Anak Dibuai, Ibu Dibui

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
22 Desember 2021 21:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap manusia itu unik. Sudah sewajarnya, setiap ibu juga berbeda-beda. Tetapi kok tidak begitu, ketika saya bermaksud mencari potret dan mengunduh gambar yang menggambarkan sosok ibu. Saya ketik keyword "ibu" di mesin penelusuran google image. Sila cek sendiri, kalau tak yakin dengan saya. Tapi jika anda tak mau repot, baiklah saya beberkan hasilnya.
ADVERTISEMENT
Paling tidak, sepuluh gambar pada dua baris pertama adalah foto atau gambar seorang ibu dengan senyum kasih sayang, bersama anaknya dengan pose digendong atau sedang digandeng. Coba discroll terus ke bawah pun, gambarnya tak jauh-jauh dari itu.
Foto : Gambar berdasarkan pencarian google
Padahal, ada beraneka rupa ibu. Bukan sekadar ibu rumah tangga versus yang berkarier. Tentu saja karena tak ada manusia yang sempurna. Tak terkecuali manusia dengan peran sebagai ibu. Dalam kehidupan nyata, di sekeliling kita, ada pula mereka yang jauh dari gambar-gambar indah yang muncul di google pencarian kita. Bahkan, ada yang menyimpang dari nalar dan norma. Maksud saya, ada banyak ibu-ibu yang bernasib tak beruntung.
Kenapa tentang nasib ? Pasalnya, saya pernah mengenal seorang ibu. Belum lama ia keluar dari penjara. Anaknya tiga. Salah satunya disabilitas. Waktu itu saya diajak seorang, barangkali saya bisa membantunya mengakses bantuan dan jalan keluar.
ADVERTISEMENT
Saat itu, saya cuma dua atau tiga kali bertemu untuk mendengarkannya berkisah dan berkeluhkesah. Anaknya adalah disabilitas dan mengalami obesitas. Dengan kebutuhan khusus dan bobotnya yang luar biasa, tentu saja fungsi sosialnya terganggu.
Hubungan si ibu dengan suaminya memburuk. Anaknya butuh perhatian khusus, tentu soal utamnya : tak ada uang. Karenanya, untuk makan saja kesulitan. Singkat kisah, mereka putus pernikahan. Sekian tahun kemudian, baru kasusnya viral di media. Disorot medsos dan televisi. Fokusnya tentu saja bukan ibunya. Melainkan profil seorang anak dengan berat 180 kg.
Lima tahun berlalu. Saat ikut acara buka bersama di Lembaga Pemasyarakatan. Ada pertunjukan qasidah ibu-ibu. Sesaat acara selesai, salah satu anggota kasidah mendekat memanggilku. Ternyata itu dia. Dengan singkat, saya menyapa. "Lho, sekarang ikut grup kasidah?"
ADVERTISEMENT
"Iya, saya bikin salah lagi". Ternyata ia salah satu penghuni bui. Hari itu, sekali lagi, saya harus mendengarnya berkisah nasibnya dibui dua kali. "Demi memberi makan anak-anak", katanya.
Biar mudah, sebut saja ibu yang dibui itu bernama Marti. Nama tersebut saya pinjam dari satu cerpen bertajuk Pelajaran Mengarang, karya Seno Gumira Ajidarma. Tentang seorang anak SD bernama Sandra yang mendapat tugas dalam pelajaran mengarang. Dalam waktu 60 menit, Sandra harus membuat karangan bertema ibu. Betapa sulitnya menuliskan sosok ibunya di atas kertas tugasnya.
Cerita berakhir ketika Ibu Guru Tati memeriksa tugas mengarang murid-muridnya, pada malam harinya. Bu Tati sudah memeriksa separuh kertas kerja murid-muridnya. Kertas tugas dari Sandra ada di tumpukan akhir, tak lagi sempat diperiksanya. Namun, Bu Tati menyimpulkan bahwa murid-muridnya punya masa kanak-kanak dan keluarga yang indah. Padahal tugas mengarang Sandra sangat berbeda. Di lembarnya hanya tertulis sepotong kalimat : “ Ibuku Seorang Pelacur...".
ADVERTISEMENT
Cerita itu selalu terbawa-bawa dalam pikiran. Dahulu atan nama tugas pemerintah, saya harus bertemu dengan pelacur yang mempunyai anak balita di rumahnya. Ibu-ibu pengemis dengan membawa anak, entah sewaaan atau anak kandungnya. Bahkan pernah menemui kasus seorang ibu yang meninggalkan dua anak balita di sebuah terminal. Bercakap pula dengan seorang yang memiliki tapi belum siap menjadi ibu. Menawarkan barangkali ada yang mau mengadopsi. Daripada si jabang bayi terlantar di asuhan ibu yang remaja dan belum bekerja. Sekian perempuan, sekian ibu-ibu yang harus saya wawancara sedang terpenjara masalahnya. Terbui nasibnya.
"Demi anak-anak. Terpaksa, melanggar norma demi anak-anak". Alasannya rata-rata nyaris seragam.
Lalu, saya kepikiran sendiri. Gambar-gambar yang dibuat, diunggah di pelataran google, sepertinya nyaris tidak ada yang mewakili mereka. Apa boleh buat. Seorang ibu tampaknya diharuskan sebagai makhluk yang paling sempurna. Seakan ibu tak boleh ada cela. Sekali seorang menjelma menjadi ibu, memang begitulah tuntutannya.
ADVERTISEMENT
Oh ya, belum lama ini, Bu Marti yang dibui itu kemudian tiba-tiba saja muncul di depan meja kerjaku.
"Saya sudah selesai menjalani hukuman. Mohon, Bapak kini tinggal satu-satunya harapan saya. Anak saya yang gendut itu sudah tiada. Dan saya kapok, tak mau dibui lagi. Saya mau kerja apa saja. Barangkali saya bisa jadi pembantu rumah tangga di rumah Bapak"
Entah, bagaimana jawabnya. Dahulu, saya memang pernah memberinya uang. Saat bertemu di penjara, saya hanya memberinya benar-benar tak seberapa. Tak juga, menjanjikan apa-apa, apalagi memberi pekerjaan. Dan saya tak mampu menjadi penolongnya.
Ada ibunya Sandra dalam cerpen Pelajaran Mengarang yang menjadi pelacur. Juga beberapa kisah nyata, yang saya temui sendiri. Bukan hendak berdebat tentang sebab musababnya. Kemiskinan, iman, moral, mental atau perubahan zaman. Bukankah siapa yang telah melahirkan tetaplah seorang ibu. Sekalipun sosoknya tak bisa terwakili di gambar google atau di benak normal kita.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, sepertinya kita pura-pura mereka tak ada. Kebanyakan kita gagap membela. Kita gagal melindunginya. Atau seperti saya, merasa buntu untuk menolongnya. Bisakah sedikit saja, kita beri waktu dan ruang bahwa ibu-ibu yang tak beruntung itu memang ada. Dan setidaknya, tak terlalu cepat menghakiminya.
Jika seorang ibu dibui masalah, demi anak-anaknya bisa makan dan mendapat sedikit buaian kasih sayang, semoga Tuhan membebaskannya. Barangkali tak sekarang dan di sini, mungkin di kehidupan yang akan datang.
Sebab kita belum yakin, apakah Hari Ibu juga dirayakan oleh Bu Marti dan mereka semua.