Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.0
Konten dari Pengguna
Berapa Bintang Rating Untuk Tuhan?
23 Januari 2025 22:03 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak belanja, banyak ulasan. Manusia banyak dimanja, tetapi lupa Tuhan.
ADVERTISEMENT
Tanggal satu terasa lambat ditunggu. Rasanya seperti rindu yang menggebu-gebu. Bak remaja kasmaran ingin memeluk kekasih. Tanggal tua seperti mendorong batu besar ke atas bukit. Berat bagi manusia-manusia berpenghasilan pas-pasan ingin sekali bertemu gajian. Seandainya saya seorang sastrawan, mungkin ada puisi yang lahir di tanggal-tanggal tua. Sayangnya saya "hanya" seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Begitu tanggal tranfer gaji masuk, rasanya selalu kurang. Maklum saja, list keinginan setinggi pohon bambu, gaji setinggi perdu. Kalaupun naik, telanjur sudah tertikung inflasi berkali-kali.
Untungnya, sejak K.H. Zainudin MZ booming, lalu zaman AA Gym trending hingga era viralnya dakwah Ustaz Adi Hidayat dan Gus Baha, dari para alim tersebut selalu ada pesan untuk banyak bersyukur. Termasuk khotbah Jumat dan ceramah ustaz-ustaz yang saya simak sambil ngantuk di acara pengajian atau tasyakuran.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, itulah hikmah saya menyimak tausiyah. Menegur diri ketika kita terlalu ingin banyak. Memberi puk-puk ketika menjadi manusia cengeng yang merasa paling malang.
Sandal
Dalam satu konten YouTube, Gus Baha berkisah tentang pentingnya melatih syukur. Tersebut kisah, seorang berjiwa miskin datang curhat kepada Nabi. Kurang lebih begini dialognya.
“Ya, Nabi. Saya ini melarat, tak punya apa-apa”.
“Meskipun begitu, kamu tetap harus bersyukur”
“Tetapi, apa yang harus disyukuri? Cuma sandal karet jelek ini yang saya punya”
“Ya sudah, kalau begitu sandalmu saya minta”
“Jangan, ya Nabi. Kaki saya bisa melepuh kepanasan di padang pasir”
“Kalau begitu, bersyukurlah”
Kalau sekadar membeli sandal sih, saya tergolong mampu. Saya juga punya NIP. Deretan angka yang sering didambakan para freshgraduate. Dan sudah pasti oleh para honorer di lembaga sekolah-sekolah dan lembaga pemerintah yang bertahun-tahun bertahan menunggu kesempatan. Kalau tidak menunggu keajaiban.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa kata "hanya" di paragraf pertama tulisan ini harus saya beri tanda petik. Sebab, setiap kali pemerintah membuka lowongan penerimaan PNS, begitu banyak ribuan pencari kerja yang ingin mengadu nasib. Banyak pula pegawai honorer di antara ribuan pelamar.
Saya satu dari ribuan orang yang pernah mengikuti seleksi. Tak lama setelah menyandang sarjana, saya mendapat predikat sebagai pegawai negeri. Sisanya, saya tak tahu. Mungkin ada yang mencobanya tahun berikutnya, lalu berhasil. Barangkali ada yang mencoba begitu tersedia formasi. Mengulang sampai batas kesempatan umur minimal dan kemudian tak bisa lagi.
Di antara mereka juga ada yang kemudian bekerja di perusahaan swasta. Lalu mendapatkan karier yang tinggi. Yang lain membuka usaha wiraswasta, dengan segala susah payah berhasil menjadi pengusaha kaya. Sebagian lainnya saya tak tahu. Bukankah setiap orang mempunyai garis nasib masing-masing, seperti barcode untuk login sebuah aplikasi.
ADVERTISEMENT
Maaf ya, jangan dibanding-bandingkan dengan para pejabat di kementerian dengan tunjangan kinerja yang berlipat ganda dari gajinya. Sebagai aparatur sipil negara di pemerintah daerah, apa yang bisa di-flexing? .
IG istri saya juga tidak ada posting pamer tas. Di zaman dengan filosofi urip mung mampir flexing ini, tidak ada pula potongan adegan kami plesir ke Turkey.
Namun, ada satu postingan yang saya ingat. Dia mengunggah gambar saat kerja dengan sepatu yang selen (Bahasa Jawa artinya berbeda pasangan sandal atau sepatu). Kiri hitam, kanan cokelat. Pernah pula dia mengirimkan gambar lewat chat, motor jadulnya diikat dengan tali rafia di parkiran oleh teman-teman guru di sekolah tempatnya mengajar. Jauh dari instagramable.
ADVERTISEMENT
Teks "wk wk wk" yang dikirimkannya lewat whatsapp, membuat saya makin bersyukur. Ternyata, menertawakan diri untuk menjaga kewarasan mudah dipraktikkan. Dan ikhtiar kesehatan mental dengan cara ini bisa dilakukan dengan gratisan.
Alasan
Sampai suatu ketika seorang berbincang dengan saya. Ia adalah ustaz kampung yang sering memimpin acara sosial dan agama di kampung saya. Ia berkata, "Kamu seorang suami yang beruntung. Lihat istrimu itu saya perhatikan selalu pakai motor jadul. Padahal banyak orang berlomba-lomba pakai motor terbaru".
Ulasan rating bintang lima untuk istri saya yang diberikan olehnya membuat saya merenung. Saya teringat konten Gus Baha. Melihat ke bawah, ada sepatu di kedua kaki saya. Ketika saya pulang ke rumah saya semakin sadar. Sangat jelas saya telah diberi oleh banyak hal, lebih dari sekadar sepasang sandal. Bukan hanya diberi Tuhan sepatu untuk alas jalan.
ADVERTISEMENT
Ada TV, karpet, buku-buku, kacamata, kipas angin, guting kuku, segelas air, hape, foto keluarga, bunga plastik. Dalam lima detik saya sudah bisa mengetik sepuluh buah aset saya. Bagaimana cara statistik mencatat hal-hal baik pada ribuan hari yang sudah kita nikmati?.
Dan satu hal sering lupa. Oleh Tuhan, saya dipercayai seorang istri. Teman untuk berjalan bersama. Teman perjalanan hidup hingga hari ini.
Bersyukur seharusnya tidak mengenal tanggal. Sayangnya hidup kita begitu berisik dengan keinginan. Namun sepi dari rasa cukup. Seandainya harta kita hanya sepasang alas kaki butut, tetap tak boleh menjadi tembok penghalang untuk mengeluh. Apalagi jelas-jelas kita punya puluhan, ratusan bahkan ribuan alasan untuk bersyukur.
Namun berapa bintang rating yang sudah kita berikan kepada Tuhan? Banyak di antara kita hafal dengan ayat yang artinya "Jika kalian bersyukur, maka akan Aku (Allah SWT) tambahkan untuk kalian nikmat". Tuhan selalu tepat janji.
ADVERTISEMENT
Ah, salat lima waktu saja saya sering tak tepat waktu.