Konten dari Pengguna

Pelemahan Kewenangan KPK Ditengah Maraknya Kasus Tindak Pidana Korupsi

Mahardika Ryan Lokesworo
Saya adalah seorang mahasiswa Prodi S1 Ilmu Hukum dari Universitas Singaperbangsa Karawang
14 Oktober 2024 15:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mahardika Ryan Lokesworo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Korupsi merupakan masalah yang serius karena mengancam stabilitas dan keamanan sosial, melemahkan nilai-nilai dan moral demokrasi, membahayakan dan menghambat pembangunan ekonomi, sosial dan politik, serta dapat mengakibatkan kemiskinan massal. Oleh karena itu perlu perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Salah satu upaya untuk menurunkan angka korupsi yang tinggi adalah melalui upaya pencegahan. Untuk itu dibentuklah badan khusus pemberantasan korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga penegakan hukum negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 30 Tahun 2002 dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi “Super Hero” bagi pihak oposisi yang sangat membenci korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun kini menjadi penjahat bagi pelaku tindak pidana korupsi dan penjahat yang sebelumnya bisa hidup damai.
Sejak KPK didirikan pada tahun 2002, lembaga ini telah memainkan peran penting dalam pemberantasan korupsi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir terdapat terdapat isu yang dilontarkan terkait pelemahan kewenangan KPK oleh para petinggi yang memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat, aktivis, dan pemerhati hukum. Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi terutama yaitu melalui reformasi hukum dan tindakan yang membatasi independensi lembaga tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejarah Pelemahan KPK
Upaya pelemahan KPK sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Sejak tahun 2009, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah telah melakukan sembilan perubahan terhadap UU KPK. Reformasi ini tidak berhasil pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun keadaan berubah sejak Joko Widodo terpilih sebagai presiden. Pada tahun 2019, amandemen Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya disahkan, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai langkah untuk membatasi kewenangan lembaga antikorupsi. Berikut beberapa faktor yang melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi:
1. Pembentukan Dewan Pengawas
Salah satu perubahan paling mencolok adalah pembentukan Dewan Pengawas berdasarkan Pasal 37B Revisi UU No. 30 Tahun 2002. Dewan Pengawas memiliki kewenangan untuk mengawasi dan memberikan izin kepada KPK dalam melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Sebelumnya, KPK memiliki otonomi penuh dalam menjalankan tugasnya tanpa perlu persetujuan pihak lain. Kini, keharusan untuk mendapatkan izin dari Dewan Pengawas dapat memperlambat proses penegakan hukum dan memberi kesempatan bagi pelaku korupsi untuk menghilangkan barang bukti.
ADVERTISEMENT
2. Perubahan Status Kepegawaian
Melalui Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 Revisi UU NO. 30 Tahun 2002 juga mengubah status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini berpotensi mengganggu independensi pegawai KPK, karena mereka kini berada di bawah naungan pemerintah. Dengan status ASN, pegawai KPK dapat terpengaruh oleh kebijakan politik dan administrasi yang dapat membatasi kebebasan mereka dalam menjalankan tugas.
3. Status Administratif KPK
KPK sebelumnya memiliki status sebagai lembaga independen yang berada di luar rumpun eksekutif. Namun, dengan revisi UU KPK, KPK kini lebih terintegrasi dengan struktur administratif pemerintah. Meskipun demikian, status ASN pegawai KPK tidak secara langsung mempengaruhi status independensi lembaga KPK, karena pengalihan status hanya mengikat pegawai secara profesi dan tidak mempengaruhi kinerja KPK secara keseluruhan. UU No 31 Tahun 1999 yang berisi landasan awal berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi dan memberikan kewenangan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Serta UU No 30 Tahun 2002 yang dengan tegas menetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai badan independen yang bertugas memberantas korupsi.
ADVERTISEMENT
4. Pembatasan Wewenang Penindakan
Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan juga mengalami pembatasan. Misalnya, kasus korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp1 miliar kini dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan. Ini berarti bahwa KPK tidak lagi memiliki otoritas penuh untuk menangani semua kasus korupsi, yang dapat mengakibatkan penurunan jumlah kasus yang ditangani. Pasal 11 UU No 30 Tahun 2002 yang dimana Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyelidiki, menginterogasi, dan mengadili hanya terbatas pada tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, pejabat negara, dan pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.
5. Dualisme Pengaturan Delik Korupsi
Dengan adanya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pengaturan delik korupsi menjadi lebih kompleks karena sebagian diatur dalam UU Tipikor dan sebagian lainnya dalam KUHP. Hal ini menciptakan kerancuan dan potensi konflik hukum, di mana kewenangan KPK dapat berkurang karena kasus-kasus tertentu akan ditangani oleh institusi lain. UU No 31 Tahun 1999 yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus korupsi. Serta Pasal 14 UU Tipikor yang menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang yang tergolong tindak pidana korupsi dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. Hal ini memberikan ruang bagi pengadilan untuk mempertimbangkan kejahatan lain yang berkaitan dengan korupsi, yang berpotensi menimbulkan dualisme dalam penerapan hukum.
ADVERTISEMENT
Dampak Revisi UU KPK
Sejak revisi UU KPK, laporan dari Transparency International menunjukkan penurunan signifikan dalam kinerja lembaga tersebut. Dimensi independensi KPK mengalami penurunan dari 83% pada tahun 2019 menjadi hanya 28% pada tahun 2023. Selain itu, dimensi penindakan juga turun dari 83% menjadi 61%. Penurunan ini menunjukkan bahwa KPK semakin terhambat dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pemberantas korupsi.
Kinerja KPK yang semakin melemah juga terlihat dari kesulitan dalam menangani kasus-kasus besar. Misalnya, dalam kasus dugaan suap politikus PDI-P Harun Masiku, KPK terhambat untuk melakukan penggeledahan di kantor DPP PDI-P karena harus menunggu izin dari Dewan Pengawas. Situasi ini berbeda jauh dengan masa lalu ketika KPK mampu bertindak lebih cepat dan tegas.
ADVERTISEMENT
Kriminalisasi dan Intimidasi
Selain pelemahan legislasi, KPK juga menghadapi ancaman kriminalisasi dan intimidasi terhadap para pegawainya. Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Novel Baswedan adalah salah satu contoh nyata dari upaya untuk melemahkan institusi ini. Tindakan-tindakan semacam ini menciptakan suasana ketakutan di kalangan pegawai KPK dan masyarakat sipil yang mendukung pemberantasan korupsi.
Dengan demikian pelemahan kewenangan KPK melalui berbagai perubahan legislasi dan pembentukan struktur baru telah menimbulkan kekhawatiran tentang efektivitas lembaga ini dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Dengan adanya pembatasan wewenang, pengawasan yang lebih ketat, serta status pegawai yang berubah, membuat tantangan bagi KPK semakin besar. Untuk mengembalikan kepercayaan publik dan efektivitas lembaga ini, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan yang ada serta dukungan dari semua pihak untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tanpa dukungan kuat dari masyarakat sipil dan komitmen politik yang jelas, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia akan terus menghadapi tantangan serius.
Foto bersumber dari : https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk