Izin Rumah Ibadah Jangan Berhenti di Regulasi

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
3 Juli 2023 20:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi masjid. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi masjid. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masalah kebebasan beragama dan keyakinan masih menjadi masalah klasik. Label masalah klasik bagi pandangan orang awam mengandung dua hal yang kontradiktif.
ADVERTISEMENT
Pertama, sudah menjadi masalah yang lama, dianggap telah diketahui pola masalah dan solusinya sehingga kurang mendapat perhatian lagi. Pandangan kedua, adalah masalah tersebut menjadi "pekerjaan rumah" yang belum selesai. Menjadi masalah besar dan perlu dicari terus solusi dan policy-nya.
Dalam hal toleransi dan kerukunan umat beragama, sering kali pandangan pertama terkesan lebih dominan. Versi Kementerian Agama menyebutkan bahwa tingkat kerukunan umat beragama di Indonesia sangat terpelihara.
Survei indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) mencatat, skor indeks KUB rata-rata nasional Indonesia pada 2019 mencapai 73,83, lebih tinggi dibandingkan capaian tahun 2018, sebesar 70,90. Indeks pada tahun 2020 di angka 67,46 persen dan tahun 2021 naik menjadi 72,39 persen (Katadata.co.id).
Melihat statistik demikian, sekilas kerukunan beragama di Indonesia "baik-baik saja". Namun, di balik mulianya urusan beribadah, ada hal yang membuat resah. Konflik terkait rumah ibadah menjadi jenis pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan terbanyak sepanjang 2007 sampai 2022.
ADVERTISEMENT
Catatan Setara Institute menunjukkan, sepanjang 15 tahun itu terjadi 140 peristiwa perusakan dan 90 peristiwa penolakan rumah ibadah (https://kbr.id/nasional). Ada tren kenaikan kasus gangguan rumah ibadah. Dalam kurun waktu sejak tahun 2017 terlihat grafik yang menanjak, kecuali pada tahun 2020. Pada tahun 2021 terjadi 44 kasus dan tahun 2022 tercatat 50 kasus.
Senada dengan hal tersebut, hasil pemantauan Amnesty International menyajikan fakta bahwa sedikitnya ada 34 kasus penolakan izin membangun rumah ibadah, intimidasi dan larangan beribadah terhadap umat beragama minoritas, dan pencabutan izin IMB rumah ibadah pada tahun 2021 dan mirisnya, melonjak menjadi 49 kasus sepanjang tahun 2022.
Sumber foto ilustrasi : https://pixabay.com/photos/dubai-mosque-orange-gold-1140430/
Salah satu yang menjadi persoalan adalah terkait bagaimana izin mendirikan rumah ibadah. Regulasi yang mengatur tentang pendirian Rumah Ibadah adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadat selanjutnya atau kerap disebut PBM 2006. Pendirian rumah ibadah juga dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam implementasinya regulasi tersebut tak berjalan efektif. Apakah sebabnya? Setidaknya ada lima masalah utama. Yaitu, belum optimalnya peran Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), kurangnya sosialisasi regulasi, faktor prosedur dan aturan yang berbelit, belum optimalnya peran Kepala Daerah serta rentannya masyarakat oleh informasi hoaks dan provokasi kelompok atau tokoh tertentu.
Eksistensi FKUB di banyak daerah kerap mendapat kritik sebagai formalitas saja. Rekruitmen anggota FKUB seringkali hanya mempertimbangkan komposisi jumlah pemeluk agama yang memungkinkan dominasi mayoritas.
Peran FKUB yang sejatinya memfasilitasi perizinan malah terjebak pada pemaksaan oleh kelompok-kelompok mayoritas (The Indonesian Institute, 2015). Kementerian Agama melaporkan pula, bahwa masyarakat bahkan aparat di lapangan, ternyata belum tahu dan belum cukup memahami aturan-aturan dalam PBM 2006. (https://www.kemenag.go.id/).
ADVERTISEMENT
Kajian Komnas HAM tahun 2020, menilai pelaksanaan pengaturan dalam PBM 2006 justru menciptakan sejumlah permasalahan akibat persyaratan administratif yang memperberat proses perizinan. Berbeda dengan beberapa negara seperti Inggris, bahwa pengaturan pendirian rumah ibadah berfokus pada syarat objektif berupa aturan perencanaan wilayah dan tata ruang serta pertimbangan lanskap.
Pada sejumlah kasus, pemerintah daerah tidak memenuhi kewajiban memfasilitasi kebutuhan rumah ibadah yang tersumbat. Bahkan terdapat pemerintah daerah justru membuat kebijakan yang tak sesuai substansi regulasi izin tempat ibadah karena faktor kepentingan politik.
Evaluasi dari The Indonesian Institute (2015) menengarai kepala daerah seringkali tidak mampu bertindak adil ketika mendapatkan tekanan massa atau kelompok tertentu terkait konflik pendirian rumah ibadah.
Upaya pemerintah melalui Kementerian Agama yang akan meningkatkan status PBM 2006 menjadi Peraturan Presiden memang perlu ditempuh. Komnas HAM pernah mengkaji bahwa dalam perspektif hukum PBM belum memenuhi kaidah hierarchy of norm. Ini berkaitan dengan validitas mengenai sumber hukum dalam tata urutan perundang-undangan dan norma saling kontradiktif karena tidak terdapat pasal rujukan yang memerintahkan pembentukan PBM 2006.
ADVERTISEMENT
Regulasi yang akan datang seharusnya sekaligus dapat memperkuat peran Kepala Daerah khususnya dalam kewajibannya memberikan fasilitasi kepada pihak yang mengalami hambatan dalam hal rumah ibadah. Perlu pula ketentuan untuk menguatkan struktur FKUB hingga ke kecamatan dan desa. Penghapusan ketentuan rekomendasi FKUB sebagai syarat izin pendirian rumah ibadah dapat menjadi opsi.

