The Puppet Master

Ma Isa Lombu
I'm Bukalapak
Konten dari Pengguna
20 Desember 2018 10:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ma Isa Lombu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
The Puppet Master
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mungkin jika ada survei tentang skill (kemampuan) apa yang paling diinginkan manusia, jawabannya adalah skill untuk mengendalikan manusia lain.
ADVERTISEMENT
Peristiwa manusia mengendalikan manusia lainnya sudah terjadi sejak Adam diciptakan. Yang jelas, pembangunan peradaban tidak mungkin terjadi ketika tidak ada keteraturan dan keteraturan hanya akan tercipta ketika perilaku sebagian manusia dikendalikan oleh manusia yang lain.
Sebut saja dalam proyek pembangunan piramida di Mesir yang kompleks. Dapat dipastikan ratusan ribu atau jutaan manusia dikontrol perilakunya dalam proyek tersebut. Proses pengaturan manusia sejatinya juga terjadi dalam keseharian kita, mulai dari jalannya roda pemerintahan, pembangunan mega proyek konstruksi, sampai arisan ibu-ibu di komplek perumahan.
Dahulu, tidak banyak metode yang dapat dilakukan oleh para pembuat kebijakan (entah apakah mereka sebagai penguasa ataupun pengusaha) untuk mengendalikan manusia lain. Cara yang mereka lakukan biasanya tidak jauh dari pemaksaan dengan kekerasan lewat perbudakan, atau memberikan orang lain yang ingin kita kontrol perilakunya dengan imbalan material, sebut saja upah.
ADVERTISEMENT
Namun hari ini, sepertinya manusia dan society semakin kompleks. Perbudakkan diharamkan terjadi lagi di muka bumi. Pun kita bicara insentif, dimensinya sudah semakin luas dan lebih kompleks dibandingkan skema insentif yang pernah diciptakan oleh para nenek moyang kita.
Bersyukur pada 1943 seorang psikolog pemerhati perilaku manusia bernama Abraham Maslow dari Amerika Serikat menemukan fakta bahwa manusia ternyata memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan dirinya masing-masing.
Gambaran mengenai perbudakan di Pulau Goree, Senegal. (Foto: Andreas Gerry Tuwo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gambaran mengenai perbudakan di Pulau Goree, Senegal. (Foto: Andreas Gerry Tuwo/kumparan)
Dalam teorinya, Maslow berpendapat bahwa kebutuhan paling mendasar yang dimiliki manusia adalah pemenuhan akan kebutuhan fisiologis (physiological needs) seperti kebutuhan untuk makan, mendapatkan tempat tinggal, ataupun melakukan aktivitas seksual.
Ketika kebutuhan mendasar itu sudah terpenuhi, maka kebutuhan manusia meningkat menjadi kebutuhan akan keamanan (security needs), kasih sayang (love/belonging needs), pengakuan dari orang lain (self esteem and recognition needs) dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya (self actualization).
ADVERTISEMENT
Dalam teori tersebut, Maslow seakan ingin mengatakan bahwa ketika kebutuhan (needs) manusia dapat terpenuhi, maka ia akan bergerak sesuai apa yang dia inginkan.
Era Big Data dan Behavioral Science
Daftar negara yang alami kebocoran data Facebook. (Foto: Facebook)
zoom-in-whitePerbesar
Daftar negara yang alami kebocoran data Facebook. (Foto: Facebook)
Gabungan antara big data dan behavioral science untuk mengendalikan manusia memang sudah terbukti efektif, sangat menakjubkan, sekaligus mengerikan.
Mungkin kita semua masih ingat ketika Cambridge Analytica berhasil mempengaruhi jutaan rakyat Amerika untuk memilih Donald Trump dan sukses membuat Inggris keluar dari Uni Eropa.
Dengan analisis Big Data dan Behavioral science, para genius dari Inggris itu berhasil memengarui jutaan orang untuk melakukan apa yang mereka desain sebelumnya. Peristiwa manusia mengendalikan manusia dalam jumlah yang sangat besar kembali terjadi di abad ini.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang membuat peristiwa ini menjadi semakin menarik adalah Cambridge Analitica tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun atau memberikan sejumlah insentif material kepada orang-orang yang mereka kendalikan perilakunya, layaknya metode konvensional yang dilakukan oleh para leluhur behavioral science terdahulu.
