Aksi Cepat Tanggap dan Trust Issue Lembaga Filantropi

I Made Wirangga Kusuma
Analis Perkara Peradilan pada Pengadilan Negeri Gianyar, Bali
Konten dari Pengguna
5 Juli 2022 19:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Made Wirangga Kusuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aksi Cepat Tanggap (atau disebut sebagai ‘ACT’) kini menuai polemik dan menjadi perbincangan publik, termasuk di dunia maya, seiring dengan terbitnya pemberitaan pada Majalah Tempo Edisi 4-10 Juli 2022 dengan tajuk besar ‘Kantong Bocor Dana Umat’ yang memuat dugaan adanya penyelewengan dana oleh oknum di lembaga filantropi tersebut. Seruan tagar ‘Aksi Cepat Tilep’ juga ramai di kalangan warganet sosial media yang membahas mengenai problematika yang terjadi di ACT.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari web yang dikelola oleh ACT pada bagian frequently asked question (FaQ) atau soal yang sering ditanya yang menjelaskan ACT adalah lembaga filantropi professional berskala global yang merespons cepat masalah-masalah penyelamatan kemanusiaan melalui program-program yang kreatif, holistik dan masif, yang melibatkan peran aktif seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan peradaban dunia yang lebih baik. ACT sendiri telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia bahkan telah mencapai jangkauan aktivitas global di 76 negara di dunia. Melihat hal ini ACT bukan lagi merupakan lembaga sosial yang ‘kaleng-kaleng’ alias sudah mengekspansikan dirinya dengan luas.
ACT bukanlah merupakan satu-satunya lembaga filantropi maupun lembaga sosial yang memiliki nama besar di Indonesia. Banyak lembaga serupa yang telah mengekspansi dirinya hingga saat ini dikenal publik, apalagi dengan melakukan promosi besar-besaran di media sosial. Lembaga filantropi yang ada di Indonesia saat ini bahkan ada yang dipegang oleh tokoh-tokoh besar tanah air seperti Mantan Wapres RI Jusuf Kala, Mantan Mendag RI Gita Wirjawan hingga pengusaha besar seperti Chairul Tanjung hingga Hartono bersaudara.
ADVERTISEMENT
Dugaan penyelewengan dana yang dilakukan oleh lembaga sosial maupun kegiatan sosial bukan hanya sekali terjadi. Sebelumnya publik juga sempat heboh dengan adanya dugaan penyelewengan dana oleh Cak Budi dalam platform ‘kitabisa.com’ di mana uang hasil sumbangan untuk orang yang tidak mampu digunakan untuk membeli kendaraan mewah serta ponsel mewah, meskipun akhirnya dijual dan disalurkan kembali. Budi sempat menyangkal bahwa barang yang dibelinya tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, melainkan biaya operasional. Meskipun demikian, publik juga sempat dilanda trust issue terhadap Budi.
Selain platform besar, kejadian dugaan penyelewengan dana sosial juga telah terjadi beberapa kali dengan tujuan yang berbahaya, seperti halnya aliran dana untuk aksi terorisme dan juga pemberontakan di negara lainnya. Hal ini terungkap dari laporan PPATK kepada Densus 88 mengenai aliran-aliran dana sosial kepada teroris. Celah penyalahgunaan dana kemanusiaan untuk terorisme terbilang besar mengingat donator tidak pernah menanyakan transparansi dana (lihat CNN Indonesia 18 September 2019). Kelompok ekstrimis ini juga memanfaatkan tingginya jiwa sosial masyarakat Indonesia, di mana sempat terendus beberapa penggalangan dana di toko kelontong dan waralaba yang telah terjadi sejak tahun 2000-an (lihat Berita Satu tanggal 2 Desember 2020).
ADVERTISEMENT

Dugaan Penyalahgunaan Dana

Munculnya isu dugaan penyalahgunaan dana oleh lembaga ACT ini awalnya muncul pada pemberitaan dan investigasi yang terbit dalam media besar Majalah Tempo yang menyoroti dugaan penyalahgunaan dana oleh petingginya. Fakta terungkap di mana dalam Majalah Tempo edisi Sabtu, 2 Juli 2022 menduga Ahyudin sempat menggunakan dana sosial yang dikumpulkan ACT guna kepentingan pribadi. Ahyudin diduga sempat mengirimkan uang sejumlah Rp. 11 Miliar ke Rosman yang merupakan adiknya. Dana tersebut awalnya hendak digunakan untuk pembangunan Masjid Dermawan dan Pesantren Peradaban di Desa Citabodas, Tasikmalaya. Ada beberapa kejanggalan dan fakta lainnya di mana uang donasi tersebut diduga digunakan untuk membeli rumah serta furniture dengan nilai yang tinggi. Pemborosan lembaga ini juga terlihat dari gaji Ahyudin yang mencapai Rp. 250 Juta, fasilitas kendaraan mewah hingga adanya kabar fasilitas makan tiga kali sehari dengan standar restoran bagi petinggi ACT (Lihat Tempo 4 Juli 2022).
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan dana di ACT, Ahyudin selaku Eks Pimpinan ACT membantahnya dan berdalih uang yang digunakan adalah pinjaman mengingat Ahyudin saat ini terlilit utang cicilan rumah, mobil dan biaya anak sekolah. Ahyudin membantah membawa lari uang donasi tersebut dan menduga ia sebagai korban fitnah (Lihat Tempo 4 Juli 2022, memuat wawancara Majalah Tempo terhadap Ahyudin).
Berkaitan dengan ramainya pemberitaan, ACT lantas melakukan konferensi pers yang dilaksanakan pada Senin, 4 Juli 2022 yang menghasilkan beberapa poin penting yakni di antaranya ACT telah memperoleh izin dari Kementerian Sosial, ACT melontarkan permohonan maaf khususnya kepada donator, ACT menyebutkan bahwa kondisi finansial dalam keadaan yang baik, membantah adanya kudeta, membantah adanya gaji sejumlah Rp. 250 Juta hingga restrukturisasi karyawan (lihat Tribunnews 4 Juli 2022). Dari beberapa poin yang disampaikan, pada intinya ACT saat ini berbenah diri guna kembali membangkitkan marwah dan kembali pada fitrahnya dalam menyalurkan dana sosial.
ADVERTISEMENT
PPATK juga sempat mencium adanya dugaan aliran dana dari ACT ke aktivitas terorisme. Saat ini PPATK telah menyerahkan hasil pemeriksaan ACT ke Densus 88 Polri dan BNPT. Badan Reserse Kriminal Polri pun saat ini juga telah membuka penyelidikan terkait dugaan dana sosial yang dikelola oleh ACT, tetapi ACT terus membantah bahwa dana sosial tersebut tidak ada kaitannya dengan dana untuk aktivitas terorisme (lihat CNN 4 Juli 2022).

