Memori yang Tersisa dari Tragedi Ninja Banyuwangi

Mad Paijo
Mencintai Bumi Allah beserta isinya.
Konten dari Pengguna
14 Juni 2017 0:41 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mad Paijo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana malam hari di Pendopo Banyuwangi (Foto: Deanda Dewindaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana malam hari di Pendopo Banyuwangi (Foto: Deanda Dewindaru/kumparan)
ADVERTISEMENT
Persisnya, saya tidak ingat lagi bulan, tanggal, dan harinya. Yang masih saya ingat, tahun kejadiannya saja. Ya, geger Ninja ini terjadi pada 1998 silam, atau 19 tahun yang lalu. Namun, memori Tragedi Ninja Banyuwangi, masih ada yang bisa saya ingat.
ADVERTISEMENT
Masa-masa sulit di mana sebagian sejarah saya, pernah hidup dihantui ketakutan luar biasa setiap harinya, terutama menjelang malam hingga matahari terbit keesokan harinya. Di pusat kota hingga pelosok desa, berasa mati. Sendi-sendi kehidupan lumpuh seperti terserang penyakit chikungunya kronis.
Tahun itu, saya masih duduk di kelas 2 SMA. Hidup dikalangan yang mayoritas nyantri. Di lingkungan RT, tempat tinggal saya ada dua tokoh agama yang menjadi panutan warga, dii mana tempat tinggal kedua tokoh itu hanya dipisah sungai saja. Hanya selemparan batu. Satu Kyai di bagian selatan sungai dan satunya lagi-Kyai di utara sungai.
Beberapa tahun sebelum Tragedi Ninja terjadi, sang Kyai selatan sungai wafat terlebih dahulu. Praktis bersisa Kyai utara sungai. Saya dan keluarga tinggal di lingkungan selatan sungai. Diawal Tragedi Ninja, banyak korban yang katanya dukun santet dibantai, dibunuh dengan kejam. Saat itu, seolah-olah masyarakat "sepakat" dengan itu.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri pun pernah menyaksikan bagaimana orang yang dituduh dukun santet di desa saya dihabisi massa. Saya menyebut kejadian itu, lebih dari sebuah kebiadaban. Pagi sekali. Tepat terjadi, saat saya duduk disalah satu kursi warung nasi pecel untuk sarapan. Melintas massa bersepeda motor di jalan raya, persis di depan warung.
Tampak laki-laki paruh baya terkapar dengan tangan terikat dan diseret sepeda motor. Tubuh sang korban tak berdaya terguling-guling di jalan aspal. Sekejap pemandangan mengerikan masuk ke penglihatan saya yang membuat otak saya mati beberapa saat. Terlalu vulgar untuk diceritakan dan dikenang.
Kira-kira 500 meter berlalu, iring-iringan masa berhenti di salah satu kuburan desa. Jasad pria itu pun diletakkan begitu saja di sana. Air mata tak sadar menetes di sudut penglihatan. Kaki dan tangan gemetar luar biasa, tak kuasa menahan kengerian yang tak disangka-sangka datangnya. Nasi pecel, menu sarapan yang hendak saya lahap pun tetap di tempatnya.
ADVERTISEMENT
Waktu terus berlalu. Namun, teror Ninja tak juga reda, bahkan semakin merajalela. Saat itu di sekolah tersiar kabar bahwa bukan dukun santet saja yang dibunuh; ullama, kyai, dan tokoh juga diserang untuk dibinasakan. Penyerangnya disebut Ninja. Saya yang tinggal di lingkungan santri pun akhirnya resah dan marah.
Yang semula malam hari hanya di dalam rumah, kini saya berani berjaga di luar rumah. Menjaga ibu dan adik perempuan saya di saat saudara laki-laki saya di pos-pos jaga utama. Banyak laki-laki mulai frustasi dengan cerita-cerita teror Ninja yang konon sakti luar biasa.
Mereka pun mulai mencari ilmu kebal ke para "guru", berharap dengan ilmu kesaktian instan itu mereka mampu melawan kekuatan Ninja, termasuk saya. Memang sudah tidak rasional karena memang situasinya pun absurd. Membuat logika orang waras dipaksa berperilaku surut.
ADVERTISEMENT
Antre layaknya beli sembako murah, para pria baik dewasa dan remaja keluar masuk kamar mandi yang terbuka. Masuk minum air di bak mandi, keluar langsung disambut tebasan pedang oleh seorang laki-laki tua berkopiah.
