Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Secuil Kisah Denyut Nadi Penghuni Rimba Raya
9 Juni 2017 21:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Mad Paijo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Inilah secuil kisah denyut nadi dari Gunung Raung di Banyuwangi, Jawa Timur. Kampung Seling namanya. Terselip di antara perkasanya paku bumi milik Sang Pencipta. Disinilah belasan Kepala Keluarga (KK), hidup jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Bak negeri yang hidup mandiri tanpa belas kasih pemerintah.
ADVERTISEMENT
Hidup dari hasil hutan. Berburu madu (asli), beternak kambing, menyadap getah dan bertanam adalah mata pencahariannya. Hidup bertumpu dari limpahan anugerah Yang Maha Kuasa bernama rimba raya.
Konon, jarak Kampung Seling hanya 3 Km dari puncak Gunung Raung di bagian sisi Kabupaten paling ujung Timur pulau Jawa. Menjadikan kampung ini sebagai salah satu denyut nadi paling dekat dengan Gunung Raung nan perkasa.
Dari dusun terdekat, yakni Dusun Sumberejo Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kampung Seling berjarak lebih dari 12 Km. Meski hidup ditengah hutan, bukan berarti mereka tidak menikmati aliran listrik. Melimpahnya aliran air dari pegunungan tidak serta merta dibiarkan begitu saja.
Disamping untuk minum, warga gotong royong membangun pembangkit listrik tenaga air skala kecil (mikro hidro). Yang kemudian aliran listrik disalurkan menggunakan jaringan kabel ke rumah-rumah penduduk dan surau. Mirip dengan jaringan listrik milik PLN. Karena daya listrik yang dihasilkan masih terbatas, mereka harus bijak menggunakannya.
ADVERTISEMENT
"Selepas pukul 22.00, selebihnya gelap gulita he..he..he.." ujar Salim, salah satu warga sembari terkekeh.
Tapi jangan salah sangka. Beberapa rumah yang berdinding kayu dan bambu itu memiliki perabotan elektronik. Seperti televisi, radio bahkan seperangkat alat untuk karaoke. Dari perangkat itu pula mereka bisa memantau arus informasi dan juga mengusir keheningan hutan.
Lantas bagaimana dengan pendidikan anak-anak mereka? Banyak orang tua disana tetap mewajibkan anak-anaknya untuk sekolah. Melewati jalan berbatu terjal, anak-anak Kampung Seling berangkat ke sekolah pukul 06.00 WIB dengan berjalan kaki menembus lebatnya hutan.
"Kalau musim hujan kami antar dan jemput ke sekolah, sekolah paling dekat sekitar 12 Km," tambahnya.
Hasil hutan terbarukan seperti madu, hasil bumi seperti ketela, dan hewan ternak (kambing) mereka bawa ke desa untuk dijual ke pasar bila sudah waktunya tiba. Bahagia bagi mereka, bagaimana bisa tetap hidup dan menghidupi keluarga.
Penduduk Kampung Seling semula adalah penyadap getah pinus binaan Perhutani. Mereka berasal dari wilayah Banyuwangi dan Jember. Saat gunung Raung erupsi beberapa tahun lalu, mereka sempat terlewati dari mata pemerintah daerah. Beruntung tidak ada hal pelik yang menimpa mereka, meski abu vulkanik cukup tebal menimpa.
ADVERTISEMENT
"Getaran letusan sangat terasa di dada," ujar Salim sembari membetulkan posisi duduknya.
Salim bercerita, saat Gunung Raung akan erupsi banyak satwa liar penghuni hutan turun gunung melintas di kampung tempat tinggalnya. Mulai dari macan tutul, ular, rusa termasuk lebah yang menjadi hewan favoritnya. Salim sendiri seorang pemburu madu hutan. Selama ia masuk keluar hutan Raung, mengaku kerap berjumpa dengan sosok harimau Jawa yang dianggap punah.
"Saya beberapa kali berjumpa dengan harimau loreng berbadan besarnya seperti sapi. Biasanya ketemu di mata air besar di Raung. 7 anjing saya pernah dibunuh karena terlalu dekat. Sekali tebas habis anjing saya, tapi dia "malu" ketemu manusia," kenangnya.
ADVERTISEMENT