengan komunitas dunia. Bangsa Indonesia berasal dari berbagai etnik. Keragaman budaya sudah mempengaruhi bangsa ini dalam memahami pentingnya budaya bahari. Budaya bahari sepatutnya dipahami sebagai cara atau pola pikir sekelompok masyarakat yang menetap di wilayah pesisir dengan memiliki cara pandang tertentu mengenai religi, pandangan hidup, bahasa, seni, mata pencaharian, organisasi, pengetahuan dan teknologi. Melalui analogi dari tujuh unsur universal budaya, ketujuh unsur tersebut diarahkan pada pemberdayaan dan sumber daya kelautan untuk pertumbuhan serta dinamika masyarakat yang menetap di wilayah pesisir pantai.
ADVERTISEMENT
Indonesia terdiri dari banyak pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, hal ini membuat Indonesia mempunyai beragam tradisi dan adat istiadat di setiap daerahnya. Tradisi yang dianut sangat beragam sesuai dengan kepercayaan dari masing-masing daerah tersebut. Semua tradisi dan adat istiadat sudah ada sejak dulu dan telah menjadi tradisi adat dan istiadat yang dilakukan secara turun temurun. Tradisi dan adat istiadat yang berbeda pada setiap daerah tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti agama, etnis, kultur dan letak geografis. Hal-hal tersebut juga mempengaruhi karakteristik dari masyarakat pada daerah tersebut.
Keanekaragaman tradisi dan adat istiadat merupakan hal yang sangat berharga serta suatu aset yang perlu dijaga dan dilestarikan. Berbagai macam tradisi itu menjadi karakteristik khas serta menjadi sebuah identitas bagi daerahnya. Tradisi atau adat istiadat yang dipengaruhi oleh letak geografis ini pada umumnya terjadi terhadap masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan maupun masyarakat pesisir. Mereka menggunakan alam sebagai kebutuhan hidup mereka, seperti masyarakat pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka mencari ikan dilaut untuk kebutuhan ekonominya.
ADVERTISEMENT
Tradisi atau adat istiadat merupakan sebuah budaya dan kearifan lokal yang harus dijaga, disebabkan hal itu dapat menjadi sebuah identitas dari masing-masing daerah. Budaya adalah salah satu peninggalan sejarah yang harus kita lestarikan saat ini sebab kehidupan yang menjadi lebih modern sedikit demi sedikit mengikis keberadaan budaya lokal. Dalam historisnya, Indonesia merupakan masyarakat dengan banyak suku dan budaya yang mempunyai kearifan lokal yang dilestarikan oleh masyarakatnya. Pada masa lampau, budaya menjadi pengganti dari agama sebagai petunjuk menjalankan hidup di dunia sebab masyarakat masa lampau belum mengenal adanya agama, tetapi perlu kita ketahui bahwa definisi agama dan keyakinan berbeda.
Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, mereka mempunyai cara pandangnya sendiri terhadap alam sekitarnya. Hal ini disebabkan masyarakat pesisir beranggapan bahwa hasil dari alam sekitarnya merupakan sumber daya serta kunci dari kesejahteraan hidupnya. Oleh sebab itu, hal ini membuat beberapa masyarakat pesisir mempunyai tradisi yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atau terima kasih disebabkan sumber daya alam (SDA) yang mereka peroleh dari laut dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Masyarakat pesisir pada umumnya menggunakan ritual yang sudah menjadi tradisi turun temurun sebagai ungkapan rasa syukur tersebut. Selain itu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir ini juga sebagai harapan atau doa agar hasil tangkapan ikan berlimpah serta pula mendapatkan keselamatan.
