Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hati-hati dengan Kosakata Kebijakan Penanganan Corona
8 Januari 2021 8:02 WIB
Tulisan dari I Made Wirangga Kusuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penyebaran Virus Corona di Indonesia kini mulai masif. Tren kasus harian pun sudah di atas angka 6.000 kasus dalam satu hari dan hingga saat ini jumlah masyarakat yang terinfeksi hampir 800 ribu jiwa dengan angka kematian 3%. Peningkatan ini tak lepas dari beberapa kegiatan masyarakat yang mulai kembali normal, termasuk dalam hal aktivitas pekerjaan dan juga pariwisata. Meningkatnya angka penyebaran Virus Corona (COVID-19) di Indonesia membuat pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan maupun langkah-langkah strategis. Aturan dan Kebijakan dalam penanggulangan COVID-19 sejatinya sudah lama menjadi atensi pemerintah. Mulai dari kewajiban penggunaan masker saat di luar rumah, menjaga jarak, masifnya mesin pencuci tangan, dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung secara daring. Tak hanya itu, pemerintah juga sering menyampaikan pernyataannya di depan awak media dengan kosakata dan istilah-istilah tertentu dalam kebijakannya.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, mengatakan bahwa dengan adanya peningkatan kasus COVID-19 yang secara masif di Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di beberapa wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Adapun provinsi yang melaksanakan PPKM adalah Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Provinsi Bali dengan beberapa kabupaten/kota di bawahnya dengan melihat pada aspek kesembuhan, kasus aktif, angka kematian, dan okupansi rumah sakit.
Istilah PPKM ini termasuk kosakata baru yang digunakan pemerintah pusat dan juga daerah dalam mengeluarkan aturan serta kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Awal mula masifnya wabah COVID-19, Pemerintah masih berpedoman pada UU Karantina Kesehatan dengan menggunakan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Berdasarkan UU Karantina Kesehatan, PSBB merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Kosakata PSBB ini tentu membawa implikasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, mulai dari pembatasan kegiatan publik hingga pengetatan protokol-protokol kesehatan.
Keberadaan kosakata atau istilah PSBB ini memang telah secara nyata memiliki definisi hukum dan juga memiliki implikasi hukumnya. Bila kita mengulang kembali, Pemerintah Pusat maupun Daerah sempat mengeluarkan beberapa kosakata dan istilah-istilah dalam kebijakan maupun aturan yang dikeluarkannya.
ADVERTISEMENT
Kosakata/istilah ini sempat menjadi perbincangan hangat di jagat maya. Mengapa tidak? Saat diundang menjadi narasumber oleh wartawan kondang, Najwa Sihab, Presiden Joko Widodo mengeluarkan statemen yang mengatakan bahwa pemerintah melarang aktivitas mudik selama masa libur Lebaran tahun 2020. Jokowi mengatakan bahwa esensi Mudik merupakan kembalinya masyarakat ke daerah asal karena adanya momentum Idul Fitri, sedangkan pulang kampung saat seseorang bekerja di Jakarta tetapi sanak famili ada di kampung halaman.
Pernyataan Presiden ini justru mengundang tanda tanya dan rasa penasaran masyarakat, apa yang menjadi esensi perbedaan mudik dengan pulang kampung. Meskipun sudah diklarifikasi oleh tim penanggulangan COVID-19 dan juga para ahli bahasa, tetapi hal ini harusnya menjadi evaluasi bahwa jangan sampai satu istilah kosa kata yang digunakan malah membingungkan masyarakat dan malah menjadi bahan cemooh masyarakat. Mengingat masyarakat akan menggunakan kedok pulang kampung sebagai alasan untuk mudik, nah, bingung bukan? Syukurnya pernyataan ini tidak menjadi perdebatan yang panjang di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Peningkatan angka COVID-19 diikuti dengan menurunnya stabilitas ekonomi di Indonesia, membuat pemerintah kembali mengeluarkan istilah baru. Ya, New Normal atau bila diterjemahkan Normal yang Baru (Kehidupan yang Baru). Ternyata istilah kosakata ini kembali menjadi sorotan dan perbincangan. Bagaimana tidak, setelah adanya pernyataan ini, masyarakat kembali ramai-ramai untuk keluar rumah menjalankan aktivitas sebagaimana mestinya, tanpa melaksanakan protokol kesehatan dengan baik. Hemat saya, istilah ini rancu. Mengingat normal yang baru atau kehidupan yang baru dalam persepsi yang luas, aktivitas masyarakat tidak dibatasi dan dapat berjalan seperti sedia kala.
