Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Chinmoku: Sikap Diam dan Sunyi dalam Komunikasi Orang Jepang
12 Oktober 2022 14:44 WIB
Tulisan dari Maharani Orlin Eliyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
「沈黙は金、雄弁は銀」
Chinmoku wa Kin, Yuuben wa Gin
“Diam adalah Emas, Kefasihan adalah Perak”
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda mendengar peribahasa Jepang di atas? Peribahasa tersebut memiliki arti bahwa diam jauh lebih baik ketimbang fasih dalam berbicara. Hal ini merujuk pada prinsip Chinmoku (diam dan sunyi). Orang Jepang meyakini bahwa lebih baik diam daripada membuat alasan-alasan yang buruk. Namun bukan berarti bahwa diam selalu lebih benar dibandingkan dengan berbicara atau berpendapat.
Sejak zaman kuno, orang Jepang cenderung tidak mengatakan pendapat mereka secara verbal dan selalu setuju dengan orang lain. Diamnya orang Jepang juga merupakan salah satu hal yang membuat orang Jepang terkesan kaku di mata orang asing. Lantas mengapa orang Jepang lebih memilih untuk diam ketimbang banyak bicara?
1. Lahirnya Chinmoku Berawal dari Ideologi Zen
Buddhisme masuk ke Jepang sekitar abad ke-6. Sedangkan sekte Buddhis bernama Zen baru muncul pada abad ke-12. Zen memberi banyak pengaruh dalam kehidupan orang Jepang, salah satunya yaitu prinsip Chinmoku. Melalui ajaran Zen, orang Jepang percaya bahwa kebenaran letaknya ada di dalam tubuh seperti di dalam hati atau perut. Perut digambarkan sebagai komponen yang paling penting karena dianggap sebagai pusatnya jiwa manusia. Oleh karena itu ada istilah merobek perut (harakiri 腹切り) sebagai bentuk pengembalian kehormatan jika kalah oleh musuh. Sebaliknya, komponen di luar tubuh seperti mulut dan wajah dianggap sebagai sesuatu yang penuh dengan kepalsuan. Dari ajaran itulah Chinmoku lahir karena mulut dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan merupakan sumber bencana.
ADVERTISEMENT
Tujuan latihan Zen tidak dinyatakan secara eksplisit tetapi hanya dipahami pada tingkat intuitif yang lebih dalam pada diri peserta didik itu sendiri melalui latihan terus-menerus, yang menekankan pada meditasi, ketenangan, dan pengosongan pikiran seseorang. Pelatihan Zen dirancang untuk mengajarkan bahwa kebenaran tidak dapat dijelaskan secara verbal, tetapi hanya dapat eksis dalam keheningan.
2. Kecenderungan Orang Jepang Sebagai Anggota Kelompok daripada Sebagai Individu
Kehidupan sosial masyarakat Jepang tidak terlepas dari kelompok. Ketika memperkenalkan diri, orang Jepang lebih mengutamakan nama kelompok dibandingkan dengan namanya sendiri. Mereka sangat berhati-hati terhadap ucapan dan lawan bicara. Terlebih lagi jika berbicara dengan orang yang peringkat sosialnya lebih tinggi. Orang yang peringkat sosialnya lebih rendah dianggap buruk apabila berbicara langsung di depan orang yang peringkat sosialnya lebih tinggi. Lingkungan yang seperti ini mendorong orang Jepang untuk berprinsip diam. Hal ini juga dipengaruhi oleh konsep uchi-soto (dalam dan luar), dimana orang Jepang akan lebih terbuka pada diri sendiri atau orang dalam seperti keluarga inti, dan akan lebih tertutup pada orang asing atau orang yang jabatannya lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
3. Saling Memahami Satu Sama Lain Walaupun Tanpa Mengungkapkannya Secara Langsung
Chinmoku memiliki makna yang sangat mendalam bagi orang Jepang. Aspek yang paling ditekankan dalam Chinmoku ialah rasa untuk saling mengerti secara tersirat. Melalui prinsip Chinmoku ini, orang Jepang percaya bahwa mereka dapat berkomunikasi satu sama lain melalui telepati. Dengan kata lain, apa yang penting dan apa yang benar di Jepang akan sering ada dalam diam, bukan dalam ekspresi verbal. Biasanya orang Jepang bisa memahami keinginan orang lain walaupun orang tersebut tidak mengatakannya secara langsung (Ishin Denshin).
4. Chinmoku Sebagai “Senjata” untuk Menghindari Konflik
Budaya Chinmoku sangat berlawanan dengan budaya barat, yang mana orang Barat lebih eksplisit dalam menyampaikan pendapat. Justru diam disebut sebagai tindakan yang tidak sopan karena dianggap tidak menghargai lawan bicara. Akan tetapi bagi orang Jepang sendiri, sikap diam lebih merujuk pada perasaan menahan diri untuk tidak mengatakan kalimat-kalimat yang tidak perlu yang kemungkinan dapat menyakiti perasaan orang lain atau kemungkinan dapat menyusahkan di kemudian hari. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa secara bersamaan, hal tersebut juga menunjukkan sikap apatis.