ADVERTISEMENT
Di wilayah Kecamatan Puger, masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pesisir pantai mempunyai tradisi yang sudah dilaksanakan secara turun temurun. Masyarakat menyebutnya dengan istilah “Petik Laut” atau “Larung Sesaji” yang dalam bahasa Madura atau orang Madura menyebutnya dengan istilah “Rokat Tase”. Petik laut merupakan tradisi sebagai ungkapan rasa syukur dan harapan para nelayan. Petik laut dilakukan dengan mengikuti kalender islam yaitu pada saat Suro atau Muharram. Pada awalnya tradisi ini adalah tradisi yang sempurna, tetapi pada saat ini lebih berkembang. Selain menjadi sebuah tradisi daerah masyarakat pesisir pantai, petik laut juga menjadi sebuah objek wisata.
Tradisi petik laut ini adalah penggabungan dari kearifan lokal dan agama. Dalam tradisi petik laut terdapat doa-doa pembacaaan ayat suci Al-Qur’an sebelum pada akhirnya sesaji dilarungkan ke laut. Melalui tradisi petik laut ini juga merupakan kegiatan bagi nelayan dalam mengungkapkan rasa syukur serta meminta pertolongan keselamatan kepada Tuhan. Dalam historis peradaban manusia, agama dan budaya mempunyai peran penting yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut dapat kita lihat dengan proses penyebaran agama Islam di Nusantara ratusan tahun yang lalu. Proses penyebaran tersebut di bawa oleh golongan ulama atau para wali melalui jalur perdagangan, sehingga agama Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Sejarah Petik Laut Puger
Tradisi petik laut puger adalah tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat nelayan Puger sejak tahun 1938 oleh seorang lurah Puger yang bernama Rustam. Beliau merupakan orang dikenal mempunyai keturunan darah biru dari Keraton Yogayakarta. Beliau melaksanakan tradisi petik laut ini persis dengan tradisi upacara adat yang dilakukan di pantai Parangtritis. Pada awalnya upacara tradisi di pantai Desa Puger ini bernama “Labuh Sesaji” atau disebut dengan istilah “Larung Sesaji”, tetapi terdapat perubahan yang dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan “Selametan” di daerah pesisir tersebut. Berhubungan dengan hal itu, masyarakat serta pemerintah desa sekitar menggantikan namanya dengan “Larung Sesaji”. Kegiatan yang dilakukan yakni dengan acara bersih desa atau disebut dengan “ruwatan” (slametan desa), yang dimana kegiatan ini dilaksanakan di balai desa. Di namakan larung sesaji sebab keseluruhan masyarakat yang tinggal di Desa Puger terdiri dari nelayan dan petani, sehingga nama Larung Sesaji digunakan untuk menyatukan masyarakat Puger yang berprofesi sebagai nelayan dan petani untuk bersama-sama mengucapkan rasa syukur atas hasil yang mereka dapatkan di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Petik laut sebenarnya dilaksanakan untuk memberi persembahan ke kappa Nyi Tlenges yang dikenal dengan Punggawa Nyi Roro Kidul, tempat yang mereka percaya yaitu berada di Plawangan yang dimana di tempat ini sering menelan korban jiwa para nelayan. Dalam ujub-ujub (permohonan doa secara adat) oleh sesepuh (dukun) setempat tidak terlepas juga menyebut yang baurekso atau nama dayang lain maupun arwah orang dikenal sakti pada zaman dulu. Adapun nama-nama baurekso yang disebutkan diantaranya yaitu Nyi Roro Kidul, Mbah Sindu Wongso, Mbah Sri Tanjung, Nyi Tlenges, Buyut Jirin, dan Mbah Surgi. Nama-nama tersebut merupakan yang baurekso dimana masyarakat setempat meyakini bahwa mereka menjadi penjaga di daerah Pantai dan mereka meminta mereka untuk menjaga para nelayan yang sedang melaut agar selamat dan terhindar dari bencana.
ADVERTISEMENT
Keunikan petik laut di daerah Puger terdapat adanya “Ubo Rampen”, Ubo Rampen dipersiapkan yang nantinya diletakkan dalam miniatur perahu yang sudah dibuat oleh nelayan setempat. Ukuran dalam perahu tidak ditentukan besar kecil atau lebar panjangnya miniatur yang dibutuhkan, tetapi jika bisa miniatur perahu yang dibutuhkan harus berukuran kecil sebab dengan pertimbangan bahwa perahu yang berukuran kecil dan terdapat sesaji didalamnya saat dilarungkan nanti dapat terbalik terkena goncangan ombak. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, apabila miniatur yang berisi sesaji-sesaji yang akan dilarungkan terbalik terhempas oleh ombak, artinya persembahan yang mereka berikan telah diterima oleh penguasa laut di pantai Puger.
