Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Swasembada Pangan: Tantangan dan Strategi Pemerintahan Prabowo-Gibran
5 Februari 2025 10:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mahardika Aulia Syafi'i tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Swasembada pangan adalah kemampuan dan pengetahuan di bidang pangan yang memungkinkan kita untuk menyediakan kebutuhan pangan sendiri melalui berbagai kegiatan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Khudori, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, terdapat tiga pandangan utama mengenai swasembada pangan dalam publik.
ADVERTISEMENT
1. Swasembada Mutlak: Seluruh kebutuhan komoditas dipenuhi dari produksi domestik sehingga tidak ada impor.
2. Swasembada Menurut FAO: Swasembada tercapai apabila produksi domestik mencapai 90% dari kebutuhan nasional dan sisanya 10% dari impor.
3. Swasembada On Trend: Digunakan pada zaman Orde Baru, di mana impor dilakukan hanya ketika terjadi gagal panen karena badai atau cuaca ekstrem, sementara di waktu lainnya kebutuhan dipenuhi dari produksi domestik.
Pemerintahan Prabowo-Gibran kembali menggiatkan program swasembada pangan yang sudah dicetuskan sejak era Soekarno. Menurut Prof. Bayu Krisnamurthi, Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1985/1986, hasil dari kebijakan pembangunan perkebunan dan industri kelapa sawit. Pada awal pemerintahannya, Prabowo menetapkan target agar Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 2028-2029, menjelang akhir masa jabatan Prabowo-Gibran. Strategi awal yang diterapkan pada tahun 2025 ini adalah menyetop impor empat komoditas pangan, yaitu beras, gula konsumsi, garam konsumsi, dan jagung pakan.
ADVERTISEMENT
Menyetop impor dapat berdampak buruk bagi Indonesia apabila tidak diimbangi dengan kecukupan stok dan kestabilan harga dari empat komoditas tersebut di dalam negeri. Dalam teori Pendapatan Nasional, yaitu (Y = C + I + G + NX), di mana (NX) adalah Net Ekspor (Ekspor – Impor), menyetop impor akan meningkatkan Net Ekspor yang ujungnya meningkatkan pendapatan nasional. Namun, hal ini hanya terjadi apabila Indonesia sudah dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan masih memiliki sisa untuk diekspor. Jika kebutuhan dalam negeri tidak terpenuhi, akan terjadi kelangkaan dan harga akan meningkat.
Faktanya, hingga saat ini pemerintah masih mengimpor beras sebanyak 4,52 juta ton sepanjang 2024, naik sekitar 47,38% dari tahun 2023 yang sebanyak 3,06 juta ton (data cnbcindonesia.com). Selain itu, untuk jagung pakan, Indonesia masih mengimpor sebanyak 1,3 juta ton sepanjang Januari-November 2024 (data ekonomi.bisnis.com). Berdasarkan data tersebut, pemerintah masih harus berusaha keras mengembangkan lahan-lahan untuk memproduksi komoditas pangan yang masih kurang supaya dapat memenuhi kebutuhan nasional.
ADVERTISEMENT
Ketika pemerintah dapat mencapai kondisi swasembada pangan, pendapatan nasional akan naik karena tidak adanya impor. Pendapatan nasional yang naik menggambarkan bahwa perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia membaik. Swasembada pangan memang memiliki dampak yang baik untuk suatu negara supaya dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri namun perlu persiapan yang matang untuk menerapkannya dalam suatu negara.
Adam Smith, Bapak Ekonomi Dunia, mengatakan bahwa perekonomian, termasuk pasar komoditas pangan, akan mencapai titik keseimbangannya secara alami melalui mekanisme pasar (invisible hand). Jadi, peran pemerintah dalam membuat kebijakan untuk mewujudkan swasembada pangan sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Secara geografis, Indonesia memiliki potensi tinggi untuk mencapai swasembada pangan. Dengan optimalisasi lahan yang ada, Indonesia dapat memproduksi beras, gula, garam, dan jagung dalam volume besar sehingga dapat mencukupi kebutuhan nasional dan bahkan mengekspor komoditas tersebut ke luar negeri.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam implementasinya, swasembada pangan bukan hanya soal peningkatan produksi, tetapi juga efisiensi distribusi dan manajemen stok pangan. Infrastruktur pertanian, seperti irigasi, jalan distribusi, dan teknologi pascapanen, perlu diperkuat agar hasil panen dapat disalurkan secara merata ke seluruh Indonesia. Tanpa sistem distribusi yang baik, surplus di satu wilayah tidak akan efektif menutupi defisit di wilayah lain, yang bisa menyebabkan disparitas harga dan kelangkaan.
Selain itu, faktor perubahan iklim menjadi tantangan besar bagi swasembada pangan. Perubahan pola curah hujan, suhu ekstrem, dan bencana alam dapat menghambat produksi pertanian. Oleh karena itu, penerapan teknologi pertanian modern, seperti varietas unggul tahan iklim dan sistem pertanian presisi, menjadi kunci keberhasilan program ini. Pemerintah juga perlu memberikan insentif bagi petani untuk beralih ke metode yang lebih adaptif dan produktif.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kebijakan swasembada pangan harus tetap memperhitungkan kesejahteraan petani. Harga komoditas yang terlalu rendah dapat merugikan petani dan menurunkan minat dalam bercocok tanam. Sebaliknya, harga yang terlalu tinggi akan membebani konsumen. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara kepentingan produsen dan konsumen melalui kebijakan harga yang tepat serta dukungan berupa subsidi atau perlindungan pasar bagi petani kecil.
(mahardika)
Live Update