ADVERTISEMENT
Hall (1970) dalam budaya Jepang konteks tinggi menyatakan bahwa ekspresi verbal terutama dalam bentuk negatif seperti kemarahan, kebencian, ketidaksepakatan, penolakan dapat dihindari dengan prinsip enryo-sasshi (berdiam dan menahan diri). Dengan kata lain, diam bisa menjadi senjata untuk menghindari konflik dengan orang lain.
5. Ketidakjelasan dan Kesalapahaman dalam Prinsip Chinmoku
Keheningan sering kali dapat menyebabkan kesalahpahaman, bahkan dalam interaksi orang Jepang sekalipun. Bahkan, tidak jarang orang merasa kesal dan tidak sabar ketika mereka tidak dapat memahami satu sama lain karena ekspresi mereka terlalu tidak langsung untuk diikuti. Hal tersebut menyebabkan tindakan atau penilaian cenderung tertunda, sehingga seringkali membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengklarifikasi fakta dan memecahkan situasi masalah.
Diamnya orang Jepang ternyata tidak hanya untuk menghindari konflik dengan orang lain, tetapi juga untuk menjaga jarak. Contoh dalam kehidupan sehari-hari yaitu jika siswa melihat seseorang diintimidasi, mereka mungkin tidak menyebutkan apa-apa tentang fakta dan hanya mencoba untuk menjaga jarak dari penyerang dan korban, karena tidak mau terlibat dalam bullying itu sendiri dan takut akan memperkeruh keadaan. Singkatnya, diam juga berarti pembangkangan dan ketidakpedulian dalam kehidupan orang Jepang. Selain menimbulkan sikap apatis, Chinmoku juga bisa digunakan untuk melindungi posisi seseorang. Misalnya kepala sekolah lebih memilih diam untuk menyembunyikan fakta yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini, ia mencoba untuk menghindari tanggung jawabnya.
ADVERTISEMENT
Keheningan sebagai cara untuk menghindari ekspresi verbal memiliki fungsi baik secara positif maupun negatif. Untuk menciptakan suasana santai dan harmonis, keheningan memainkan peran penting dalam interaksi orang Jepang, terutama untuk menghindari ujaran yang tidak perlu. Akan tetapi, keheningan juga dapat menimbulkan sikap yang kurang mulia seperti melalaikan tanggung jawab, kecanggungan, atau sikap apatis.
6. Chinmoku dalam Lintas Budaya
Ketika orang Jepang diam, mungkin menyiratkan berbagai arti, seperti pertimbangan atau simpati, kesopanan, persetujuan, kesabaran, rasa malu, dendam, pembangkangan, dan apatis. Tentunya hal ini dapat menyebabkan kebingungan bagi orang non-Jepang yang tidak memahami budaya Chinmoku. Secara umum, budaya barat telah lama menekankan ekspresi verbal untuk mengungkapkan pendapat dan emosi dengan jelas dan terbuka. Naotsuka (1996, hlm. 220-223) menyatakan bahwa:
ADVERTISEMENT
Namun dalam beberapa situasi, orang Jepang dapat mengajukan pertanyaan seperti “berapa umurmu” atau “apakah Anda sudah menikah” yang mana dalam budaya barat hal tersebut dianggap tidak sopan. Namun dalam hubungan orang Jepang yang mana orang-orangnya terbiasa untuk bergantung satu sama lain, maka informasi pribadi semacam ini diperlukan untuk mendapatkan ikatan dengan orang lain.
Chinmoku telah menjadi budaya di dalam masyarakat Jepang. Jepang beranggapan lebih baik dibandingkan banyak bicara yang tidak perlu. Budaya ini menjadi kendala bagi orang asing yang tidak terbiasa dengan Chinmoku. Dikarenakan Chinmoku bisa lancar jika masing-masing dari orang bisa tahu isi hati dan maksud dari lawan bicara. Hal itu bisa lancar pada orang Jepang karena sejak awal mereka sudah paham dengan metode komunikasi ini.
ADVERTISEMENT
Menurut Anda, Chinmoku dalam kehidupan orang Jepang ini lebih merujuk pada nilai positif atau negatif?
Referensi:
Davies, Roger J. and Osamu Ikeno. 2002. The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture. Singapore: Tuttle Publishing.
"The Japanese Mind: Communication"
https://www.toki.tokyo/blogt/2016/9/15 /the-japanese-mind-communication diunduh pada 01 Oktober 2022.