Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Kalah dengan Gembira
19 Agustus 2023 20:55 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 30 Agustus 2023 21:02 WIB
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepertinya saya orang yang "kalahan". Bahkan sekadar juara ketiga lomba makan krupuk tingkat RT saja tak mampu. Padahal nafsu makan saya tak kalah sangar melawan orang-orang bertubuh besar. Mungkin saya harus memegang teguh hikmah mutiara dari lagu Sheila on 7: "Aku pulang tanpa dendam, kuterima kekalahanku".
ADVERTISEMENT
Ah, seandainya hidup itu seperti lomba "Agustusan". Alangkah entengnya beban yang harus diperankan. Menang atau kalah tetap gembira. Sorak sorai dan persaingan hanya untuk meraih keceriaan.
Setiap perayaan kemerdekaan bermacam lomba digelar komunitas dan organisasi formal. Ada saja jenis lomba baru yang muncul tiap tahun. Melengkapi atau menggantikan jenis lomba yang sudah kondang macam balap karung, panjat pinang, bawa kelereng dengan sendok, memasukan paku ke dalam botol serta memindahkan belut. Ide-ide segar itu entah siapa penggagasnya.
Namun, lepas dari mana lomba-lomba itu bermula, kita cukup tahu tujuannya. Yaitu menghadirkan tawa, kelucuan, sorak sorai, tepuk tangan dan kegembiraan bersama. Kalah menang hanya formalitas. Hadiah cuma sebagai tanda hiburan. Sepertinya semua menjadi pemenang. Baik pelaku, penonton maupun panitia. Tentu saja dengan tidak menampik banyak dinamika yang ada.
ADVERTISEMENT
Konon, sejak proses menjadi manusia kita sudah berlomba. Semua yang hidup menjadi manusia adalah pemenang. Sejak menjadi zigot ia bersaing dengan jutaan temannya. Sampai di sini kita bersyukur karena telah diperkenankan oleh-Nya menjadi manusia. Sampai di sini kita bolehlah gembira. Masing-masing dari kita adalah pemenang.
Hidup sebagai kompetisi sudah merasuki pemahaman kita. Kata Herbert Spencer, organisme terbaik dalam beradaptasi dengan lingkungannya adalah mereka yang paling berhasil dalam bertahan yang dikenal dengan teori Survival of the Fittest. Mekipun begitu, siapa yang kuat pada hari ini belum tentu selamanya menjadi paling kuat. Kita berada dalam sebuah keharusan seleksi alam.
Ada kalanya kita perlu sejenak memahami. Tidak sepenuhnya sebuah kompetisi untuk harus saling mengalahkan. Adu fisik, adu otak, adu kuasa, adu argumentasi, adu licik mungkin dan adu strategi. Lomba "Agustusan" mengingatkan kita sebuah sisi lain. Hidup semestinya adalah permainan. Semua yang tengah dijalani cuma main-main. Tak perlu dilakukan dengan serius.
ADVERTISEMENT
Kita sedang menjalankan perannya masing-masing. Kalah menang hanya soal berbagi peran. Ibarat roda berputar sekadar gantian. Kalau pun kalah, memang ituah peran yang harus dimainkan. Sekali lagi, ini kan game saja. Tak ada yang harus diseriusi dengan mati-matian.
Kalah dengan gembira. Kalah dengan legawa. Kalah dengan penuh hormat. Lho apa salahnya kalah? Jika kita bisa menerima, syukur-syukur tetap tertawa gembira. Apalagi kalau menuntut diri untuk menang dengan segala modus dan cara, harus menginjak dan merampas hak.
Ini bukan bermaksud mencari dalih untuk lemah atau mental kendor. Rasanya tak tepat adanya tuduhan bahwa kita kerap dihinggapi mental inferior. Buktinya, sebaliknya kita suka sok tahu. Merasa paling hebat. Merasa paling benar. Lihat saja, cara banyak netizen yang suka menjajah dunia maya dengan cara-cara mem-bully, berkata kasar, rasis, dan tidak berempati. Hanya untuk membuktikan bahwa kita bisa memenangi pertarungan di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Hidup memang tak sesederhana lomba-lomba Agutusan tingkat RT dan kompleks perumahan. Bolehlah, sekali-kali lomba-lomba macam ini dimaknai sebagai ajakan untuk lebih toleran pada diri sendiri. Tak harus membaca buku-buku self improvement yang lagi trend belakangan ini. Sebut saja secara acak Tak apa-Apa Tak Sempurnya yang ditulis Benne Brown. Alvi Syahrin juga menulis buku yang banyak dibaca orang seperti Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa.
Meskipun barangkali saya juga terpengaruh oleh tulisan Matt Haig dalam Notes on A Nervous Planet. Saya jadi bertanya, apakah merayakan dan memaknai kemerdekaan boleh dengan cara sentimentil seperti ini. Dengan perasaan bahwa kita juga rapuh. Dengan penuh pengakuan bahwa kita tak selamanya hebat dan kuat. Tidak harus dengan lagu gegap gempita seperti Hari Merdeka. Sorak sorak bergembira, Bergembira semua. Sudah bebas negeri kita. Indonesia merdeka.
ADVERTISEMENT
Maksud saya, bertahan tetap survive dan gembira di tengah himpitan dan tuntutan hidup zaman now memerlukan perjuangan sendiri. Merdeka dari cemas pada hari ini adalah hal yang sulit. Setidaknya, kalah dengan gembira butuh perjuangan. Menerima dengan legawa membutuhkan usaha.
Bolehlah kalah, gembira lalu berjuang lagi. Kalah makan krupuk tak menjegalmu untuk tetap pulang dengan gembira. Tetapi setelah lomba Agustusan usai, masihkan yakin bahwa kita akan segembira itu ketika kalah dalam suatu kompetisi yang bukan kaleng-kaleng. Bukan dalam lomba-lomba dalam Agustusan.
Jutaan manusia setiap menjelang tidur berpikir. Besok harus kerja. Bangun sepagi mungkin. Berkendara menuju "ladang" masing-masing. Sejak keluar rumah, kita bersaing di jalan raya, sorak sorai berganti klakson saling marah dan ingin lekas-lekas sampai tujuan. Sampai di lokasi kerja hidup akan makin keras dan cadas.
ADVERTISEMENT
Kekalahan mungkin bukan takdirnya bersanding dengan kegembiraan. Kecuali saat lomba-lomba "Agustusan". Andai saja kita bisa memaknai hidup seperti lomba makan krupuk. Tak apa kalah, asal tetap gembira.
Saya kok cukup yakin, saya tak sendirian dan bukan satu-satunya orang yang tengah berjuang merayakan kekalahan. Selamat berjuang menerima dunia yang penuh kecemasan. Selamat berjuang menerima diri apa adanya. Selamat berjuang merayakan persaingan dalam kehidupan, seolah cuma lomba makan krupuk pada even "Agustusan".