Crass! Pedang mendarat tepat di punggung. Dan ajaibnya, hanya baju yang robek menganga. Kulit tak sesenti pun terluka. Entah kenapa... Dalam sekejap kami merasa jadi pria gagah, siap melindungi dan membela ulama dan kyai panutan kami. Tak sampai disini.
Diam-diam saya dan beberapa rekan santri coba mempertebal ilmu kesaktian. Berangkatlah kami menemui seorang guru untuk itu dengan tekad melindungi sang kyai. Rapalan dan syarat kami lalui. Kami harus melalui ritual mandi berendam di sungai tepat dini hari, bersihkan dosa diri selama 41 hari (malam) tanpa putus untuk mencapai ilmu yang dikehendaki.
Tragedi Ninja Banyuwangi (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Tragedi Ninja Banyuwangi (Foto: Istimewa)
Di dalam perjalanan satu persatu santri berhenti. Konon, mereka tak sanggup dengan godaan yang tinggi. Kini bersisa tiga santri yang setia mandi dini hari. Termasuk saya. Di malam terakhir, petaka nyaris saja merenggut nyawa saya. Sungai, tempat saya berendam berada dekat dengan rumah Kyai, ternyata sudah dipenuhi santri dan warga yang berpatroli. Suara kentongan bertalu-talu pertanda ada bahaya.
ADVERTISEMENT
Saya yang berendam hingga kepala yang terlihat di permukaan air disangka Ninja yang ingin membunuh Kyai desa. Puluhan masyarakat bersenjata tajam mengepung saya dari jembatan tepat di hadapan saya. Lucunya, meski kebal, mereka tetap tidak berani turun ke sungai menghampiri ke tempat saya berada.
Saya pun tak bisa meninggalkan ritual yang sudah saya lalui 40 malam setengah ini. Tinggal setengah malam saja, maka saya akan lulus ujian. Namun, ujian kali ini sangat fatal. Batu bata pun mulai berterbangan ke arah saya. Byuurr! Batu bata pertama mendarat tepat satu meter di depan saya. Plung! Batu bata kedua persis di sebelah kiri depan saya. Begitu seterusnya, nyaris, dan nyaris.
Akhirnya, massa yang melempar batu bata pun menyerah. "Batanya luput terus, ninjanya sakti tenan ini!" Begitu suara yang masuk ke telinga saya malam itu. Konyol, meski dihujani batu bata saya tak bergeming. Yakin seyakin-yakinnya jika ini hanya ujian saja. "Selanjutnya kamu santri sakti" begitu dalam pikiran dan hati saya. Konyol memang.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya hanya tiga orang saja yang berani mendekati saya. Dengan clurit ditangan kanan mereka bergerak memperpendek jarak dengan saya. Tak sengaja, salah satu dari mereka menginjak sarung dan kopiah yang saya tanggalkan. "Loh, iki kan sarunge adiku, loh iki kopiahe pisan (Loh ini kan sarungnya adikku, ini juga kopiahnya)," kata laki-laki yang ternyata kakak sepupu saya.
Singkat cerita, saya pun selamat dari tebasan clurit yang terlihat memantulkan kilatan cahaya. Alhamdulillah, bersyukur dalam hati saya. Namun dampaknya, saya pun mendapat gelar "Ninja Kali (Ninja Sungai)".
Tragedi pembantaian Banyuwangi pada 1998, menelan korban dengan catatan beragam versi. Ada perbedaan jumlah korban antara versi Pemkab Banyuwangi dan versi Tim Pencari Fakta (TPF). Pemkab Banyuwangi (masa itu) merilis ada 115 korban jiwa yang tersebar di 20 kecamatan. Adapun versi TPF Nahdatul Ulama ada korban meninggal dunia lebih banyak, yakni 147 jiwa. (Sumber: https://id.wikidpedia.org/wiki/Pembantaian_Banyuwangi_1998)
ADVERTISEMENT
Pada Desember 2007, tim dari Nahdlatul Ulama membuka kembali investigasi kasus ini dengan memberikan pengaduan kepada Komnas HAM dengan maksud agar peristiwa tersebut bisa diurai, dalang-dalangnya bisa diseret ke pengadilan dan keluarga korban yang tertuduh sebagai dukun santet bisa dibersihkan nama baiknya.
Namun, hal ini terkendala dari keluarga korban yang sudah tidak ingin jika kasus ini dibuka lagi. Keluarga korban hanya meminta rehabilitasi atas kejadian tersebut dan tidak menginginkan aktor-aktor dari peristiwa ini diadili. ((Sumber: https://id.wikidpedia.org/wiki/Pembantaian_Banyuwangi_1998)