Konten dari Pengguna

Politik Luar Negeri Bebas Aktif di Era Modern

Mahendra Lavidava
Mahasiswa S1 perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.
4 Juni 2023 8:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mahendra Lavidava tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peta Indonesia. Sumber: freepik
zoom-in-whitePerbesar
Peta Indonesia. Sumber: freepik
ADVERTISEMENT
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, kita masih menggunakan politik luar negeri ‘Bebas dan Aktif’. Melihat politik internasional yang selalu berubah, apakah di era modern ini, teori itu masih relevan?
ADVERTISEMENT
Wakil Presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta menulis sebuah buku bernama ‘Mendayung di antara Dua Karang’. Buku itulah yang melahirkan sebuah gagasan brilian perihal sikap politik Indonesia di kancah internasional, yakni politik luar negeri bebas dan aktif.
Kondisi geopolitik saat itu antara blok barat dan blok timur yang saling berebut pengaruh, membuat Indonesia, sebuah negara yang baru lahir perlu mengambil sikap sendiri. Tidak mau mendekat ke blok barat maupun blok timur.
Sehingga gagasan bebas aktif ini bukanlah sikap netral Indonesia dalam menghadapi dinamika politik internasional. Melainkan, sikap Indonesia yang bebas dalam mengambil tindakan tanpa dipengaruhi oleh pihak mana pun, dan aktif untuk berpartisipasi di setiap kegiatan internasional sesuai pembukaan UUD 1945.
Ilustrasi ASEAN. Foto: PAPALAH/Shutterstock
Hampir 78 tahun politik bebas aktif masih digunakan, teori itu selalu berhasil menjawab setiap tantangan geopolitik yang ada. Terbukti dari masih eksis nya Indonesia saat ini, dan turut serta Indonesia dalam setiap agenda internasional.
ADVERTISEMENT
Namun, ada beberapa kondisi karena mengadopsi politik luar negeri (polugri) bebas aktif, kita menjadi tidak bisa bergerak bebas. Kondisi saat ini, wilayah Indo-Pasifik yang meliputi keseluruhan Asia Tenggara hingga India di sebelah barat dan Samudera Pasifik di timur menjadi tantangan nyata di era modern.
Negara-negara besar menempatkan Indo-Pasifik sebagai wilayah yang harus ‘dikuasai’ pada saat ini. Hal itu tidak terlepas dari jalur perdagangan yang melewatinya.
Tiongkok sudah menyadari hal ini terlebih dahulu, mulai dari menjadi mitra dagang terbesar ASEAN. Lalu, aksi klaim sepihak atas sebagian besar Laut Tiongkok Selatan yang menimbulkan sengketa dengan negara Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Indonesia.
Ilustrasi Bendera China. Foto: Shutter Stock
Tiongkok tahu jika mereka bisa menguasai wilayah itu, maka kedigdayaan mereka semakin tak terbendung. Belum lagi konflik negara yang dipimpin Xi Jinping itu dengan Taiwan, membuat dominasi Tiongkok di Indo-Pasifik semakin kuat.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya Amerika Serikat beserta sekutu hadir untuk meredam dominasi tersebut. Bergelar negara Adikuasa sejak perang dunia II usai, membuat Amerika ogah kehilangan kuasanya di wilayah Indo-Pasifik.
Mulai dari membentuk blok pertahanan AUKUS yang beranggotakan Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Australia. Blok itu bertujuan untuk mengembangkan teknologi kapal selam nuklir yang akan diberikan kepada Australia.
Tujuannya jelas, meredam dominasi Tiongkok di Indo-pasifik. Kedua ada QUAD (Quadrilateral Security Dialogue), yang beranggotakan Amerika Serikat, India, Jepang, dan Australia yang memiliki tujuan sama dengan AUKUS.
Ilustrasi bendera Amerika Serikat dan China. Foto: Reuters/Damir Sagolj
Baik Amerika Serikat dan sekutu beserta Tiongkok, mereka tau jika posisi Indo-pasifik yang pertama kali digagas mantan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe memiliki posisi strategis dan ke depan, negara pemenang adalah yang bisa ‘menguasai’ wilayah Indo-pasifik.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? posisi Indonesia berada tepat di tengah pusaran perebutan pengaruh kedua blok. Hal ini membuat Indonesia memiliki daya tawar tersendiri, karena letak geografis dan posisi Indonesia di ASEAN.
Sudah sejak lama kita mengetahui jika Indonesia berada di antara 2 samudera dan 2 benua. Tapi sudah sejauh mana kita memaksimalkan posisi kita itu. Hingga saat ini, Indonesia hanya mengecam tindakan Amerika karena membentuk AUKUS, belum ada tindakan lebih lanjut untuk menghadapi aksi tersebut.
Padahal upaya yang dilakukan Amerika dan sekutu berpotensi besar mengganggu stabilitas regional di ASEAN. Mengingat Indonesia merupakan negara besar di ASEAN, salah satu pendiri bahkan. Namun, kita tidak bisa memaksimalkan kondisi itu untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang diperhitungkan di Indo-Pasifik.
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Salah satu alasannya karena Indonesia ini negara nanggung, dari segi geografi memang besar, tapi isi di dalamnya kurang kuat. Kita lihat dari segi militer, Alutsista angkatan laut kita masih kalah jauh dibanding negara-negara Quad ataupun AUKUS.
ADVERTISEMENT
Sehingga anggapan untuk dapat menjadi penengah atau bahkan pengarah dari dua blok pertahanan itu agak sulit untuk dilakukan. Alhasil dengan mengandalkan polugri bebas aktif kita tidak dapat berbuat banyak dengan kontestasi yang ada, hanya bisa sebagai penggertak atas peristiwa yang terjadi tanpa ada aksi lanjutan.
Sehingga jika kita melihat apakah teori bebas aktif masih relevan? jawabannya masih, terlihat dari eksisnya Indonesia di dunia internasional dalam berbagai agenda. Namun, karena kebijakan itu juga Indonesia mesti bertindak sangat hati-hati hingga cenderung tidak ada tindak lanjut, mungkin takut dikira memihak salah satu blok.
Ke depannya perlu adanya evaluasi terhadap polugri ini, karena mau bagaimanapun kita harus beradaptasi dengan dinamika politik internasional yang selalu berubah setiap saat. Jangan sampai kebijakan ini menjadi bumerang kepada Indonesia ke depannya.
ADVERTISEMENT