Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Darurat itu Berat, Biar Negara Saja
14 Juli 2023 21:50 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah anda menghadapi hal-hal darurat, yang spontan membutuhkan tetangga terdekat? Sebagai contoh, ada ular masuk rumah. Dan anda sendiri tak berani untuk mengusir atau meringkusnya.
ADVERTISEMENT
Dahulu pengawasan anak-anak, perlindungan lanjut usia, kemananan lingkungan dan hal-hal yang darurat lebih diatasi bersama dengan komunitas terdekat.
Namun, kini muncul tanda-tanda tugas tolong-menolong itu semakin bergeser dan diserahkan kepada lembaga formal pemerintah. Sebut saja Damkar dengan bermacam penamaan dan nomenklaturnya di masing-masing daerah. Tugas-tugas yang dahulu menjadi "ladang amal" antar tetangga semakin terambil alih.
Kasus ular masuk rumah dan bersarang di plafon. Kucing terperosok di got. Mengambilkan kartu ATM ang masuk ke saluran pembuangan. Kepala anak kecil yang tak bisa keluar dari sela-sela teralis pagar besi. Ada pula kasus anak yang tubuhnya terperangkap dalam kaleng besar. Tersiar pula berita ada warga mendatangi Damkar karena tak bisa melepas cincin yang kekecilan di jarinya. Ada pula kisah petugas pemerintah merespon permintaan untuk menolong ayam kate yang menelan kail pancing. Bahkan ada panggilan untuk menyembuhkan orang kesurupan.
Apakah alasannya karena lembaga tersebut memang memiliki kemampuan dan pengalaman profesional dan dilengkapi dengan peralatan? Sepertinya tidak sepenuhnya berarti demikian. Memang betul tugas lembaga tersebut terkait pencegahan dan pemadaman kebakaran, penyelamatan kejadian yang bersifat non kebakaran dan penanganan bahan berbahaya atau beracun.
ADVERTISEMENT
Namun, ditelisik lebih jauh lagi, jangan-jangan tersembunyi alasan lain. Karena ketika mengalami kasus-kasus tersebut, warga tak punya alternatif. Kita bingung harus minta tolong siapa.
Tak ada tersedia lagi "modal sosial" di sekelilingnya. Entah itu tetangga terdekat atau kerabat. Tanda-tanda menciutnya hubungan tolong-menolong yang spontan dalam kehidupan bertetangga.
Sebetulnya mungkin kita adalah masyarakat yang suka membantu dan berbagi. Namun, barangkali sudah cukup massif adanya sebagian masalah tak tersedia waktu untuk turut membantu. Sibuk dengan pekerjaan dan bermacam urusan. Atau bisa jadi memang karena menciutnya hubungan spontan seperti itu dalam kehidupan bertetangga.
Akibatnya, masyarakat beralih pada alternatif lembaga formal. Mereka butuh lembaga-lembaga yang bersifat "palu gada", apa lu butuh gua ada, dinas yang bersifat "sapu jagat" atau istilah yang juga disebut netizen perlu dinas "multitalenta". Kasus-kasus unik dahulu hanya diserahkan mekanismenya pada tolong menolong antar tetangga dan menjadi urusan komunitas. Pokoknya segala yang dianggap darurat serahkan saja pada ahlinya. Darurat itu berat, biar negara saja!
ADVERTISEMENT
Implikasinya, tentu saja negara harus semakin hadir di setiap masalah yang dialami warga. Bahkan masalah yang terlihat mungkin terlihat sepele. Mau tak mau tuntutan dan ekspektasi masyarakat makin tinggi. Pemerintah dituntut tanggap dan cepat serta jauh dari prosedur yang kelewat birokratis. Ketika seorang anak kepalanya terperangkap dalam kaleng biskuit misalnya, tak mungkin diwajibkan bikin proposal dahulu diketahui lurah dan camat setempat, bukan?
Di sisi lain, hal ini menarik menjadi diskusi. Dengan adanya kecenderungam itu, apakah negara cukup punya power, struktur, dana, waktu dan sumber daya manusia untuk menyelesikan masalah-masalah sosial yang terlihat mikro.
Sebut saja sebagai contoh, kasus di beberapa tempat warga yang kesulitan masuk ke rumahnya sendiri karena akses jalan ditembok atau ditutup tetangganya. Meski dikuatkan dengan bukti sertifikat kepemilikan tanah sekalipun. Kini media digital dan media sosial semakin diwarnai dengan kisah-kisah seputar pertengkaran dan konflik antar tetangga.
ADVERTISEMENT
Namun kini banyak kisah pertengkaran dan konflik antar tetangga tersebut tidak mempan diselesaikan dengan cara-cara musyawarah dan mediasi oleh tokoh setempat. Bahkan setelah ketua RT, ketua RW dan kepala desa atau lurah ikut "cawe-cawe"sekalipun, tetap menemui jalan buntu.
Bisa dibayangkan dengan makin melemahnya ikatan sosial antar tetangga dan warga komunitas, apa yang musti dilakukan ketika mereka mengalami hal-hal darurat? Sebetulnya mana yang lebih gawat, sih.
Jangan sampai terjadi dialog:
"Tolong, ini gawat, Pak Petugas. Minta tolong, negara harus segera masuk sampai gang-gang kampung, Pak"
"Maaf, kami tidak bisa masuk. Sudah terlanjur terhalang pagar dan tembok semua"