Konten dari Pengguna

Kampung yang Tertinggal untuk Karuhun

EPIC Adventure
Untuk para petualang, penjelajah dan pengembara. Kami menyediakan berbagai informasi bagi para petualang nusantara yang mendambakan petualangan unik setiap harinya. Credits by : Mahitala - UNPAR
10 Januari 2017 17:56 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari EPIC Adventure tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Pagi itu merupakan pagi yang cerah, untuk kami memulai petualangan kami menuju desa yang imajinya tak pernah terbayangkan oleh kami sebelumnya. Kampung Adat Urug, ya itulah sapaan yang selama ini digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyebut desa tujuan kami, yang berada di Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Sapaan akrab yang bahkan sampai saat ini masih terdengar berbeda di telinga kami. Dengan berbekal semangat yang masih hijau dan untuk menjawab rasa keingintahuan saya sesegera mungkin, maka saya pun memutuskan untuk berangkat dalam grup pertama. Keberangkatan tersebut merupakan pertama kalinya bagi kami untuk melakukan perjalanan dengan lokasi tujuan yang berada di luar wilayah Bandung.
Tentunya keberangkatan itu menjadi keberangkatan yang asing bagi kami. Namun di tengah keasingan tersebut, ternyata kami malah disambut ramah dengan masyarakat setempat. Sambutan hangat yang kami terima ini, tentunya membuat kami semakin bersemangat untuk mencari tahu lebih dalam tentang kejutan dan keindahan apa lagi yang menanti kami selanjutnya. Oleh karenanya, kami semakin bersemangat mendengar kisah tentang keistimewaan sejarah Kampung Adat Urug yang dibawakan oleh Abah Ukat (kepala adat Kampung Adat Urug).
ADVERTISEMENT
Esok paginya, seiring menunggu terbitnya mentari di ufuk timur, saya bersama dengan seorang teman mulai melangkahkan kaki mengikuti derasnya suara aliran sungai. Sembari berjalan, saya melihat lugunya senyuman masyarakat setempat saat menyapa kami dan indahnya seni bangunan tradisional yang menghiasi perjalanan kami. Sepulangnya kami dari sungai, kami pun kembali dikejutkan dengan bunyi-bunyian irama yang begitu harmonis. Mendengarnya, bergegas saya pun langsung berlari ke arah tempat alunan musik tersebut dimainkan. Sesampainya saya disana, saya pun mengetahui ternyata irama tersebut berasal dari suara tumbukan padi yang dipukul dengan menggunakan halu.
Proses penumbukan padi tersebut dilakukan oleh para wanita setempat, baik yang sudah tua maupun yang masih muda. Dengan hentakan halu terhadap lesung dan bebek, mereka menghasilkan irama yang khas sehingga terdengar begitu menarik. Walaupun mereka sudah memiliki alat penggiling padi, namun kebiasan menumbuk padi ini tetap mereka pertahankan, karena proses tersebut dipercaya sebagai tradisi yang diwariskan oleh leluhur mereka. Kerasnya irama pukulan halu menunjukan beratnya prosesi tradisi ini. Sekalipun keringat dan tenaga yang dicurahkan oleh para wanita perkasa ini tidaklah sedikit, namun dengan adanya keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai tradisi mereka, mereka mampu memberi kekuatan dan semangat untuk tetap berkarya.

ADVERTISEMENT
Religiusitas mereka selain beragama Islam adalah dengan mempercayai secara penuh bahwa seluruh peninggalan leluhur pastilah baik adanya dan perlu dipertahankan. Oleh karena itu, kampung ini mungkin terlihat sedikit tertinggal bagi kampung di sekitarnya, karena mereka ingin mempertahankan warisan para leluhur. Namun disinilah letak pesona yang dimiliki oleh masyarakat kampung tersebut, dimana mereka rela menjadi masyarakat yang tertinggal demi mempertahan warisan para karuhun (istilah bahasa sunda dari kata leluhur –pen). Selain itu, mereka pun juga bisa mengkombinasikan antara keindahan budayanya dengan kesetiaan mereka terhadap warisan para leluhur yang sudah menjadi bagian dari sistem religiusitas mereka saat ini.
ADVERTISEMENT