news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Anti-Mati di Era Disrupsi

Ma Isa Lombu
I'm Bukalapak
Konten dari Pengguna
13 Desember 2018 17:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ma Isa Lombu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Inovasi (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Inovasi (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Kita semua tahu bahwa saat ini, dunia sudah bergerak sangat cepat. Semua hal (seakan) go digital. Dampaknya adalah banyak value creator baru bermunculan, tetapi tidak jarang juga ada pemain lama berguguran, mulai dari media cetak yang hilang dari peredaran sampai ke perusahaan transportasi konvensional.
ADVERTISEMENT
Sebut saja beberapa retail terkenal seperti Lotus Department Store dan Debenhams yang telah ditutup oleh PT. Mitra Adi Perkasa, Tbk tahun 2017. Beberapa retail lain, seperti Disc Tarra, Payless Gymboree, dan Toys’R'Us juga hengkang dari gelandang karena tidak mampu menghadapi gempuran pemain baru dengan senjata digital-nya yang lebih praktis, dapat bertumbuh dengan cepat, dan juga jadi primadona konsumen beberapa tahun belakangan ini.
Meskipun ada yang bilang bahwa penutupan ini terjadi karena adanya pergeseran perilaku dari perilaku membeli produk non-leasure (baju, tas, dll) menuju leasure dan experience-based consumption (restoran yang menawarkan konsep unik, travelling, dll) seperti yang dinyatakan Faisal Basri yang diperkuat dengan data penelitian dari Prof. Ari Kuncoro, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, justru beberapa pengamat lain mengatakan bahwa pergeseran yang sedang terjadi ini adalah perubahan perilaku belanja masyarakat dari non-digital ke digital.
ADVERTISEMENT
Perubahan Pola Konsumsi
Sejak menjamurnya e-commerce di Indonesia, banyak kaum hawa yang sudah hampir tidak pernah berbelanja di gerai offline. Mereka mengubah perilaku berbelanjanya dari offline menjadi serba online. Selain karena faktor kepraktisan (belanjaan dapat diantar ke rumah), dengan berbelanja online, pilihan produk akan jauh lebih bervariasi dan mudah bagi para konsumen untuk melakukan perbandingan produk.
Coba bayangkan jika kita berbelanja offline, berapa besar usaha yang kita keluarkan untuk sekadar memilih produk yang kita akan beli. Jalan dan memilih dari satu bagian toko ke toko lainnya di sebuah mall konvensional sungguh benar-benar menguras tenaga.
Belum lagi ketika masyarakat Indonesia mengenal produk marketplace yang menyediakan jutaan barang dari kaos kaki sampai mobil, seperti Bukalapak misalnya, tentu preferensi cara berbelanja konsumen akan berubah dan memilih sesuatu yang lebih praktis.
ADVERTISEMENT
Masih dengan Bukalapak, dengan banyaknya varian produk yang dimiliki oleh Unicorn berusia 8 tahun ini, seperti BukaEvent, BukaMotor, BukaEmas, dan Buka-Buka lainnya, konsumen praktis tidak akan mau membuang waktu di jalan-jalan Jakarta yang macet hanya untuk mendapatkan sejumlah pelayanan tertentu.
Ilustrasi financial technology. (Foto: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi financial technology. (Foto: pixabay.com)
Sekarang ini, para konsumen sudah begitu dimanjakan dengan teknologi. Pada era ini, produk yang kita inginkan dapat langsung hadir ke depan pintu rumah. Effortless, lebih efektif, dan juga efisien.
Jadi, jika pertanyaannya, apakah mereka yang gugur adalah perusahaan-perusahaan kecil kurang modal yang tidak dikelola dengan baik? Sama sekali tidak! Data mengatakan bahwa mereka yang gugur adalah produk-produk dari perusahaan besar yang sudah puluhan tahun merajai industri.
Lalu, apa yang menyebabkan mereka gugur?
ADVERTISEMENT
Mereka (jelas) terdisrupsi!
Para raksasa itu sepertinya mengalami gejala kekalahan pada era di mana para 'Daud millenials', yang notabene baru belajar bisnis, dapat dengan sukses menghancurkan para seniornya dengan dengan teknologi.
Disruptive Innovation
Perlu diketahui istilah disrupsi (disruptive innovation) sebenarnya bukanlah barang baru dalam terminologi ilmu management/ekonomi. Istilah ini pertama kali dilahirkan oleh Clayton M. Christensen dalam sebuah artikel yang berjudul "Disruptive Technologies: Catching the Wave". Artikel yang sangat futuristik itu ditulis bersama koleganya di Harvard Business School, Joseph Bower, pada tahun 1995.
Prediksi bahwa zaman akan berubah seperti yang diramalkan oleh Christensen dan Bower itu, saat ini, menjadi kenyataan. Setelah selesainya era dotcom dan berlanjut ke era aplikasi, kini setiap hal rasanya sudah berada di genggaman tangan.
ADVERTISEMENT
Dengan telepon pintar yang Anda miliki, toko pakaian, toko makanan, bioskop, surat kabar, pool taxi, sampai gerai pijat sudah dapat terakses dengan mudah. Sekali klik. Dengan perkembangan teknologi ini, jelas perilaku manusia berubah. Dari membeli dengan mengunjungi sesuatu, menjadi membeli dengan mendatangkan sesuatu.
Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana seharusnya para 'Goliath' dapat survive melawan 'Daud' yang gesit dan skillful tiada terkira ini?
Survival Skills
Ilustrasi perencanaan startup. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perencanaan startup. (Foto: Pixabay)
Cara paling umum digunakan untuk dapat membuat para perusahaan besar bertahan pada era disrupsi ini, selain dengan menciptakan figur intrapreneur di dalam perusahaan, adalah dengan cara bergerak layaknya startup companies yang ramping (lean) dan result oriented, bergerak berdasarkan data (data driven mindset), dan agile (tahan banting), sehingga sanggup bergerak dalam kondisi yang cepat berubah ini.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan buku Lean Startup karangan Eric Ries, kondisi "startup" tidak harus disosialisasikan dengan perusahaan rintisan yang baru hadir di market. Startup didefinisikan sebagai "a human institution designed to create a new product or service under condition of extreme uncertainty".
Dari definisi tersebut, sebenarnya kondisi a la "startup" sejatinya juga dapat dihadirkan dalam perusahaan-perusahaan yang sudah well established dengan cara memfasilitasi para intrapreneur yang bekerja dalam perusahaan tersebut untuk bergerak bebas menciptakan sebuah produk baru yang competitive, layaknya para entrepreneur yang membangun startupnya dari awal. Sebuah lingkungan kerja yang memungkinkan para engineer dan business staff melakukan penelitian, percobaan, dan pengembangan produk baru secara cepat dan tepat.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya strategi membiakkan para intrapreneur ini sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan besar, Google salah satunya. Hari ini, Google sudah bertransformasi menjadi perusahaan teknologi raksasa yang sudah sangat jauh berbeda dibandingkan dengan di awal kemunculannya di Stanford tahun 1995. Bahkan saking besarnya, sang founder, Larry Page dan Sergei Brin memutuskan untuk membuat holding company yang dapat menampung anak-anak perusahaan Google yang makin merajalela. Holding company itu kita kenal dengan Alphabet Inc.
Menariknya, di Google, setiap Googlers (karyawan Google) dapat mengalokasikan 20 persen waktunya untuk mengembangkan ide dan passion mereka sendiri untuk akhirnya dapat dijadikan sebuah produk yang responsif terhadap kebutuhan manusia dan kondisi market yang terus berubah. Maka tidak heran, para Googlers dapat mengembangkan banyak sekali project-project yang super innovative, mulai dari projects yang sudah launch di market hingga project bawah tanah super rahasia yang sedang mereka kerjakan saat ini.
ADVERTISEMENT
Sebut saja Google mail (Gmail), yang sejatinya bukan pemain awal surat elektronik. Beberapa pemain awal seperti Hotmail, Yahoo mail, dll sudah menguasai Industri terlebih dahulu. Namun, karena Google memiliki kultur mengembangkan intrapreneur yang kuat, akhirnya mereka berhasil memiliki market share yang sangat luar biasa besar di dunia surat elektronik sekarang ini.
Belum lagi ketika kita bicara Google Maps ataupun Google Chrome yang saat ini sudah sangat mendunia. Keberhasilan produk-produk Google tersebut dihasilkan dari kultur perusahaan yang supportive dalam membiakkan para intrapreneur dalam organisasi mereka yang sudah sangat besar.
Sejatinya, apa yang dilakukan oleh Google juga bisa dilakukan oleh perusahaan besar lain. Yang harus mereka lakukan hanyalah membuat sebuah tim kecil dan mengkondisikan tim tersebut untuk bergerak layaknya para startup founders.
ADVERTISEMENT
Dengan konsep intrapreneur seperti itu, seharusnya, upaya untuk menghadirkan sebuah "produk baru dari perusahaan lama" dapat lebih mudah terealisasi. Apalagi ketika perusahaan tersebut disertai oleh kondisi permodalan yang kuat, kondisi cash flow yang sehat, serta lingkungan yang kondisif untuk melakukan market dan product research.
Jika memang option untuk menciptakan intrapreneur memang sulit untuk dilakukan, sebuah perusahaan sebenarnya dapat melakukan opsi lain seperti yang dilakukan Facebook dan Google.
Apa yang mereka lakukan? Mereka membeli produk digital yang sudah terbukti sukses di market. Seperti apa yang Facebook lakukan terhadap WhatsApp dan Instagram atau apa yang Google lakukan terhadap YouTube.
Atau, (lagi-lagi) jika memang opsi itu juga tidak dimungkinkan, sebenarnya terdapat satu lagi opsi yang dapat dilakukan, yakni dengan memfasilitasi para startup founder (yang menciptakan sebuah produk yang berkesesuaian dengan lini bisnis si perusahaan) dengan sebuah program inkubasi dan menanamkan modal dengan kepemilikan saham mayoritas di sana. Lewat strategi ini, perusahaan dapat tetap melakukan inovasi produk tanpa harus merubah budaya perusahaan yang sudah established (dan bisa jadi sulit diubah).
ADVERTISEMENT
Saat ini, memang zaman telah berubah. Lebih cepat, lebih tidak menentu. Zaman VUCA (Volatile, Uncertain, Complex and Ambiguous), bahasa kerennya. Untuk itulah diperlukan cara pandang yang juga progressive untuk dapat beradaptasi secara lebih baik. Sehingga survival rate para perusahaan besar yang telah mapan akan semakin besar.
Ya, survive pada era yang super dinamis ini. Era paradoks di mana Daud dapat dengan gemilang mengalahkan Goliath.
Berkali-kali.