Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Peran Konseling: Mengapa Mahasiswa Rentan Mengalami Depresi?
5 November 2024 12:27 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Maharani Putri Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Depresi adalah gangguan suasana hati yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam, kehilangan minat terhadap aktivitas yang biasanya disukai, serta perubahan dalam kognisi dan perilaku. Menurut Beck dan Alford (2009), depresi melibatkan penyimpangan dalam perasaan, kognitif, dan perilaku individu, yang dapat mencakup kesedihan, perasaan tidak berharga, dan menarik diri dari lingkungan sosial. Melansir dari website Halodoc, depresi dapat memengaruhi perasaan, cara berpikir, dan perilaku seseorang, serta dapat berlangsung lama atau berulang jika tidak ditangani dengan baik. Gejala depresi dapat mencakup emosi negatif seperti kecemasan dan putus asa, serta gejala fisik seperti kelelahan, gangguan tidur, dan perubahan nafsu makan. Depresi sering kali dipicu oleh faktor-faktor seperti perubahan hidup yang drastis, tekanan akademik, masalah keuangan, atau pengalaman traumatis. Jika tidak ditangani, depresi dapat mengganggu fungsi sehari-hari dan berpotensi menyebabkan keinginan untuk bunuh diri.
Sekretaris Program Studi Pasca Sarjana Fakultas Psikologi UI, Dr. Imelda Ika Dian Oriza, M.Psi., Psikolog menyebut, tingginya emosi negatif mahasiswa dikarenakan masa transisi yang tengah dialami mahasiswa dari masa remaja ke masa dewasa. Mahasiswa dituntut harus mampu beradaptasi dengan kebebasan yang baru dimilikinya di masa kuliah dan perubahan kondisi sosial yang mereka temui ditambah dengan kondisi pembelajaran yang sangat berbeda saat ini. Akibatnya adalah mahasiswa mengalami rasa kecemasan yang tinggi dan rentan menderita depresi. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada Maret 2024, terdapat 22,4% mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) mengalami gejala depresi.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama depresi di kalangan mahasiswa. Pertama, tekanan akademik. Mahasiswa sering menghadapi tuntutan akademik dalam perkuliahan, seperti jadwal kuliah yang padat, beban tugas yang menumpuk, tekanan untuk meraih nilai yang tinggi, lingkungan kampus yang kompetitif serta ekspektasi yang tinggi dari sekitar. Mahasiswa juga sering mengalami kecemasan terkait ujian, nilai, dan masa depan. Kedua, masalah finansial. Biaya pendidikan dan biaya hidup yang tinggi menjadi beban bagi sebagian mahasiswa yang dapat memicu stres. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan finansial dapat menyebabkan perasaan cemas dan putus asa, yang berpotensi memperburuk kondisi mental mereka. Ketiga, kesulitan beradaptasi. Mahasiswa yang merantau mungkin mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan kampus yang jauh dari keluarga dan teman-teman. Kurangnya dukungan sosial dapat memperburuk perasaan kesepian dan meningkatkan risiko depresi. Keempat, burnout. Kelelahan fisik dan emosional akibat tekanan akademik yang terus-menerus dapat menyebabkan burnout, yang ditandai dengan kehilangan motivasi dan minat pada aktivitas sehari-hari. Menurut saya, faktor lain yang menyebabkan depresi adalah kurang tidur, kurang berolahraga, pola makan tidak teratur, dan hubungan dengan keluarga.
Menurut saya, salah satu cara untuk mencegah depresi pada mahasiswa adalah memiliki someone to talk. Someone to Talk diartikan sebagai seseorang untuk diajak bicara atau curhat. Melansir dari website halodoc, bercerita merupakan salah satu metode yang ampuh untuk terapi penyembuhan gangguan kesehatan jiwa. Dengan bercerita, kita bisa mengurangi setidaknya separuh dari beban yang dirasakan dan merasa memiliki tempat untuk bersandar. Meskipun tidak selalu mendapatkan solusi, tetapi dengan bercerita dapat membuat kita merasa lebih lega dan tidak sendirian dalam menghadapi tantangan hidup. Someone to talk dapat berupa keluarga, sahabat, pasangan atau orang-orang yang dapat dipercaya. Namun, bagaimana jika kita tidak memiliki seseorang yang dapat dipercaya? Melakukan konseling dapat menjadi solusi terbaik.
Menurut saya, melakukan konseling dapat menjadi solusi ketika kita tidak memiliki seseorang yang dapat dipercaya dan tempat yang aman untuk bercerita. Konseling merupakan proses bantuan profesional yang dilakukan oleh seorang konselor untuk membantu klien mengatasi masalah, meningkatkan pemahaman diri, dan mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Gilbert (2004) menjelaskan bahwa untuk mengatasi depresi yang paling efektif ialah dengan menggunakan konseling terapi kognitif. Melalui sesi konseling, konselor dapat memberikan perspektif baru yang membantu mahasiswa untuk memahami situasi mereka dengan lebih baik. Selain itu, konseling juga memberikan ruang aman bagi mahasiswa untuk berbagi pengalaman dan emosi tanpa rasa takut akan penilaian buruk. Dengan bantuan konselor, mahasiswa dapat belajar mengidentifikasi pola pikir negatif dan menggantinya dengan cara berpikir yang lebih positif.
Sayangnya, banyak mahasiswa enggan melakukan konseling karena adanya stereotip negatif bahwa konseling hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki gangguan mental serius. Sehingga mereka merasa malu atau takut untuk mengunjungi layanan konseling. Banyak stereotip negatif lain yang sering saya dengar, seperti anggapan bahwa orang yang melakukan konseling adalah orang yang lemah karena tidak mampu mengatasi masalah sendiri, konseling dianggap sesuatu yang memalukan, dan stigma sosial yang menganggap konseling hanya untuk individu yang bermasalah. Padahal, banyak sekali hal-hal yang kita dapatkan selama proses konseling. Konseling tidak hanya membantu menyelesaikan permasalahan kita, tetapi juga memberikan wawasan yang lebih dalam tentang diri kita sendiri. Oleh karena itu, penting sekali adanya layanan konseling di perguruan tinggi agar dapat mencegah depresi pada mahasiswa.
Pentingnya layanan konseling di perguruan tinggi tidak dapat dipandang sebelah mata, terutama dalam mencegah depresi di kalangan mahasiswa. Dengan meningkatnya tekanan akademik, masalah finansial, dan kesulitan beradaptasi, mahasiswa sangat rentan terhadap gangguan kesehatan mental. Oleh karena itu, layanan konseling yang efektif dapat menjadi solusi yang tepat untuk membantu mahasiswa mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi. Saya mengajak semua pihak, baik mahasiswa dan dosen untuk lebih aktif mendukung dan memanfaatkan layanan konseling. Mahasiswa perlu memahami bahwa mencari bantuan bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah berani untuk menjaga kesehatan mental. Selain itu, perguruan tinggi perlu meningkatkan sosialisasi tentang manfaat konseling untuk mengurangi stigma negatif yang ada. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan kampus yang lebih sehat dan mendukung kesejahteraan mental mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Disusun oleh: Maharani Putri Dewi dan Prof. Dr. Andayani, M.Pd.