Beli Mobil Berjemaah dan Mentalitas Nouveau Riche di Antara Kita

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
7 Maret 2021 7:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga saat membeli mobil usai menjual tanah di di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.  Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Warga saat membeli mobil usai menjual tanah di di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Momen mendapatkan rezeki nomplok atau mendadak kaya seperti Crazy Rich ala Tuban, benarkah waktu yang tepat mengukur mentalitas masyarakat?
ADVERTISEMENT
Sekampung beli mobil berjamaah. Konon, paling tidak 167 mobil. Itu terjadi di Sumurgeneng, sebuah desa di Tuban. Banyak warga tajir seketika. Berkah dari gusuran tanah, tersenggol proyek kilang minyak Pertamina dan Rosneft, perusahaan Rusia.
Mungkin nyaris tertutup kerak zaman. Tapi, mari sejenak menengok istilah zaman old yang pernah kondang: Orang Kaya Baru (OKB). Tersebutlah nouveau riche, yang lahir dari negeri romantis, tempat menara Eiffel berdiri sexy dengan pose menjulang. Sayang, istilah tersebut justru berkonotasi ngenyek alias peyoratif.
OKB sering mendapat stabilo dari masyarakat terkait vulgarnya perilaku. Selain norak, tanda lain adalah tumbuhnya sikap arogan. Ingin tahu, contoh masyarakat yang terinfeksi nouveau riche? Pikniklah ke Qatar, begitu sabda Eric Weiner dalam The Geography of Bliss.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah, tidak ada masyarakat yang ujug-ujug semakmur Qatar. Mereka dikasih hadiah dari Tuhan, cadangan gas alam, yang konon mampu memenuhi kebutuhan gas se-Amerika selama satu abad. Emir Qatar dengan enteng menyulap negerinya sebagai welfare state.
Pendidikan gratis, kuliah dikasih uang saku. Listrik dan air free. Bensin pun murah meriah. Bayangkan negeri tanpa iuran BPJS. Begitu pula tidak ada kewajiban pajak. Artinya, di bulan Maret seperti ini, tak ada kesibukan seperti di negeri kita, musim mengisi laporan SPT Tahunan.
Kata Eric Weiner, arogansi OKB di sana tercermin saat mereka ditanya, “Apa tidak pengin menyekolahkan anak di kampus Amerika yang bermutu? Jawabnya ngegas, “Kenapa repot-repot mengirim anak kuliah ke Amerika, jika mampu kirim kampus Amerika ke Qatar?”
ADVERTISEMENT
Tugas mobil memang tidak hanya memindahkan jasad manusia dari satu kota ke kota lainnya. Ia dibebani peran mendongkrak derajat dan martabat. Memvalidasi naiknya kelas. Digambarkan bahwa “Qatar menjadi negeri 98,09 % gurun pasir dan 1,91 % lainnya Mercedez”.
Tapi, sebentar dulu. Mari, jangan nafsu menghakimi. Sumurgeneng jauh dari Doha. Tuban belum tentu sama dengan Qatar.

Bahagia Sekarang Juga

Sifat dasar manusia adalah ingin bahagia, bukan? Tak mau ditunda, kalau bisa sekarang, kapan lagi? Sedikit membuka pintu bijaksana, mari mulai dengan ilmu “seandainya”.
Seandainya, selama ini anda adalah warga two ban (baca: Tuban), maksudnya pengguna motor roda dua. Bertahun-tahun menikmati pajero alias panas njaba jero. Untuk bisa pergi bersama istri dan anak-anak, maka pilihanya cuma bagaimana berakrobat. Pikirkan pula, jika punya orang tua yang renta. Di antara mereka, musti rutin diantar kontrol dokter. Belum lagi, tiap awal bulan ada agenda arisan keluarga.
ADVERTISEMENT
Lebih-lebih pada musim hujan. Pernah tidak, anda basah kuyup oleh air genangan akibat yang tersambar mobil yang ngebut. Apa salahnya sih, sekali-kali berandai-andai, kita adalah pelakunya. Maaf, ini bukan dendam. Ada kalanya, seseorang pulang kerja musti buru-buru, mengejar waktu magrib di rumah, bawa martabak agar terjaga hangat untuk dipersembahkan pada anak.
Lagi pula, punya mobil di masa pandemi adalah pembenaran yang sejati. Sebab bermoda transportasi umum, was-was makin menjadi.
Atau pernah tidak sih, jiwa halusinasi anda menganga. Melirik mobil hadiah undian dipajang di depan sebuah bank saat rutin tarik gaji lewat ATM, pada awal bulan. Hingga saat struk keluar, sisa saldo cuma cukup untuk survival rekening agar tak hangus. Ada perasaan terbuang, bersamaan kertas disobek, lalu kita lempar ke keranjang. “Duh Gusti, kapan namaku tertera sebagai pemenang hadiah utama?”
ADVERTISEMENT
Nah, itu dia.
Menang undian, menang lotere adalah keberuntungan yang sejenis dengan mendadak kaya seperti Crazy Rich Tubans. Bisa dipastikan, sewaktu SD, saat ditanya guru, tak seorangpun dari yang resmi bercita-cita “pengin kaya karena gusuran”. Akan tetapi, tajir dadakan, haqqul yaqin pernah dihayalkan manusia normal di manapun berada.
Lagi pula, dari miliaran rupiah, sekadar beli mobil masih banyak sisa. Bandingkan lebih banyak mana OKB di Tuban dengan jumlah orang musti mengangsur 48 kali untuk bisa bermobil. Toh, barangnya bukan dari spanyol (separoh nyolong). Tidak seperti mobil perdana kepresidenan, Buick tipe Limited-8 didapatkan oleh para pembantu Bung Karno.
Sejarah mencatat, sepertinya manusia pertama di Indonesia yang bermobil karena status, pelopornya justru Bung Karno. Lho, biasanya juga gowes atau jalan kaki. Bermobil sebetulnya berawal dari desakan pejuang dan gengsi. Masa sih, presiden jalan kaki?
ADVERTISEMENT
Berkah beli mobil berjamaah, bukan untuk mereka semata. Melainkan meluber kepada para dealer, tentu sepaket dengan sales, satpam dan stafnya karena income menjaganya tidak ter-PHK. Kalau soal siapa yang menang banyak, ya jelas, pemodalnya. Itu sih, lumrah dalam dunia yang tidak steril dari hitung-hitungan kapitalisme.
Soal ada di antara mereka yang belum bisa nyetir. Bukankah semua skill ada start-nya. Toh, waktu baru merdeka, mobil RI-1 juga didapat dari ngerampok orang Jepang, pejabat jawatan kereta. Lucunya, Bung Karno sempat celingukan. Ternyata, orang Indonesia masih buta setir. Bagi pemula, nyetir mungkin akan mirip main boom boom car. Tapi, jangan cemas. Biar itu rezekinya bengkel poles atau ketok majic.
Ingat, pemerintah lagi darurat akal, bagaimana caranya ekonomi berputar. Sampai-sampai bikin skema insentif pajak 0% mobil baru. Orientasi kebijakan transportasi umum, simpan saja dahulu.
ADVERTISEMENT
Lihatlah positifnya. Yang unik dari borong mobil berjemaah ini adalah khas Indonesia. Perpaduan antara modern dengan tradisi guyub. Saat susah bersama, apalagi saat makmur, kompak tetap terjaga.
Dalam konsep pasca-materialisme, Teori Eefek Kemakmuran mengajarkan, orientasi orang yang baru kaya akan berubah dari kepada masyarakat berubah menjadi kepentingan sendiri. Orang kaya yang semula miskin, akan menjadi pelit. Menjadi memikirkan dirinya sendiri lalu timbul perpecahan keluarga. Pokoknya, masalah sosial dan individualisme disebabkan kemakmuran. Gimana sih, makmur kok nggak boleh?
Ah, kemiskinan lebih logis sebagai terdakwa yang menyebabkan individualisme dan masalah sosial. Tapi, kok tega sudah miskin disalahkan pula?

