Konten dari Pengguna

Sedikit Cerita dari Negeri Formosa

Muhammad Mabrur
Guru MA Al-Hidayah Majasem Ngawi dan Dosen STAI Magetan.
26 Maret 2024 13:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Mabrur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto bersama sesaat sebelum berbagi takjil di stasiun utama Taipei. Foto: Muhammad Mabrur.
zoom-in-whitePerbesar
Foto bersama sesaat sebelum berbagi takjil di stasiun utama Taipei. Foto: Muhammad Mabrur.
ADVERTISEMENT
Sejak remaja saya sering bertanya-tanya bagaimana rasanya menjalani puasa di negeri orang. Saya membayangkan seorang muslim, sebagai kaum minoritas, akan sulit untuk mendapatkan makanan halal, sembahyang tepat waktu, dan memakai pakaian ala muslim Indonesia seperti peci, surban, dan sarung.
ADVERTISEMENT
Beruntungnya, LD PBNU memberi saya kesempatan untuk mengisi kajian keislaman di negeri formosa, Taiwan. Pada hari kelima Ramadan tahun ini, saya menginjakkan kaki di negara yang menganut kombinasi agama Buddha dan Taoisme, dan ada pula yang menganut kepercayaan agnostik. Ini pertama kalinya saya pergi ke luar negeri sekaligus pengalaman pertama saya menjalani Ramadan di negeri orang.
Kantor sekretariat PCINU Taiwan yang berada di kota Taipei menjadi tempat tinggal saya dengan beberapa kawan selama Ramadan. Anehnya, di kantor sekretariat ini saya tak merasakan seperti tinggal di luar negeri. Berkumpul dengan dengan orang-orang Indonesia, dengan selera makan dan selera humor yang sama telah membuat saya lupa bahwa saya berada jauh dari tanah air tercinta.
ADVERTISEMENT
Menjadi muslim minoritas di sini ternyata tak seperti yang dulu saya bayangkan. Tak ada yang terlalu sulit dijalani di sini. Tak jauh dari kantor sekretariat PCINU, berdiri toko bahan makanan Indonesia sehingga saya bisa dengan mudah mendapatkan makanan halal di sana. Untuk menu berbuka dan sahur saya memasak bersama teman-teman dengan menu yang hampir sama dengan apa yang biasa kami santap di Indonesia.
Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana orang-orang Taiwan bersikap dengan cara ibadah umat Islam? Sependek pengetahuan saya dan dari cerita kawan-kawan yang sudah lama tinggal di sini, masyarakat Taiwan sangat menghormati dan memberikan keleluasaan beribadah pada agama apa pun. Tentu saja, dengan catatan tidak melanggar etika yang dianut masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Bahkan pemerintah Taiwan memfasilitasi dengan baik kegiatan peribadatan umat muslim. Tersedia tempat sholat di berbagai objek wisata nasional seperti Taipei 101, Hall Peringatan Chiang Kai-Sek, dan Museum Kerajaan Nasional. Lebih dari itu Pemerintah Taiwan juga mengizinkan kegiatan peribadatan dengan skala besar yang dihadiri puluhan ribu WNI di sini seperti kegiatan Tabligh Akbar yang diselenggarakan PCINU Taiwan. Misalnya, kegiatan Tabligh Akbar yang dihadiri 40.000 an jama'ah di Changhua dan 30.000 an jama'ah di Taichung. Kegiatan sholat Idul Fitri dan Idul Adha juga bisa diselenggarakan setiap tahun di fasilitas-fasilitas umum milik pemerintah.
Saat sedang tidak mengisi kajian, saya menghabiskan sebagian waktu untuk berjalan-jalan mengelilingi beberapa tempat di Taipei. Meski berjalan kaki dan terkadang menaiki kereta cepat, ternyata kawan-kawan Indonesia di sini dengan santainya mengenakan sarung dan peci. Sebagai seorang santri, saya tentu dengan senang hati mengikuti gaya berpakaian teman-teman dari tanah air. Penduduk Taiwan juga tak ambil pusing dengan gaya berpakaian orang dari negara lain.