Pemerintah melalui Juru Bicara Satgas COVID-19 saat itu, Achmad Yurianto, mengakui adanya kesalahan diksi penggunaan kosakata New Normal. Pemerintah akhirnya mengganti kosakata New Normal menjadi Adaptasi Kebiasaan Baru, di mana kosakata ini dianggap lebih mudah dipahami oleh masyarakat secara umumnya. Kembali lagi, dengan istilah-istilah yang dikeluarkan pemerintah, membuat masyarakat bingung. Konsisten enggak sih pemerintah ngurus pandemi?
ADVERTISEMENT
DKI Jakarta menjadi provinsi dengan penyebaran Corona terbesar di Indonesia, yang saat ini telah mencapai angka di atas 100 ribu kasus. Selain itu, DKI Jakarta merupakan pusat perekonomian di Indonesia. Keberadaan PSBB yang diterapkan di DKI Jakarta tentu menyumbang lesunya pertumbuhan ekonomi di Indonesia, maka dengan itu Gubernur DKI mengeluarkan kebijakan untuk melonggarkan PSBB di DKI Jakarta dengan menggunakan istilah PSBB Transisi. Implikasinya tentu akan berbeda, perkantoran diperbolehkan mulai buka dengan pembatasan jumlah pekerja dan jam kerja, aktivitas kegiatan ibadah mulai dibuka dengan protokol kesehatan, dan aktivitas lain seperti gelanggang olahraga yang mulai dibuka.
Meskipun tidak menjadi perbincangan yang terlalu serius, tetapi PSBB Transisi ini malah dianggap tidak seperti adanya pembatasan kegiatan apa pun. Nampak kegiatan di DKI masih ramai seperti biasa dan juga banyak kerumunan yang terjadi di DKI. Apakah ada istilah lain lagi yang akan digunakan?
ADVERTISEMENT
Kosakata ini sempat digunakan oleh beberapa kepala daerah terkait pencegahan penularan COVID-19 secara masif, salah satunya di Kota Denpasar, Bali. PKM disini digunakan untuk membatasi kegiatan-kegiatan masyarakat, termasuk arus keluar masuk dari satu kota ke kota lain, demi pencegahan penyebaran COVID-19. Kosakata ini ternyata juga tidak lepas dari perbincangan masyarakat. Mengapa tidak, masyarakat masih bingung: apa yang membedakan PKM dengan PSBB yang ada di pusat? Kosakata ini juga malah menjadi cibiran karena pada faktanya, PKM malah menimbulkan kerumunan saat berada di check point pintu masuk Kota Denpasar. Masih tepatkah istilah ini digunakan? Karena tidak efektifnya PKM ini, akhirnya pemerintah kota Denpasar memutuskan untuk mengakhiri kebijakan PKM.
ADVERTISEMENT
Kosakata ini muncul saat Airlangga Hartanto menyampaikan pernyataannya di depan awak media mengenai perkembangan kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia. PPKM menjadi kosa kata baru yang didengar oleh masyarakat, apalagi diikuti dengan statemen. Istilah PPKM juga secara eksplisit tidak termuat dalam UU Karantina Kesehatan. Lalu, apa sih yang membedakan PPKM dengan PSBB? Pemerintah mengatakan bahwa PPKM tentu kebijakan yang tidak strict seperti halnya PSBB, masih mengizinkan kegiatan-kegiatan tetapi dengan pembatasan tertentu, seperti kegiatan pekerjaan WFH 75%, kapasitas restoran hingga rumah ibadah.
PPKM membatasi tapi tidak melarang. Wah, apa ya yang dikira maksudnya? Tentu statemen ini harusnya menjadi perhatian, karena akan memberi implikasi dalam penerapannya. Kalau memang adanya pembatasan tetapi tidak dilarang, apakah kebijakan ini akan dapat berjalan sesuai harapan? Apakah hanya imbauan? Hemat saya, perlu adanya ketegasan dalam memberikan kebijakan-kebijakan.
ADVERTISEMENT
Semoga enggak ada lagi, ya, yang dibuat bingung oleh Pemerintah. Salam sehat!