Konten dari Pengguna

Normal dan Tidak Normal: Mengubah Paradigma untuk Perubahan

Mahdizal Khalila
Nama saya Mahdizal Khalila asal Kota Padang. Saya adalah Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Andalas. Saya senang berbagi opini dalam mengupas permasalahan yang sedang terjadi. Harapan saya, opini ini dapat bermanfaat bagi orang lain
12 Januari 2025 8:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mahdizal Khalila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: Penulis
zoom-in-whitePerbesar
sumber: Penulis
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia sering kali terjebak dalam logika sederhana yang membagi manusia menjadi dua kategori: orang normal dan orang tidak normal. Logika ini tampaknya menjadi kerangka berpikir yang umum diterima. Apakah ini buruk? Tidak sepenuhnya. Pada dasarnya, pembagian ini membuat keputusan menjadi lebih mudah: kita dapat menghukum yang salah dan menghargai yang benar. Namun, masalah sebenarnya terletak pada bagaimana masyarakat Indonesia mendefinisikan "normal".
ADVERTISEMENT

Normal yang Bermasalah

Sayangnya, standar "normal" dalam masyarakat kita sering kali terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang salah dan tidak terdidik. Sebagai contoh sederhana, mari kita lihat persoalan "buang sampah". Di berbagai tempat, kita sering menemukan papan peringatan bertuliskan "Dilarang Membuang Sampah Sembarangan". Apakah peringatan ini efektif? Jawabannya mungkin mengejutkan: iya, tapi hanya dalam logika mereka yang membuang sampah.
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 70% sampah di Indonesia dibuang tidak pada tempatnya. Bagi sebagian orang, jalan raya, kolong jembatan, sungai, atau trotoar adalah "tempat sampah" mereka. Mereka tidak menganggap tindakan itu sebagai "buang sampah sembarangan", melainkan membuang sampah di tempat yang menurut mereka sudah "biasa". Contoh nyata adalah tumpukan sampah di tengah pembatas jalan raya. Jika benar-benar sembarangan, bukankah seharusnya sampah itu berserakan di berbagai tempat? Kenyataannya, sampah-sampah itu sering ditumpuk rapi di lokasi yang sama. Ini menunjukkan adanya kebiasaan yang dianggap "normal".
ADVERTISEMENT
Kebiasaan ini berakar sejak lama. Anak-anak yang tumbuh besar melihat orang tua mereka membuang sampah di tempat-tempat seperti itu, dan akhirnya menganggapnya sebagai hal biasa. Masyarakat akhirnya menerima bahwa jalanan yang penuh sampah adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini membuat hukum dan upaya perubahan menjadi lemah karena yang buruk telah dinormalisasi.

Normalisasi dan Standar yang Salah

Masalah normalisasi tidak hanya berlaku pada persoalan sampah. Penjual yang mengokupasi trotoar, korupsi, nepotisme, hingga perjudian adalah contoh lain dari perilaku yang dianggap "normal" oleh sebagian masyarakat. Standar normal ini berbeda di setiap budaya, tergantung pada apa yang diterima secara luas.
Ambil contoh masyarakat Jepang yang mungkin merasa tidak nyaman jika seorang pria menjual durian di trotoar. Bagi mereka, hal ini tidak normal dan bahkan mengganggu ketertiban. Namun, di Indonesia, pemandangan ini adalah hal yang wajar. Sebaliknya, orang Indonesia akan merasa tidak nyaman jika ada pria yang berjalan-jalan mengenakan crop top di tempat umum. Namun, di Thailand, hal itu bisa dianggap lumrah.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh standar normal yang diterapkan. Ketika sesuatu dianggap tidak normal, masyarakat akan lebih waspada dan kritis. Sebaliknya, jika dianggap normal, hal itu akan terus terjadi tanpa perlawanan berarti.

Perubahan Dimulai dari Ketidaknormalan

Untuk membawa perubahan yang lebih baik, kita harus menantang status quo. Kita harus berani menjadi "tidak normal". Melawan kebiasaan buruk yang sudah mengakar membutuhkan keberanian untuk berbeda dari mayoritas. Memang, menjadi berbeda sering kali membuat kita dihujat atau dicemooh. Namun, hanya dengan menjadi agen perubahan, kita bisa menciptakan normalisasi yang baru.
Bayangkan jika Anda mulai membawa tong sampah besar dan memunguti plastik di jalan raya. Orang-orang mungkin akan memandang Anda aneh, bahkan menganggap Anda gila. Tetapi jika Anda terus melakukannya, lama-kelamaan tindakan Anda akan dianggap wajar dan bahkan diikuti oleh orang lain. Begitu pula dengan kebiasaan baik lainnya, seperti menjaga kebersihan trotoar atau mematuhi peraturan lalu lintas. Hal-hal kecil yang tampak sepele ini dapat menjadi awal dari perubahan besar.
ADVERTISEMENT

Normalisasi Baru yang Baik

Untuk menciptakan perubahan, kita perlu menormalkan tindakan yang baik. Standarnya sederhana: sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku. Lebih dari itu, tanyakan pada diri Anda sendiri, "Jika saya diperlakukan seperti ini, apakah saya akan merasa senang?" Jika jawabannya ya, maka tindakan itu kemungkinan besar adalah sesuatu yang baik dan pantas dinormalisasi.
Namun, kita juga harus jujur bahwa dosa para pendahulu telah meninggalkan warisan kebiasaan buruk yang sulit diubah. Kita hidup dalam realitas di mana yang salah sering kali dianggap benar karena sudah terbiasa. Sebagai generasi yang masih hidup, tanggung jawab kita adalah mengubah ini. Langkah awal mungkin sulit, tetapi itu adalah keharusan.

Menghadapi Tantangan

Menjadi tidak normal di tengah masyarakat yang mengagungkan kebiasaan buruk adalah tantangan besar. Anda mungkin akan dicemooh, dicap "pick me", atau bahkan dihina karena berbeda. Tetapi ingatlah, setiap langkah kecil menuju perubahan adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Misalnya, jika Anda memutuskan untuk mematuhi aturan lalu lintas dengan disiplin, jangan kaget jika orang lain mengejek Anda. Namun, tindakan kecil ini adalah bagian dari upaya untuk menanamkan kesadaran baru dalam masyarakat. Sebuah kesadaran bahwa menghormati aturan adalah bagian dari hidup yang teratur dan harmonis.

Menjadi Agen Perubahan

Pada akhirnya, perubahan besar selalu dimulai dari tindakan kecil. Kita harus berani menjadi orang yang "tidak normal" untuk melawan normalisasi yang buruk. Dengan keberanian untuk berbeda, kita dapat membawa masyarakat menuju normalisasi yang lebih baik.
Tugas kita bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang. Apa yang kita lakukan hari ini akan menjadi kebiasaan mereka di masa depan. Jadi, mari kita mulai dari sekarang. Jadilah "tidak normal" dalam definisi positif. Lakukan kebaikan meskipun itu dianggap aneh oleh orang lain. Karena pada akhirnya, kebaikan yang konsisten akan menjadi normal yang baru.
ADVERTISEMENT
Mari kita menjadi agen perubahan! Mari kita hancurkan normalisasi buruk dengan membawa normalisasi baik! Jangan takut menjadi berbeda, karena di sanalah letak kekuatan kita untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Ayo, bersama-sama kita ubah paradigma ini! Ayo jadi tidak normal yang baik!