Suasana salat tarawih di kantor sekretariat PCINU Taiwan. Foto: Muhammad Mabrur
Puasa Ramadan
ADVERTISEMENT
Tak ada hal yang terasa sulit dalam menjalani ibadah puasa Ramadan di Taipei. Cuaca pada Ramadan kali ini cukup dingin bagi saya, terkadang mencapai 12 derajat. Cuaca dingin membuat ibadah puasa semakin ringan dikerjakan, tentunya karena tak terlalu berat menahan haus.
Saya juga sempat mengikuti kegiatan berbagi takjil bersama teman-teman dari kantor sekretariat PCINU. Lokasi yang kami pilih adalah stasiun utama kota Taipei. Letaknya tak jauh dari kantor, jadi bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Pekerja imigran Indonesia sering berkumpul di stasiun ini pada hari minggu sekadar untuk bertemu dengan kawan setanah air.
Suasana stasiun utama Taipei menjelang waktu buka puasa. Foto: Muhammad Mabrur
Etika
Sejak berada di Taipei saya mengagumi beberapa hal, khususnya etika penduduknya. Orang-orang Taiwan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam hubungan sosial. Keramahan semacam bertegur sapa dengan tetangga memang tidak tampak pada masyarakat di sini. Namun, mereka punya caranya sendiri dalam menjaga keharmonisan sosial.
ADVERTISEMENT
Misalnya, anak-anak di Taiwan akan dengan segera memberikan tempat duduknya di dalam bus jika melihat orang yang lebih dewasa tidak mendapatkan tempat. Penduduk di sini juga tak akan merasa enggan bejalan jauh dengan membawa sampahnya sendiri sampai mereka menemukan tempat pembuangan. Mereka meyakini sampah dapat mengganggu kenyamanan orang lain sehingga tak pantas jika membuang bukan pada tempatnya. Tah heran jika Taipei terlihat sangat bersih dan nyaman.
Ada sedikit cerita tentang betapa masyarakat Taiwan sangat peduli pada etika. Ceritanya, muslim di sini pernah memainkan rebana dalam suatu kegiatan keagamaan. Mereka mengungkapkan keberatannya atas suara yang ditimbulkan dari rebana tersebut. Hari itu memang hari minggu, hari saat orang-orang Taiwan menikmati libur kerja dan berkumpul dengan keluarga. Wajar saja jika mereka menginginkan suasana tenang yang jauh dari kebisingan. Sehingga mulai hari itu latihan rebana diadakan di ruang bawah tanah yang kedap suara.
ADVERTISEMENT
Mendengar cerita ini, Anda tak perlu khawatir apalagi salah paham. Keberatan tersebut sama sekali bukan diberikan penduduk Taiwan terhadap agama Islam. Ini murni persoalan etika. Menabuh rebana di saat orang lain ingin beristirahat atau mungkin menikmati ketenangan bersama keluarga adalah hal yang kurang beretika bagi masyarakat lokal. Mereka hanya mempermasalahkan etikanya, bukan agamanya. Sampai di sini sudah clear, ya teman-teman.
Di negara ini, bahkan dompet hilang bisa kembali pulang pada pemiliknya. Tentu saja dengan catatan penemunya adalah penduduk lokal. Masyarakat di sini percaya mengambil barang yang bukan haknya dapat membawa sial. Jika seseorang melakukan keburukan, maka keburukan akan kembali padanya. Lantas bagaimana jika penemunya bukan masyarakat lokal? Mungkin saja akan berbeda cerita, tergantung kebaikan hati penemunya.
ADVERTISEMENT
Saya akan menyambung cerita di lain kesempatan. Selamat menjalankan ibadah puasa untuk teman-teman.
Muhammad Mabrur, Da’i internasional LD PBNU 2024 di Taiwan.