Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Nudge Theory, Marketplace dan Partisipasi Jaminan Halal di Indonesia
25 November 2019 12:56 WIB
Tulisan dari Ma Isa Lombu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun lalu saya melakukan sebuah perjalanan bisnis ke Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang muslim tentu penting bagi saya untuk memastikan setiap makanan dan minuman yang saya konsumsi adalah makanan dan minuman yang halal.
Didasari takut akan dosa dan panasnya neraka, saya dan wisatawan muslim lainnya pasti menjadi super skeptis dalam hal mengkonsumsi makanan dan minuman jika sedang melakukan perjalanan ke luar negeri, terutama ketika berada di negara yang mayoritas penduduknya bukanlah muslim.
Menariknya, Korea Selatan adalah salah satu negara yang (bisa dikatakan) serius merespons keinginan dan kebutuhan turis muslim akan produk-produk halal, macam saya ini.
Di tahun 2017 saja, Pemerintah Korea Selatan berencana mendatangkan 1,2 juta wisatawan muslim dari seluruh Indonesia. Melalui Korea Tourism Organization (KTO), pemerintah akan melakukan berbagai macam cara agar membuat negara gingseng itu menjadi negara yang ramah wisatawan muslim, termasuk di antaranya meningkatkan jumlah restoran halal di beberapa distrik di sana. Bahkan, lembaga Halal Committee Korean Muslim Federation (KMF), menerbitkan sebuah buku panduan makanan halal untuk memfasilitasi wisatawan muslim yang datang dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Aware akan potensi yang besar ini, maka para pelaku industri di Korea Selatan berlomba-lomba mensertifikasi produk dan layanan yang mereka miliki dengan sertifikat halal agar dapat dikonsumsi oleh turis muslim dari mancanegara.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Jawabannya adalah market driven, di mana pelaku industri berlomba-lomba merespons kebutuhan pasar, yang dalam hal ini adalah meningkatnya permintaan atas makanan dan minuman halal dari para wisatawan muslim dari seluruh dunia yang berwisata ke Korea Selatan.
Halal di Indonesia
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi yang ada di tanah air yang hingga kini baru sekitar 10% atau 688.615 produk yang memiliki sertifikat halal. Hal yang memprihatinkan ini dikatakan oleh Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim.
ADVERTISEMENT
Menjadi wajar akhirnya apabila Indonesia hanya menduduki peringkat ke-10 dalam kontestasi industri halal dunia, jauh di bawah Malaysia yang menempati urutan pertama (An Inclusive Ethical Economy, State of the Global Islamic Economy Report 2018/19), padahal penganut agama Islam di Indonesia mencapai 209,1 juta jiwa atau setara dengan 87,2 persen dari total penduduk Indonesia, ekuivalen dengan 13,1 persen dari seluruh umat muslim di dunia.
Koq bisa?
Hal ini terjadi karena mayoritas customer muslim Indonesia menggangap ketika sebuah produk di produksi di Indonesia, dibuat oleh orang Islam, yang dikerjakan oleh pegawai yang muslim, dan berada dalam kepemimpinan pemerintahan yang pucuk pimpinannya adalah muslim, maka sudah tidak perlu lagi meragukan kehalalan sebuah produk yang dibuat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, ketika sedang rapat dan disajikan snacks di meja rapat, pernahkah kita bertanya kepada si penyedia snacks apakah makanan tersebut halal atau tidak? Saya meyakini para peserta rapat langsung menyimpulkan bahwa snacks tersebut adalah makanan halal. Meski tidak ada yang tau validitas kehalalannya.
Kesimpulannya adalah, karena ketiadaan market driven seperti inilah yang saya yakini menjadi hambatan terbesar dalam meningkatkan pertumbuhan produk yang tersertifikasi halal di Indonesia.
Lalu bagaimana menciptakan market driven untuk menumbuhkan pertumbuhan sertifikasi halal di Indonesia?
Nudge Theory dan Sertifikasi Halal
Peraih penghargaan Nobel 2017, Richard Thaler dari Chicago University menemukan sebuah teori baru untuk mengendalikan manusia. Teori tersebut dia sebut sebagai Nudge (sentuhan kecil). Thaler berkeyakinan bahwa sejatinya perilaku manusia bisa dikendalikan dengan cara mempermudah si objek untuk melakukannya (make it easy).
ADVERTISEMENT
Jika kita menginginkan seseorang untuk berhenti merokok karena concern kesehatan misalnya, maka jangan minta dia berhenti merokok dengan cara memberikan punishment dan disincentives ini dan itu yang berbiaya tinggi.
Yang sebenarnya harus dilakukan adalah sesederhana mem-“fasilitasi” si addictive smokers itu dengan rokok lain yang “lebih sehat”, seperti Vape misalnya.
Maka dengan treatment murah tersebut, tidak ada banyak usaha yang harus dilakukan pemerintah dalam menciptakan masyarakat yang lebih sehat, misal dengan membuat program penyuluhan kesehatan yang sangat mahal atau mensubsidi biaya kesehatan BPJS sakit jantung dan paru-paru akibat dampak buruk rokok yang sangat besar itu.
Terkait apa kaitan Nudge Theory pada kasus bagaimana cara meningkatkan partisipasi pelaku Industri dalam mendaftarakan produknya akan sertifikat halal, saya telah melakukan sedikit percobaan.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah eksperimen sosial yang saya lakukan secara independen, saya meminta beberapa teman muslim saya untuk memilih dua buah kotak makan tertutup.
Kedua kotak makan tersebut dilengkapi label bertulisan. Satu kotak makan berlabel “ini halal”, dan kotak lainnya berlabel “ini haram”. Hasilnya adalah, ternyata semua objek uji memilih makanan dengan kotak berlabel “ini halal” dan menolak kotak lainnya yang bertuliskan “ini haram”.
Hal ini berarti bahwa objek uji sejatinya responsif dan sensitif terhadap produk yang haram dan lebih memilih untuk mengkonsumsi produk yang jelas ke-halalan-nya.
Masih dengan objek uji yang sama, saya tingkatkan tingkat kesulitannya. Saya kembali hadirkan dua buah kotak makan tertutup. Seperti percobaan sebelumnya, kotak makan tersebut dilengkapi label bertulisan. Perbedaannya adalah, hanya satu kotak makan berlabel “ini halal”, dan kotak lainnya tidak dibekali label apapun. Hasilnya adalah semua objek uji memilih makanan dengan kotak berlabel “ini halal” dan menghindari sesuatu yang tidak jelas statusnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat dimengerti mengingat manusia normal akan selalu memperhitungkan risiko dalam mengambil keputusan. Dengan memilih kotak makanan tanpa label, sesungguhnya ia telah mengambil risiko untuk memakan sesuatu yang hanya memiliki tingkat kehalalan 50%. Sedangkan dengan memilih makanan dengan label halal, maka ia sejatinya telah mengambil keputusan yang tanpa risiko sedikitpun.
Tidak selesai sampai di sana, saya kembali tingkatkan rasio kesulitan soalnya. Kali ini saya hadirkan tiga buah kotak makan tertutup. Kotak pertama ada label bertuliskan “ini haram”, Kotak kedua terdapat label “ini halal” dan kotak ketiga tidak terdapat label sama sekali.
Hasilnya adalah 100% objek uji memilih kotak dengan label “ini halal”, dan meninggalkan kedua kotak lainnya, baik yang bertuliskan “ini haram” atau tanpa label sama sekali. Ketika ditanya alasannya, hampir semua objek uji mengatakan bahwa mereka menginginkan sesuatu yang “pasti-pasti ajah”.
ADVERTISEMENT
Dari percobaan ini, baik untuk kondisi pertama, kedua dan ketiga, dapat disimpulkan bahwa sejatinya setiap manusia menginginkan sesuatu yang pasti-pasti saja. Maka “Nudge” (sentuhan kecil) yang (sebenarnya) bisa dilakukan untuk meningkatkan partisipasi pelaku Industri dalam mensertifikasi halal produknya adalah dengan sesederhana memfasilitasi para users dengan sesuatu yang “pasti-pasti aja”.
Semudah itu.
Implementasinya adalah dengan menciptakan semacam section halal pada marketplace ataupun toko offline retail yang ada.
Dengan mengaplikasikan Nudge treatment ini dengan membuat peraturan bahwa semua marketplace dan toko retail offline lainnya memiliki halal section tersendiri, maka harapannya produk-produk yang berada dalam section halal tersebut mengalami pelonjakkan pembelian (karena sesuai percobaan tadi bahwa diketahui konsumen menginginkan kepastian) dan mendorong pelaku industri yang produknya berada dalam section “abu-abu” (baca: syubhat) juga untuk mensertifikasi halal produknya (shifting) karena ketertarikannya akan omset yang lebih besar, seperti keuntungan yang dirasakan oleh para pelaku industri dengan produk di section halal.
ADVERTISEMENT
"People respond to incentives", Kalau kata Paul Krugman, salah satu peraih penghargaan Nobel Ekonomi dari US.
So..
Jika ada jalan yang lebih mudah dan murah, kenapa kita harus ambil jalan terjal, mahal dan juga berisiko?