Miniatur Perahu (Sumber: Dokumen Pribadi)
Proses Terjadinya Petik Laut Puger
Petik laut di Puger dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur atas karunia Tuhan atas laut yang telah menyejahterakan masyarakat pesisir setempat yang sangat bergantung terhadap hasil laut. Selain sebagai rasa syukur, petik laut juga merupakan bentuk doa pada Tuhan agar para nelayan yang hidupnya sangat dekat dengan kematian agar selalu diberi keselamatan serta dijauhkan dari segala marabahaya. Tradisi petik laut juga merupakan bentuk doa agar diberikan rezeki yang melimpah melalui lautan yang sangat luas. Selain aspek spiritua, tradisi petik laut juga menggambarkan hubungan sosial antar masyarakat yang begitu erat. Hubungan yang saling membutuhkan itu adalah gambaran sehari-hari dari kehidupan nelayan. Hubungan yang saling membutuhkan itu membuat hubungan antar masyarakat pesisir menjadi egaliter, tidak ada yang merasa mempunyai status paling tinggi.
ADVERTISEMENT
Dalam ritual petik laut ini terdapat beberapa pakem acara yang tidak bisa diubah. Akan tetapi, ada beberapa teknis acara yang bisa diubah. Pada zaman dahulu hanya berupa ritual sederhana yang terdiri dari selamatan yang diiringi adanya sesaji. Dalam acara selamatan dibacakan doa Agama Islam, yaitu Yasin dan Tahlil. Kemudian sesaji dibuang kelaut sebagai bentuk persembahan pada Ratu Laut Selatan.
Rangkaian Tradisi petik laut di Puger pada zaman dulu meliputi beberapa tahapan sebagai berikut.
Pada perkembangan selanjutnya Puger mulai dilirik oleh pemerintah daerah Kabupaten Jember sebagai aset wisata. Pada akhirnya Puger ditetapkan sebagai pantai wisata sekalipun belum dikerjakan dengan serius. Pada saat pelaksanaan acara petik laut, pemerintah kabupaten lebih banyak bertindak sebagai undangan. Seolah-olah menjadi pihak yang tidak berkepentingan dengan tradisi petik laut tersebut. Perkembangan wisata itu akhirnya membuat tradisi petik laut juga mengalami perubahan. Tradisi petik laut di Puger tidak lagi sederhana seperti zaman dahulu. Pada masa sekarang ini tradisi petik laut mengalami perubahan menjadi lebih meriah. Sekarang tradisi petik laut tidak hanya diikuti oleh nelayan setempat, namun juga diikuti oleh wisatawan di luar Puger. Bahkan sekarang banyak yang memilih menjajakan dagangan atau berjualan daripada mengikuti acara petik laut.
ADVERTISEMENT
Sekarang ini petik laut di puger dilakukan selama dua hari. Rangkaian tradisi petik laut meliputi beberapa tahapan sebagai berikut.
1) Selamatan di Balai Desa
Selamatan ini dipimpin oleh seorang Kyai setempat serta diikuti oleh seluruh nelayan di Puger. Pada acara selamatan ini hanya laki-laki yang mengikutinya. Dalam selamatan itu dibacakan doa berupa Yasin dan Tahlil. Pada acara selamatan itu juga disediakan baskom yang berisi bunga setaman.
2) Wayang kulit semalam suntuk
Setelah acara selamatan dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Wayang kulit dipilih sebagai salah satu rangkaian dari Tradisi Petik Laut sebab Puger adalah kecamatan yang penduduknya di dominasi oleh etnis Jawa.
