Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Belajar Tipis-Tipis Makna Pipis
13 Oktober 2022 19:37 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin kencing ongkosnya cuma dua ribu. Tapi di balik kencing, tersembunyi nilai-nilai yang jauh menikung aroma pesingnya.
ADVERTISEMENT
Untuk anak kecil, kencing biasa disubstitusi dengan istilah pipis. Kata kencing rupanya cukup tabu jika disebut dalam suasana formal. Sudah lazim kita menggunakan "izin ke belakang" untuk minta izin kencing ke toilet. Lain lagi, ketika hajat ini dikeluarkan tanpa sengaja, disebutnya ngompol.
Kedermawanan
Pipis ternyata bisa dipersepsi demikian mahal. Begitu bernilainya, tersebutlah kisah seorang petani kaya yang enggan kencing di sungai, lahan atau ladang orang. Begitu kebelet pipis saat sedang bekerja di hutan, dia akan jalan jauh-jauh menuju ladangnya sendiri untuk pipis. Begitulah cara anak-anak menyindir tentang karakter pelit dalam dalam novel Nijushi No Hitomi atau Twenty-Four Eyes karya Sakai Tsuboi terbit 1952. Gambaran tipe manusia yang cuma mau menerima, tak mau memberi.
ADVERTISEMENT
Tapi jangan khawatir soal kedermawanan orang Indonesia. Data memperlihatkan bahwa kita adalah bangsa yang suka berderma. Terbukti Aksi Cepat Tanggap (ACT) mampu menghimpun (sekaligus menghianati) dana masyarakat hingga trilyunan rupiah.
Jadi jangan dibanding-bandingke dengan oknum dalam novel Jepang yang pelit tadi. Masih banyak orang tak keberatan kencing di manapun ketika ingin, bukan? Di mana ada tulisan : "jangan kencing di sini", hampir dipastikan justru jejak pesingnya menjadi-jadi. Apa yang dilarang justru menjadi perintah. Menjadi pembuktian teori Streisand Effect memang ada, serupa kasus ketika Streisand melarang datang ke rumahnya, justru orang berbondong-bondong ingin melihatnya.
Kedewasaan
Saat membaca novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan, tentang "burung" milik Ajo Kawir, ingatan saya melayang pada guyonan di warung kopi kantor kala membully teman yang jomblo. "Burung itu diciptakan bukan cuma untuk kencing". Oh, betapa inferiornya aktivitas kencing ini dibandingkan seks yang diagung-agungkan manusia.
ADVERTISEMENT
Sekalipun begitu, kencing bisa menjadi parameter kedewasaan. Dalam film pendek Turah Tegal terdapat kata-kata dari tokoh utama bernama Jadag, "Kon ngomong apa, nguyuh be durung lempeng". Secara bebas dialihbasahakan dalam bahasa Indonesia "Kamu tahu apa, kencing saja belum lurus".
Orang yang kencingnya belum lurus biasanya menunjuk orang yang tidak tahu apa-apa, masih anak-anak. Sebuah sindiran kepada orang yang secara umur biologois telah dewasa tetapi mentalnya masih kanak-kanak. Satu rumpun dengan yesterday afternoon kid atau anak kemarin sore.
Berkebalikan dengan itu, dalam novel The 100 Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared karya Jonas Jonasson, ada kisah Allan Karlsson yang minggat pas di hari ulang tahun ke-100 dari sebuah panti jompo dengan memakai sandal kencingnya. Disebut begitu, sebab hampir jarang air seni pria-pria jompo menyembur lebih jauh dari sepatu mereka. Jauh tidaknya air kencing meluncur dari sumbernya menjadi parameter kedewasaan.
ADVERTISEMENT
Kepahlawanan
Berlawananan dengan peringatan dalam bungkus rokok, bahwa rokok dapat membunuhmu, maka pipis dapat menyelamatkanmu. Maaf, di sini bukan forum untuk menyebut bahwa menonton bola juga dapat menewaskanmu. Jangan lupakan legenda si Julianske dari Kota Brussels. Si bocah yang dibuatkan patungnya oleh Hiëronymus Duquesnoy the Elder pada tahun 1618. Pipisnya si bocah mampu memadamkan meriam yang akan menghancurkan kota Brussels.
The Power of Pipis ini menjadi lambang bahwa eksistensi, pertahanan dan keruntuhan suatu kota bisa diselamatkan berkat pipis anak kecil. Usia belia tak menghalangi untuk memberikan kontribusi penting bagi suatu kota.
Keteladanan
Tidak dilupakan pepatah lama "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" menyiratkan pentingya pendidikan dan keteladanan. Capaian akademis bukan jaminan seseorang menjadi teladan baik. Tentu masih menempel di ingatan, kasus seorang guru besar bersikap rasialis. Padahal dari kencing saja, kita belajar bahwa pesing tak kenal ras, suku, bangsa dan agama. Seglowing-glowingnya artis korea, toh pipisnya akan pesing juga.
ADVERTISEMENT
Kejujuran
Dari aktivitas pipis, kita bisa belajar tipis-tipis tentang pentingnya kejujuran. Konon, banyak orang kencing di kolam renang karena merasa aman tanpa ketahuan. Saya pernah baca sebuah riset, di kolam renang di negara maju juga banyak fenomena orang kencing diam-diam berjamaah. Bukankah jemaah sekarang bukan cuma melekat pada kata shalat, sebut saja kata korupsi.
Sekarang ini kompetisi merebut kepemimpinan nasional sudah mulai memanas. Hasrat ingin pipis bisa ditautkan dengan kebelet nyapres 2024 atau keinginan berkuasa (kembali). Sebelum mereka beretorika tentang kemajuan dan masa depan, mari ingatkan mereka agar menyempatkan diri "izin ke belakang". Belajar kembali tentang nilai-nilai kepemimpinan melayani bukan dilayani, memberi dibandingkan menerima (kedermawanan), kedewasaan dan tahu masalah, kepahlawanan, keteladanan dan kejujuran.
ADVERTISEMENT
Mempromosikan nilai-nilai ini sudah tentu menjadi kewajiban kita secara kolektif berjemaah. Kalau nilai-nilai ini diabaikan maka ongkos yang harus kita bayar sangat mahal. Bukan dua ribu perak yang sering diselipkan di kotak uang depan pintu toilet umum.