Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Seni di Negeri Ti'ilangga
17 Januari 2017 0:47 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
Tulisan dari EPIC Adventure tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kemegahan alam, keindahan adat istiadat, keramah-tamahan masyarakat, dan kesederhadaan dalam hidup merupakan hal langka yang begitu berharga, jika kita dapat memahaminya bukan melalui indra semata.”
ADVERTISEMENT
Negeri Ti’ilangga, begitulah Pulau Rote banyak dikenal. Ti’ilangga merupakan topi yang digunakan oleh orang asli Rote. Topi yang terbuat dari daun lontar kering ini dibuat dengan tangan sendiri (handmade) dengan cara dianyam. Topi Ti’ilangga dikenal sebagai inti dari pakaian adat yang dikenakan oleh kaum pria Rote. Disamping itu ada pula tarian dan alat musik tradisional yang digunakan untuk mengiringi acara perayaan maupun upacara adat. Tim kami turut menyaksikan langsung dan mempelajari tarian khas Rote, diantaranya adalah Tari Lendo, Ronggeng, Foti, Ja’I, dan Kebalai. Tari Lendo dan Ronggeng ditarikan oleh kaum perempuan. Perbedaan antara Tari Lendo dan Tari Ronggeng dapat dilihat dari gerakannya. Gerakan Tari Lendo disajikan secara anggun dan lemah lembut, sementara Tari Ronggeng menyajikan gerakan yang lebih lincah dan genit. Keduanya merupakan tarian yang dibawakan dengan indah dan menarik mata setiap penontonnya.
ADVERTISEMENT
Ada pula Tari Foti yang ditarikan oleh kaum pria. Tarian ini memerlukan sepasang kaki yang kuat karena gerakan tarian yang lincah dan terpusat pada gerakan kaki dengan iringan musik gong yang bertempo cepat. Selain itu ada Tari Ja’i dan Kebalai yang dilakukan secara beramai-ramai. Gerakan Tari Ja’i begitu lincah dengan diiringi musik bertempo sedang-cepat. Sepintas gerakannya seperti Tari Poco-poco karena dilakukan bersama-sama dan dapat meramaikan suasana. Pada Tari Kebalai, penari berjumlah hingga dua puluh orang yang menembangkan syair berima. Gerakan tari ini meliputi gerakan melingkar dan mengetukan kaki saat berputar sehingga menimbulkan irama ketukan yang mengiringi syair yang dinyanyikan. Tarian ini diiringi oleh irama musik gendang dan gong khas Rote. Ada empat macam ukuran gong dari yang paling kecil ke besar yaitu, Leko, Paseli, Kasa, dan Ina.
ADVERTISEMENT
Selain penggunaan alat musik, penari juga mengenakan pakaian tradisional saat menari. Kain merupakan inti dari pakaian tradisional tersebut. Uniknya, ada tiga macam warna yang wajib ada dalam setiap helai kain tenun Rote. Warna pokok tersebut adalah merah, putih, dan hitam yang masing-masing mengandung makna tersendiri. Merah sebagai simbol dari keberanian, putih simbol dari kesucian, dan hitam simbol dari kematian.
Tenun Rote Ndao. (Sumber: Kompas.com)
Akhir kata, jika diibaratkan dengan rasa, perjalanan kami dalam mendalami kehidupan masyarakat Oesosole layaknya seperti sajian jagung bose yang dihidangkan dengan rasa kasih dari warga Dusun Oesosole dan sekitarnya. Begitu hangat, penuh kelembutan dan kaya akan rasa didalamnya. Sementara pengalaman dan pengetahuan yang telah kami dapatkan layaknya trisula tajam yang digunakan untuk melaut, berkesan begitu kuat dan mendapatkan hasil laut yang melimpah.
ADVERTISEMENT