Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Melihat Xi Jinping di Masa Depan
10 Januari 2023 16:34 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Mahendra Lavidava tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Partai Komunis Tiongkok baru saja menyelesaikan kongres lima tahunannya pada tanggal 22 Oktober 2022 lalu. Kongres tersebut dimulai pada tanggal 16 Oktober 2022 dengan agenda utama dari kongres tersebut adalah pengukuhan Xi Jinping sebagai Sekretaris Jenderal dari Partai Komunis Tiongkok. Xi Jinping membuka kongres tersebut dengan menguraikan pencapaian dari Partai Komunis Tiongkok melalui pidato panjangnya yang disaksikan oleh 2.300 anggota partai.
ADVERTISEMENT
Pada pidato tersebut, Xi Jinping membahas mengenai zero covid dan masalah Taiwan. Perihal masalah Taiwan, jelas Tiongkok menganggap bahwa wilayah tersebut merupakan satu kesatuan dengan Tiongkok daratan. Partai Komunis mengenal yang namanya Politburo sebagai badan yang memiliki keputusan tertinggi dalam struktural partai. Pada Politburo kali ini, Xi Jinping memilih Zhao Leji, Li Qiang, Wang Huning, Cai Qi, Ding Xuexiang, dan Li Xi untuk menjadi orang-orang terdekatnya dalam menentukan arah kebijakan dari Partai Komunis Tiongkok.
Tradisi di Tiongkok adalah siapa yang menjadi Sekretaris Jenderal dari Partai Komunis Tiongkok, maka biasanya dia yang akan menjadi Presiden Tiongkok selanjutnya. Penentuan ini akan diputuskan dalam Kongres Nasional Tiongkok tentang apakah Xi Jinping akan menjadi Presiden Tiongkok selanjutnya atau ada dinamika lain yang terjadi. Menarik untuk menganalisis seperti apa Tiongkok ke depan setelah Xi Jinping dikukuhkan kembali sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Mengingat posisi Tiongkok dalam dinamika geopolitik saat ini memiliki peran vital, dalam kata lain sebagai salah satu pengatur dan penentu dari jalannya geopolitik yang terjadi. Maka, melihat bagaimana Tiongkok melalui Partai Komunis di bawah komando Xi lima tahun ke depan menjadi menarik untuk dianalisis. Salah satu topik yang masih akan terus menarik untuk dikulik adalah konflik Tiongkok dan Taiwan.
Konflik yang berlangsung sejak Mao Zedong masih berkuasa ini disinyalir masih akan terus berlangsung. Ambisi besar Tiongkok untuk menyatukan kembali dua wilayah tersebut sudah banyak dilakukan, salah satunya adalah melalui kebijakan “One Tiongkok Policy” di mana negara-negara lain hanya boleh mengakui satu Tiongkok di dunia ini. Tindakan lain seperti pesawat tempur Tiongkok yang memasuki teritorial udara dari Taiwan juga cukup menimbulkan ketegangan di antara keduanya. Ditambah dengan kunjungan Ketua Parlemen Amerika Serikat, Nancy Pelosi ke Taiwan pada bulan Agustus 2022 membuat konflik tersebut makin runyam.
ADVERTISEMENT
Ketegangan antara Tiongkok dan Barat, khususnya dengan Amerika Serikat juga masih akan terus berlangsung, meskipun minim akan terjadinya konflik terbuka karena kedua negara memiliki kekuatan militer yang besar. Mengutip dari situs Global Fire Power, pada tahun 2022 ini Amerika Serikat menduduki peringkat pertama dengan power index skor 0.0453 dan Tiongkok di peringkat tiga dengan power index skor 0.0511. Amerika hampir tidak mungkin menyerang Tiongkok dalam waktu dekat maupun menengah mengingat apabila hal tersebut dilakukan, maka akan menyulut sekutu dekat Tiongkok, yaitu Rusia dan memang tidak ada konflik yang mengharuskan hingga ke tahap konflik terbuka.
Terlebih saat ini, kekuatan Tiongkok merupakan salah satu yang besar dan berpengaruh di dunia. Hampir semua negara memiliki kerja sama ekonomi dengan Tiongkok, oleh karenanya jika Amerika membuat konflik terbuka dengan Tiongkok, maka akan menimbulkan efek domino berupa krisis ekonomi global yang berdampak kepada Amerika Serikat sendiri. Satu-satunya konflik yang terjadi secara langsung antara Tiongkok dan Amerika Serikat adalah perang dagang yang berlangsung pada era Presiden Trump.
