Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Aksi Pegiat Muda Lingkungan untuk Tanah Papua
10 Desember 2019 14:29 WIB
Tulisan dari MaCe Papua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hutan Papua merupakan salah satu hutan masa depan yang masih dapat diharapkan setelah hutan yang berada di Kalimantan dan Sumatera berada dalam posisi memprihatinkan. Rusaknya hutan selain karena terjadinya bencana alam juga lebih banyak karena tangan-tangan manusia yang mulai berulah untuk menguasai alam.
ADVERTISEMENT
Hal itu dibicarakan pada sesi presentasi dan diskusi panel di hari terakhir School of Eco Diplomacy (SED) 2019 yang diselenggarakan di Manokwari bersama para panelis Glen Eric Kangiras, S.Hut, M.Si Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Papua Barat, Natalie J. Tangkepayung, Manajer Pengelolaan Sumber Daya Alam Yayasan EcoNusa, Jemmy Manan, dosen dan peneliti, Dr. Keliopas Krey, M.Si, Dosen Universitas Papua, dan Pasifilionira Sawaki, pemerhati Isu Perempuan dan Lingkungan.
Glen menjelaskan permasalahan yang ada di Manokwari ada 3 yaitu banjir, sampah, dan ancaman kekeringan. “Bicara banjir menurut pandangan saya terjadi karena retapan air sudah rusak. Jadi jika dulu air dapat tertahan oleh tanah dan pohon sekarang tidak bisa karena tanah sudah tergantikan beton untuk halaman rumah,”
ADVERTISEMENT
“Isu penting yang harus ditambahkan yaitu perambahan hutan. Hutan Kota seperti Gunung Meja mempunyai jasa yang luar biasa bagi penduduk Manokwari karena Manokwari masih bergantung pada air yang ada di sana,” Kata Jemmy, Ia lalu mengajak para peserta untuk mulai berkampanye lewat media sosial agar pesan yang ingin disampaikan sampai ke masyarakat luas.
Juga tidak lupa untuk melihat dari sisi sosial budaya. Pasifilionira Sawaki mengatakan bahwa warga lokal berhak marah jika wilayahnya diganggu oleh orang-orang yang tidak mempunyai haknya. “Jadikan tokoh adat sebagai mitra lalu samakan pemahamannya apa yang mau dikejar. Aturan memang banyak tapi jika tidak ada kesadaran, tidak ada arti.”
“Kami ingin membangun kesadaran masyarakat Manokwari dan tidak lupa untuk meningkatkan ekonomi masyarakat juga. Bahu membahu jaga alam yang Tuhan sudah kasih ke kita. Jangan pernah tanyakan alam yang pernah kita berikan, tapi tanyakan ke kita apa yang sudah alam berikan,” Kata salah satu peserta SED 2019.
ADVERTISEMENT
School of Eco Diplomacy (SED) 2019 merupakan salah satu program unggulan dari Yayasan EcoNusa. Bustar Maitar selaku CEO mengatakan program ini dilakukan untuk mencari peserta-peserta yang memiliki kemampuan kuat untuk mengambil peran aktif dari upaya penyelamatan hutan di Tanah Papua secara khusus dan penyelamatan sumber daya alam secara umum dan berkomitmen bersama masyarakat membangun kedaulatan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sebagai Program Manager of Public & Youth Mobilization Yayasan EcoNusa, Rina Kusuma mengatakan Pelatihan Dasar School of Eco Diplomacy yang dilakukan di kota Manokwari ini diikuti oleh 24 orang peserta dari kalangan siswa sekolah menengah atas, mahasiswa dan penggiat isu lingkungan.
Peserta melakukan diskusi, kunjungan ke Hutan Gunung Meja dan Pantai Petrus Kafiar, serta merancang aksi peduli lingkungan menjaga lingkungan hutan dan laut dari sampah. Selain pelatihan kelas dasar, EcoNusa juga akan menyelenggarakan program School of Eco Diplomacy tingkat menengah dan atas untuk kalangan anak muda tidak hanya di Tanah Papua, tetapi juga di Indonesia.
ADVERTISEMENT