Hal lain yang membuat perkerjaan mereka lebih 'patut diteladani' adalah tidak satu pun orang-orang yang mereka kendalikan itu mengetahui bahwa ternyata perilaku mereka telah dipengaruhi oleh pihak lain. Jutaan orang itu merasa bahwa mereka telah bertindak atas rasionalitasnya sendiri.
Luar biasa!
Mungkin banyak ahli dan praktisi yang telah dikenal masyarakat dunia berkaitan dengan penggunaan dan optimasi big data serta behavioral science untuk mengendalikan manusia lain, sebut saja untuk meningkaktkan performa perusahaan ataupun terkait dengan kebijakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Namun, boleh dikatakan Richard H. Thaler lah yang menjadikan bidang ilmu ini (khususnya behavioral science dan behavioral economics) mendapatkan tempat terhormat dalam kontestasi ilmu pengetahuan abad 21.
Dikarenakan komitmen dan dedikasinya yang luar biasa dalam mengembangkan disiplin ilmu behavioral economics, termasuk Nudge Theory yang digagasnya, maka tahun 2017 akhirnya Richrad Thaler mendapatkan penghargaan nobel ekonomi. Sebuah bentuk apresiasi sekaligus afirmasi atas kemampuan intelektual seseorang di zaman kita.
Lalu apa 'makhluk' behavioral economics ini sebenarnya?
Pada dasarnya, ilmu ekonomi (economics) adalah bidang ilmu yang mempelajari, menganalisis, dan memprediksi perilaku dan interaksi para pihak-pihak yang terlibat pada aktivitas ekonomi. Disiplin ilmu ini juga mempelajari bagaimana sebuah aktivitas ekonomi bekerja dalam sebuah negara (makro) ataupun rumah tangga (mikro).
ADVERTISEMENT
Nah, pihak-pihak yang terlibat pada aktivitas ekonomi tersebut adalah manusia. Sedangkan mempelajari manusia dengan segala perilaku, tindak tanduk, maupun alam pikirannya itu merupakan bagian dari ilmu psikologi.
Mudahnya, gabungan antara teori ekonomi, analisis data, dan sentuhan ilmu psikologi yang mempelajari manusia dengan segala perilakunya itulah yang kita sebut dengan behavioral economics.
Perlu diketahui, bahwa selama berpuluh tahun ke belakang, dunia ini berada dalam pengusasaan mazhab ekonomi neoklasik (neo-classical economics). Para ahli yang berada dalam mazhab tersebut berkeyakinan bahwa perilaku manusia sejatinya dapat diprediksi (predictable).
"People respond to incentives," kata Paul Krugman, pemenang Nobel Ekonomi yang lain.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, melalui persamaan matematika yang mengakomodasi sejumlah variable perilaku, sejatinya perilaku manusia itu dapat diprediksi. Ketika dapat diprediksi, maka kita pun dapat mengatur perilaku manusia, yang katanya kompleks dan dinamis itu.
Kasarnya, karena begitu mudahnya diprediksi, mazhab ini memposisikan manusia layaknya mesin yang akan mengeluarkan output perilaku ekonomi tertentu jika ia diproses dengan cara tertentu dan berdasarkan input tertentu pula. Predictable.
Ilustrasi Anatomi Manusia (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anatomi Manusia (Foto: Pixabay)
Meski memiliki banyak varian teori, para ekonom neo-klasik ini memiliki 3 (tiga) pandangan dasar:
a. Manusia sejatinya merupakan makhluk yang rasional dan akan melakukan pemilihan secara rasional pula (rational preferences). Pilihan yang rasional tersebut adalah pilihan-pilihan yang dapat diidentifikasi dan diasosiasikan dengan sebuah nilai tertentu;
b. Pada dasarnya, setiap manusia selalu berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya (maximizing utility) dan perusahaan akan selalu berusaha untuk memaksimalkan profit yang didapat (maximizing profits);
ADVERTISEMENT
c. Manusia akan selalu bertindak secara independen berdasarkan informasi yang sempurna dan relevan (full and relevant information).
Menariknya, pemikiran ini dan juga turunannya mendapatkan sambutan yang sangat gemilang dari para pengambil kebijakan. Sejak saat itulah maka dapat dikatakan bahwa era kejayaan ekonom neo-classical economics yang dimotori oleh beberapa ekonom dari University of Chicago dimulai.
Perlu diketahui bahwa ekonom di Universitas Chicago terkenal sebagai ekonom yang memiliki skill layaknya matematikawan atau fisikawan yang mahir mengutak-atik rumus dan angka.
Karena pemikiran dan capaiannya tersebut, maka banyak ekonom dari University of Chicago yang mendapatkan penghargaan Nobel Ekonomi, di antaranya adalah Gary Becker, Ronald Coase, Eugene Fama, Milton Friedman, ataupun Lars Peter Hansen.
ADVERTISEMENT
Namun, pada 2017 pendulum mazhab ekonomi telah kembali bergerak menuju arah yang berbeda.
Meskipun beberapa behavioral economist lain seperti George Akerlof, Robert Fogel, Daniel Kahneman, Robert Shiller, ataupun Elinor Ostrom yang sudah mendapatkan penghargaan Nobel Ekonomi sebelumnya. Kehadiran Richard Thaler dalam bursa peraih penghargaan nobel ini mungkin menjadi penegas bahwa homoeconomicus yang rasional telah mati.
Ilustrasi financial technology. (Foto: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi financial technology. (Foto: pixabay.com)
Seperti layaknya pemikiran ekonomi neo-klasik, bidang ilmu behavioral economics yang mempelajari perilaku manusia dengan pisau analisis ilmu ekonomi, juga memiliki tiga pandangan dasar bahwa:
a. Manusia membuat 95% keputusannya berdasarkan mental shortcuts atau rules of thumb (Heuristics);
b. Manusia melakukan filter atas sesuatu (Framing);
c. Pada dasarnya, keadaan pasar tidak efisien karena informasi yang tidak sempurna (Market inefficiencies).
ADVERTISEMENT
Intinya, ekonom aliran ini berpendapat bahwa mungkin manusia memang rasional, tetapi tidak selamanya rasional. Ada beberapa hal yang membuat manusia ternyata dapat bertindak irasional.
Irasionalitas manusia yang diketahui inilah yang pada akhirnya dapat membantu para policy makers (termasuk pemimpin perusahaan) untuk membuat kebijakan yang sesuai dan tepat, seperti yang dilakukan oleh David Camerron dengan Nudge Unit-nya, atau Cambridge Analytica dengan pekerjaan mengendalikan manusia yang sangat fenomenal itu.
Behavioral Science dan Kemenangan di Era Modern
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi otak manusia. (Foto: Shutterstock)
Saat ini dunia bergerak dengan sangat cepat. Kompetisi bisnis pun tidak hanya terjadi dalam skala lokal, tapi juga internasional. Market semakin luas, seperti tidak ada batas; borderless.
Ketika kita bicara bisnis dan market yang semakin luas, tentu kita bicara tentang target market yang juga semakin beragam dengan keinginan dan pola perilaku (consumer behavior) yang sangat unik dan berbeda.
ADVERTISEMENT
Maka tidak heran hanya perusahaan yang mampu mengelola dan merespons perilaku konsumennya secara tepat dan akan memenangkan kompetisi global yang semakin berdarah-darah ini.
Akhirnya, penggunaan pendekatan ilmu behavioral economics dengan big data menjadi sebuah keniscayaan untuk melaju kencang dalam kompetisi bisnis di era digital ini. Apalagi ketika proses tersebut dapat dilakukan dengan cepat dan tepat dengan Artificial Intelligence (AI) misalnya, kemenangan sudah dapat dipastikan akan semakin dekat tidak dapat dibendung.
Saya yakin bahwa kehadiran data scientist tanpa behavioral scientist layaknya orang bisu, dapat melihat tetapi tidak mampu menerjemahkan. Sedang kehadiran behavioral scientist tanpa data scientist itu layaknya orang gila, dapat bicara tetapi tidak berdasar.
Kami, setidaknya di Bukalapak, menganggap dua profesi tersebut layaknya pasangan sepatu kanan dan kiri, perfectly complement.
ADVERTISEMENT
Tidak terpisahkan.