ADVERTISEMENT
‘Dibenci namun diinginkan,’ mungkin kata-kata itu yang tersemat kepada Tiongkok. Secara ideologi, negara ini memang berbeda dengan kebanyakan negara barat saat ini. Tiongkok dengan komunisnya berlawanan dengan liberalismenya barat sehingga banyak kebijakan yang dibuat bertentangan dengan barat. Namun, kekuatan ekonomi dari Tiongkok tidak dapat dihindarkan, mulai dari pasar yang besar dari penduduknya yang mencapai satu miliar lebih, ditambah saat ini perusahaan mana yang tidak mendirikan pabriknya di Tiongkok. Brand sebesar Apple pun merakit produknya di Tiongkok, hal tersebut dapat terlihat dari tulisan yang tertera pada produknya.
Persekutuan antara Tiongkok dan Rusia masih akan terus berlangsung setidaknya selama perang di Ukraina berkecamuk. Meskipun begitu, Tiongkok terkadang meminta kepada Rusia untuk tidak terlalu represif kepada Ukraina. Namun, tetap sekutu terdekat adalah Tiongkok bagi Rusia. Kesamaan intensi seperti sentimen terhadap barat dan sejarah Rusia yang dulunya adalah Uni Soviet dengan ideologi komunis, membuat Rusia menjadi rekan dekat Tiongkok sampai saat ini. Walaupun Rusia sudah mengganti ideologinya, baik Rusia dan Tiongkok dianggap sebagai ancaman bagi barat. Rusia dengan NATO di Eropa, sementara Tiongkok dengan masifnya penyebaran dan penguatan hegemoni di Asia-Pasifik.
ADVERTISEMENT
Nine Dash Line merupakan salah satu contoh dari betapa kuatnya kekuatan militer Tiongkok dan contoh nyata dari upaya penguatan hegemoni Tiongkok di Asia-Pasifik. Walaupun pada akhirnya dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Internasional, tetapi hal tersebut cukup mengganggu kedaulatan dari berbagai negara yang dilalui Nine Dash Line. Bukti lain adalah hadirnya AUKUS, sebuah pakta pertahanan trilateral antara Australia, Inggris Raya, dan Amerika Serikat yang belakangan bertujuan untuk menjaga stabilitas wilayah Indo-Pasifik. Pengamat menilai jika pakta tersebut lahir sebagai upaya dari barat untuk menekan dominasi Tiongkok di wilayah tersebut.
Hadirnya QUAD yang beranggotakan Amerika Serikat, India, Jepang, dan Australia juga disinyalir kuat sebagai upaya untuk menekan hegemoni Tiongkok di kawasan Asia-Pasifik. Kita bisa melihat anggota dari QUAD yang notabene ‘mengepung’ Tiongkok dari segala lini. Negara anggota QUAD semuanya memiliki permasalahan dengan Tiongkok sebelumnya. India dengan sengketa di wilayah Himalayanya, Jepang dengan sengketa saling klaim pulau di Laut Timur Tiongkok, dan Australia yang bermasalah dengan Tiongkok terkait Covid-19 yang berujung pada perang dagang. Atas dasar-dasar tersebut, Amerika membentuk sebuah forum dan terbentuklah QUAD dengan satu tujuan yaitu, Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Melalui penjabaran tersebut, dapat dilihat jika Tiongkok di bawah Xi Jinping selama ini sanggup membuat negara barat memperhitungkan kehadiran Tiongkok dalam panggung geopolitik, tidak hanya secara militer namun ekonomi dan sosial. Saat ini, tidak ada negara yang tidak memperhitungkan kehadiran Tiongkok. Tidak berlebihan pula jika mengatakan posisi Tiongkok saat ini sebagai negara besar menjadi salah satu “Game Master” dalam dinamika geopolitik yang terjadi. Kepemimpinan Xi yang penuh dengan perhitungan dan analisis yang tepat sanggup membuat peta geopolitik berubah. Lahirnya AUKUS, QUAD, dan Perang Dagang dengan Amerika Serikat cukup membuat bukti yang relevan dengan hal tersebut.
Selain itu, ke depannya Tiongkok akan tetap diperhitungkan dan lebih diperhitungkan terlebih bagi barat. Hegemoni di wilayah Asia-Pasifik akan sulit ditandingi oleh barat karena mayoritas negara berkembang memiliki ketergantungan secara ekonomi oleh Tiongkok di wilayah Asia-Pasifik dan sulit bagi barat untuk menggantikannya. Taiwan juga akan tetap menjadi salah satu prioritas utama bagi Tiongkok untuk mewujudkan ‘Satu Tiongkok’ sesungguhnya.
ADVERTISEMENT