Konten dari Pengguna

Minyak di Tengah Api, Krisis Timur Tengah 2025 terhadap Bisnis Energi Indonesia

Madeline Fanny Effensia
Mahasiswi Universitas Ciputra Surabaya
10 Mei 2025 16:10 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Madeline Fanny Effensia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dibuat secara orisinal menggunakan AI oleh ChatGPT (OpenAI), tanpa referensi visual pihak ketiga.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dibuat secara orisinal menggunakan AI oleh ChatGPT (OpenAI), tanpa referensi visual pihak ketiga.
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan 2025, kawasan Timur Tengah kembali dilanda ketegangan hebat setelah eskalasi konflik militer antara Iran dan koalisi Teluk yang didukung Barat. Serangan terhadap kilang minyak di Arab Saudi dan penutupan sementara Selat Hormuz—jalur utama ekspor minyak dunia—memicu kekacauan di pasar energi global. Harga minyak mentah melonjak tajam, menembus angka USD 130 per barel dalam waktu singkat. Indonesia, sebagai negara pengimpor energi bersih netto, langsung merasakan imbas dari krisis ini.
ADVERTISEMENT
Lonjakan harga minyak berdampak langsung pada biaya produksi perusahaan nasional, terutama di sektor transportasi, logistik, dan industri manufaktur. Banyak perusahaan yang mulai memangkas volume distribusi, menaikkan harga jual, atau menunda ekspansi akibat tekanan biaya operasional yang membengkak. UMKM yang bergantung pada pengiriman bahan bakar dan distribusi berbasis darat pun terpukul keras.
Sementara itu, BUMN energi seperti Pertamina juga menghadapi tekanan berat. Di satu sisi, perusahaan harus menjaga harga BBM bersubsidi untuk rakyat, namun di sisi lain, beban impor minyak mentah melonjak. Pemerintah pun terpaksa meninjau ulang skema subsidi energi dan alokasi anggaran negara.
Dampak lainnya terasa pada sektor investasi dan keuangan. Ketidakpastian pasar energi menyebabkan naiknya risiko investasi, terutama di sektor padat energi seperti industri baja, kimia, dan petrokimia. Investor global mulai mengalihkan modal ke sektor-sektor tahan krisis, seperti energi terbarukan dan logistik digital, meninggalkan sektor tradisional yang terdampak langsung oleh volatilitas harga minyak.
ADVERTISEMENT
Namun di balik krisis ini, muncul peluang strategis bagi Indonesia: mempercepat pengembangan energi terbarukan, seperti PLTS, bioenergi, dan kendaraan listrik. Perusahaan yang memiliki roadmap transisi energi kini justru menjadi primadona investasi. Krisis minyak ini seolah menjadi alarm global bahwa ketergantungan pada energi fosil semakin berisiko tinggi.