3) Larung Sesaji
Pada acara Larung Sesaji ini diawali dengan kirap sesaji (kepala kambing dibungkus kain putih, darah kambing dalam kendi, air bunga setaman dalam baskom, miniatur bocah laki-laki dan perempuan dari tepung, sayatan daging sapi dibuat seperti sate lima biji, jajan pasar lima macam warna, jenang merah putih, damar kembang, dan hasil bumi) mengelilingi Desa Puger Wetan dan Desa Puger Kulon serta berakhir di Alun-Alun Puger. Di alun-alun dilanjutkan dengan acara mohon izin kepada Bupati Jember atau yang mewakilinya. Permohonan izin tersebut terdiri dari Kades Puger Wetan, Kades Puger Kulon, dan Camat Puger sebagai Panewu. Dalam acara mohon izin ini para pemohon izin melakukan suatu dialog. Setelah acara memohon izin selesai maka Bupati atau yang mewakilinya meletakkan uang logam yang dibungkus daun kering dalam miniatur perahu jukung serta perahu besar yang berisi ubon rampe sesaji.
ADVERTISEMENT
Kemudian sesaji yang terdiri dari ubo rampen diarak menuju pantai diikuti oleh semua peserta kirab termasuk Bupati Jember, Pejabat Teras, Dayang-dayang, Regu umbul-umbul, dan warga nelayan yang menggunakan baju tradisional. Di dekat pantai arak-arakan ini disambut dengan prosesi ujub-ujub yang dilaksanakan sesepuh atau dukun serta dilanjutkan dengan Tari Persembahan yang dilakukan oleh dua orang tandak sebagai pengantar ubon rampe yang akan dilarungkan. Setelah prosesi ujub-ujub para nelayan berebut air bunga setaman dalam baskom dan menampungnya dalam tempat minum kecil. Air bunga setaman itu ada yang diminum dan ada yang disiramkan ke kapal. Air bunga setaman yang telah didoakan ini diyakini sebagai air mukjizat. Kemudian sesaji yang berupa kepala kambing yang dibungkus kain putih dan nasi serta lauk pauk diletakkan dalam miniatur perahu yang terbuat dari pelepah pisang. Sesaji itu diletakkan di perahu dan dilepaskan ke laut. Kepala kambing ini menunjukkan penyerahan dan ketundukan manusia pada penciptanya serta rasa syukur sebab laut sudah menghidupi para nelayan. Sesaji lain juga dinaikkan ke kapal yang sudah dihias serta dibawa berlayar sejauh tiga kilometer dari pantai lalu dilemparkan ke laut diiringi shalawat dan takbir. Selanjutnya perahu kembali ke tepi pantai, kembalinya perahu ke pantai menunjukkan berakhirnya Ritual Petik Laut itu.
ADVERTISEMENT
Dari dua tahapan di atas dapat dilihat perbedaan bentuk antara petik laut di zaman dulu dengan petik laut zaman sekarang. Perbedaan yang terjadi bukan hanya pada kedatangan wisatawan domestik dan mancanegara, namun perbedaan bentuk ritual petik laut saat ini lebih meriah jika dibandingkan dengan petik laut di zaman dahulu. Petik laut zaman sekarang selain melibatkan lembaga pemerintahan juga menambahkan acara wayang kulit serta selamatan tidak lagi di pangkalan ikan tetapi di Balai Desa.
Referensi
Ayu, Arynl. (2018). Tradisi Larung Sesaji Puger Untuk Membentuk Masyarakat Polisentris. Jurnal Jantra, 13(2).
Fadillah, Wulan, Irma Juliana & Nindi Laili Safitri. (2023). Pemaknaan Tradisi Petik Laut Bagi Masyarakat Pesisir. Jurnal Ilmu Komunikasi, Sosial dan Humaniora, 1(2), 218-232.
ADVERTISEMENT
Siswahani, Yesandra Amelia. (2021). Desakralisasi Petik Laut Pantai Puger di Desa Puger Kulon Kabupaten Jember Tahun 1999-2013. Jurnal Pendidikan Sejarah, 10(3).