Lintas Agama, Lintas Generasi

Di luar opsi tersebut, ada hal yang tak kalah penting bahkan jauh lebih penting. Melihat masalah konflik terkait kehidupan agama tidak hanya dari sudut pandang masalah lintas agama. Demi masa depan kehidupan yang harmonis aspek lintas generasi penting mendapat highlight.
Masa depan kerukunan umat beragama ke depan akan bergantung pada generasi selanjutnya. Generasi Z, saat ini diperkirakan berusia 8-23 tahun, merujuk Sensus Penduduk 2020 mendominasi proporsi penduduk Indonesia. Total terdapat 74,93 juta atau 27,94 persen dari total penduduk. Komposisi penduduk terbesar selanjutnya berada di usia produktif, yaitu milenial sebanyak 69,38 juta atau 25,87 persen.
ADVERTISEMENT
Pemahaman dan literasi jelas menentukan bagaimana masyarakat merespon masalah. Tak sedikit konflik muncul dan kronis karena adanya informasi palsu atau hoaks yang memicu konflik. Sebut saja contoh, perjalanan panjang perizinan Gereja Ibu Teresa, Cikarang yang mendapatkan izin pembangunan pada April 2023 dari Pemerintah Bekasi setelah 18 tahun. Salah satu sebab penolakan itu terjadi karena berita hoaks bahwa gereja tersebut akan menjadi gereja terbesar se-Asia.
Pemahaman yang baik dalam toleransi dan keberagaman akan melahirkan sikap-sikap non diskriminatif. Kabar baiknya, generasi masa kini cenderung toleran. Survei yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI di 36 kabupaten/kota di 18 provinsi dari 1.200 responden ada indikasi sikap positif terhadap inklusivitas agama. Sebanyak 65 persen responden milenial dan lebih dari 70 persen responden Gen Z mendukung keberadaan rumah ibadah untuk agama minoritas di sekolah.
ADVERTISEMENT
Ini menjadi sebuah sinyal kuat, masa depan kerukunan dan harmoni dalam beragama semestinya dikelola dengan kebijakan yang berprioritas pada generasi tersebut. Kebijakan ini merupakan respons masalah yang penting meskipun lebih bersifat jangka panjang, namun demi masa depan kehidupan bangsa yang lebih baik, perlu diterapkan dengan komitmen yang kuat dan konsisten.

Pendidikan Multikultural, Media Sosial, Kolaboratif

Pemahaman dan literasi keberagaman sebagai solusi atas permasalahan konflik terkait rumah ibadah perlu direkomendasikan. Pilihan ini mengedepankan nilai-nilai kesetaraan, toleransi dan keadilan dengan langkah strategis sebagai berikut :
Pertama, memasukkan konten pendidikan multikultural dalam kurikulum pendidikan yang mengedepankan pentingnya kerukunan dan toleransi sejak usia dini hingga perguruan tinggi. Pendidikan multikultural ini mencakup pula pendidikan non formal melalui organisasi sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kedua, kampanye sosial yang melibatkan lintas generasi dengan memanfaatkan karakteristik generasi Z dan milenial. Penyadaran, pemahaman dan sosialisasi lebih efektif jika update dengan kondisi kekinian. Pemangku kepentingan dalam hal ini perlu dukungan media dan memanfaatkan influencer. Strategi ini sekaligus berupaya agar konten-konten yang mempromosikan toleransi, kebinekaan dan moderasi beragama hadir dalam keluarga.
Ketiga, kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, lintas kementerian, lintas dengan meningkatkan kegiatan ekonomi dan event sosial yang melibatkan lintas agama, budaya dan lintas generasi. Tema moderasi beragama agar didorong dalam kegiatan tersebut.
Saat ini kita menunggu apakah PBM 2006 akan menjadi meningkat statusnya menjadi Peraturan Presiden dan implikasinya dapat mencegah dan menyelesaikan konflik terkait implementasi izin rumah ibadah. Tetapi meningkatkan literasi nilai-nilai kebinekaan, pemahaman toleransi, moderasi beragama tak bisa ditunda.
ADVERTISEMENT
Jika regulasi terbaru suatu waktu ditetapkan, kedewasaan dan pemahaman masyarakat tetap menentukan. Generasi milenial dan Z akan berperan mewujudkan kehidupan yang rukun dan toleran di masa kini dan mendatang.