Mentalitas Kita

Nouveau riche sejatinya tidak menunjuk orang tertentu, satu desa atau negeri tertentu. Tidak dialamatkan kepada Crazy Rich Tubans. Bukan menginfeksi mereka yang dapat uang nomplok saja. Nouveau riche adalah mentalitas. Mereka yang rutin dapat income banyak atau yang pas-pasan bisa jadi bermental sama. Setidaknya beda tipis saja.
ADVERTISEMENT
Apa yang sudah lama bermobil, dibela-belain nyicil tenor 48 bulan, dijamin suci dari motivasi pengin naik kelas? Bukankah bisa jadi ada yang tengah berikhtiar naik kelas dengan angsuran. Tidak selalu orang membeli mobil lungsuran diartikan semata demi barang fungsional. Coba anda, dikasih THR Rp 1 miliar pas mau lebaran. Saya yakin, yang belum punya mobil pasti bergegas ke dealer setempat.
Mentalitas nouveau riche mungkin juga menginfeksi qaum masakin. Di tempat saya, di Tegal, konon sesaat setelah menerima uang bansos/BLT, ada saja yang beraksi borong sate kambing batibul (bawah tiga bulan). Bukankah mentalitas, “Kalau tak makan sate sekarang, kapan lagi” sama dengan “Kalau tidak beli mobil sekarang, kapan lagi”.
Kesimpulannya, beda kontrasnya kita dengan warga Crazy Rich Tubans hanya satu, mereka mendadak dapat uang duit miliaran. Sementara kita tidak!
ADVERTISEMENT
Sementara ini perlu kita tegaskan, sebab terselubung harapan, siapa tahu suatu saat nasib memihak kita. Tanpa perlu menunjuk OKB yang membeli mobil berjemaah. Amati saja perilaku kita yang overkonsmutif saat lebaran tiba. Betapa vulgarnya kita mengkonsumsi segala rupa, mempertontonkan kesuksesan dan haus akan validasi terhadap pencapaian dengan ukuran-ukurannya masing-masing. Sepertinya, tak ada yang betul-betul steril dari mentalitas nouveau riche. Dan aksi beli mobil berjemaah oleh Crazy Rich Tubans adalah cermin bening yang memantulkan wajah kita.
Lebih baik, ucapkan turut bersuka cita atas terbelinya mobil berjemaah. Jika bahagia mereka tak menular, setidaknya level bahagia yang sudah kita capai tidak gampang kempis. Bukankah, sikap iri selain adalah dosa, juga korosif. Menguras kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Selain menjadi jalan spiritual. Lagi pula, ini cara paling ekonomis. Mengais-ngais pahala di tengah lomba berburu kebahagiaan dunia. Bisa jadi, sampai akhir hayat kita tak pernah terpilih sebagai kaum yang mendadak kaya.
Namun demikian, semoga masih tersisa kavling surga buat kita. Mari mengangsur doa, memohon agar Tuhan juga berkenan, menyediakan garasi di sana.
________________________________________________
Makhsun Bustomi, Magister Sains Kajian Manajemen Sumber Daya Manusia. Terlibat dalam Litbang Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama Kota Tegal. Bekerja sebagai ASN Pemkot Tegal. Esai-esai karyanya terpublikasi di Detik.com, Mojok.co, Kumparan.com, Qureta.com, Rahma.id, Ibtimes.id serta media online lainnya.