Menimbulkan Trust Issue

Polemik yang terjadi di ACT menimbulkan preseden buruk bagi lembaga filantropi tersebut. Munculnya tagar #AksiCepatTilep di media sosial, menunjukkan adanya penurunan kepercayaan publik hingga menimbulkan trust issue. Trust issue secara pribadi memiliki pengertian yakni situasi ketika seseorang mengalami rasa sulit percaya terhadap orang lain yang didukung oleh beberapa faktor di antaranya seperti pengalaman buruk, kecewa dan pengalaman buruk lainnya. Trust issue ini juga dapat disebut sebagai krisis kepercayaan seseorang terhadap sesuatu hal.
ADVERTISEMENT
Menurut teori kepercayaan (trust theory) terdapat 5 (lima) komponen yang digunakan untuk mengukur trust menurut Tschannen-Moran dan Hoy (1998:189) yakni adanya niat baik, keandalan, kompetensi, kejujuran dan keterbukaan. Secara singkat bila salah satu saja komponen ini dihilangkan, maka akan timbulnya krisis kepercayaan terhadap sesuatu hal.
Bila dugaan penyalahgunaan dana yang diduga dilakukan oleh oknum di ACT benar adanya dan terbukti, maka hal ini akan menjadi daftar panjang problematika pengelolaan dana umat dan dana sosial, bahkan yang dikelola oleh lembaga besar sekalipun. Daftar panjang ini akan memunculkan trust issue di masyarakat sehingga memberikan implikasi dan preseden buruk bagi lembaga filantropi ke depan.
Dampak yang dapat ditimbulkan yang mungkin akan terlihat adalah adanya trust issue atau krisis kepercayaan terhadap lembaga sosial maupun filantropi lainnya yang memang secara fitrahnya memiliki niat baik untuk membantu masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan, sehingga ditakutkan terhambatnya bantuan-bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan publik terhadap lembaga sosial maupun filantropi harus kembali dan terus digalakkan dengan cara memperketat pengawasan terhadap lembaga sosial dan audit rutin maupun laporan keuangan yang transparan terhadap donatur nya, sehingga ada keterbukaan ke mana dan dari mana dana donasi tersebut mengalir.
Salah satu kegiatan penyaluran donasi. sumber: unsplash.com

Perlu Sanksi

Pengumpulan dana donasi atau dana sosial saat ini telah diatur dalam UU No. 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang serta Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Dua aturan yang telah berumur lama ini nyatanya hanya mengatur perizinan donasi, namun belum mengatur mengenai bagaimana tindak pengawasan serta sanksinya bila ke depannya ada penyalahgunaan uang donasi. Saat ini bila memang adanya dugaan penyalahgunaan dana donasi, penegak hukum hanya berpacu pada KUHP khususnya pada bagian pasal penggelapan, padahal dampak dari penyalahgunaan dana sosial ini pastinya lebih menimbulkan kerugian daripada penggelapan biasa, karena sifatnya merugikan orang banyak dan dalam situasi tertentu, terjadi pada saat bencana alam.
ADVERTISEMENT
Dengan kejadian ini, harusnya membuka cakrawala kita bersama, hendaknya ada regulasi yang mengatur secara rinci mengenai dana sosial ini, termasuk dalam hal transaksi uang masuk-keluar, kegunaan, penyaluran, pengawasan serta hal-hal lain yang harusnya diatur, termasuk juga kewenangan lembaga sosial atau filantropi dalam mengambil bagian untuk operasional biaya. Maka perlu sinergi antara pemerintah dengan legislatif dalam berupaya memperjuangkan rancangan undang-undang ini, agar ke depannya terhindar dari berbagai tipu muslihat niat jahat oknum yang memanfaatkan sikap dermawan masyarakat Indonesia yang sangat baik ini.
I Made Wirangga Kusuma, Analis Perkara Peradilan PN Gianyar, Bali