Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tanah Papua, Tujuan Wisata yang Ramah Publik
14 Agustus 2020 20:58 WIB
Tulisan dari MaCe Papua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Destinasi wisata yang tersebar di Tanah Papua merupakan tujuan wisata yang ramah bagi publik. Meski terdapat kendala aksesibilitas infrastruktur yang belum memadai, nyatanya atraksi-atraksi dan amenitas yang disajikan oleh setiap destinasi wisata di Tanah Papua tetap mampu menyedot perhatian wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Ketika berkunjung ke Tanah Papua, setiap wisatawan pun dituntut agar memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan daerah wisata setempat seperti mentaati peraturan adat.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadi pokok pembicaraan dalam pertemuan daring Yayasan EcoNusa dan Blogger Perempuan yang bertajuk “Wonderful Papua ” pada Jumat (7/8/2020). Dalam diskusi itu, para pembicara sepakat bahwa Tanah Papua merupakan tempat yang menarik untuk dikunjungi wisatawan karena kekayaan alam dan budayanya.
“Wisata di Tanah Papua bisa dinikmati oleh semua orang dari seluruh Indonesia dan dunia. Tapi, orang yang datang harus bisa menjaga destinasi itu supaya bisa dinikmati terus-menerus dan dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat,” kata CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar yang menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut.
Pengembangan wisata di Tanah Papua memang cukup menjanjikan untuk jangka panjang. Bagaimana tidak? Sebagai tujuan wisata berbasis sumber daya alam, Tanah Papua memiliki kekayaan biodiversitas yang telah diakui oleh dunia. Di atas wilayah yang dijuluki Bumi Cendrawasih itu terhampar 125 jenis mamalia (55 persen endemik), 223 jenis reptil (35 persen endemik), 602 jenis burung (52 persen endemik), dan 15.000-20.000 jenis tumbuhan.
ADVERTISEMENT
Bila masih ingin menikmati jenis wisata lain, keberagaman budaya di Tanah Papua menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung. Ada sekitar 255 suku asli hidup berdampingan di sana dan menggunakan 384 bahasa yang berbeda dalam keseharian.
“Terkadang hanya dipisahkan gunung, bahasa yang digunakan sudah berbeda,” ucap Bustar.
Menurut Bustar, pengelolaan wisata di Tanah Papua harus berlandaskan pada prinsip ekowisata. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah, ekowisata diartikan sebagai kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggung jawab dengan memerhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal.
“Kenapa Papua harus didorong jadi ekowisata atau destinasi hijau? Karena hutan kita di Kalimantan dan Sumatera sudah habis. Hutan di Sulawesi perlahan-lahan juga sudah mulai habis. Hutan di Papua sudah mulai ditebangi juga, kalau kita tidak jaga tentu akan habis dan Indonesia tidak akan punya hutan lagi,” ujar Bustar.
ADVERTISEMENT
Salah satu praktik ekowisata di Tanah Papua ditunjukkan oleh para pemilik homestay di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Mereka membangun homestay dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Diharapkan, dengan pengelolaan sarana wisata yang mengedepankan pelestarian lingkungan hidup, dapat turut menjaga keberlanjutan sumber daya perairan dan hutan di Raja Ampat.
“Kami membangun homestay tidak merusak lingkungan yang ada, tapi turut menjaga dan merawat lingkungan. Beberapa spesies endemik ada di Raja Ampat seperti cenderawasih merah dan cenderawasih botak,” ungkap Kristian Sauyai, Ketua Asosiasi Homestay Raja Ampat.
Menyambung pernyataan Kristian, Alfa Ahoren, salah satu anak muda Tanah Papua asal Manokwari, Provinsi Papua Barat, mengajak seluruh anak muda untuk menjaga dan melestarikan alam di Tanah Papua. Menurut Alfa, jika hutan telah beralih fungsi, ia khawatir keanekaragamanan hayati dan kebudayaan hanya akan menjadi kenangan.
ADVERTISEMENT
“Jika alam hilang, jati diri kita pun ikut hilang. Tempat kita bercerita tentang banyak kehidupan, adat, dan budayakita juga akan hilang. Sebagai anak muda, kita harus memiliki rasa cinta pada tempat di mana kita berdiri sekarang,” Alfa menegaskan.
Penulis: Lutfy Mairizal Putra
Editor: V. Arnila Wulandani & Nina Nuraisyiah