Konten dari Pengguna

Kebohongan Sebatang Cokelat

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
6 Juli 2023 22:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pulang kerja sore tadi aku langsung merogoh tas laptop. Sebatang Silverqueen kuserahkan kepada Hefiza. "Random banget", begitulah respon singkat puteriku itu sembari senyum.
ADVERTISEMENT
Setahuku random itu artinya acak. Oh, apakah random itu maksud dia berarti aneh, tidak biasa? Btw, sejak kapan sih, random dipakai dalam percakapan sehari-hari? Kenapa dia tak bilang saja, "tumben banget", misalnya.
Sudahlah, barangkali sudah hukum alam. Selalu ada gap antar generasi. Ayah dan anaknya. Soal cara komunikasi ini jaraknya seperti hari Senin menuju Minggu. Bukan Minggu menuju Senin. Bukan sekali, melainkan berkali-kali aku gagap dengan kosa kata yang sering keluar dari mulutnya. Juga dari pesan watsapp-nya. Untung saja, ada bestie bernama Google, siap menjawab kapanpun kita minta.
Foto ilustrasi : pexels-towfiqu-barbhuiya-11743791
Sepertinya sebatang coklat tadi cukup jadi booster. Menjaga wajahnya lebih ceria. Bisa jadi bukan sebab cokelatnya, mungkin happy-nya karena hari ini ayahnya perhatian. Dia memang tipe moody banget.
ADVERTISEMENT
Hatiku turut berbunga melihat pemandangan di rumah malam ini. Ada cokelat di tangan kanan, buku di tangan kirinya. Tokyo Zodiac Murders, novel karya Soji Shimada.
Hari Minggu yang lalu, aku baru saja memenuhi usulnya, ke Gramedia. Belanja beberapa novel yang tertulis di daftar incarannya. Melihat anak tumbuh menjadi remaja yang suka membaca buku, aku merasa menjadi ayah yang cukup sempurna. Malam ini adalah salah satu adegan yang kurancang sejak dia balita.
Sementara itu Retno, memandang layar 6 inchi. Terombang-ambing dalam gelombang drama korea. Apa karena ada contoh cinta sejati di di sana? Untuk di-copypaste di ruang ini. Apakah istriku itu bahagia hidup bersuamikan aku? Entahlah, tak tahu. Lagi pula, aku tak berani bertanya.
ADVERTISEMENT
Tapi, konon setiap manusia banyak bohongnya. Kebohongan akan ditutup dengn kebohongan lain. Bayangakan betapa sibuknya, malaikat Atid ketika manusia bohong. Lingkaran kebohongan yang tak ada ujungnya. Mestinya manusia berlomba agar Raqib yang sibuk mencatat dan memanen amalnya.
Manusia lebih jujur kepada google, kata Seth Stephen-Davisowitz dalam bukunya, Every Body Lies. Baru bab satu yang kubaca, dan aku putuskan mengambil jeda. Lho, siapa tahu meskipun sepertinya pernikahan kami baik-baik saja, diam-diam dia pernah mengetik di papan pencari "cara menghadapi suami yang membosankan".
"Soal cokelat, dahulu sekali Ayahmu pernah satu kali membelikan Bunda, sebelum kamu hadir di dunia".
Entah kenapa menatap sebatang cokelat di tangan anaknya, membawa istriku mundur jauh ke masa lalu. Sepertinya kebanyakan nonton drama korea, pikirku. Bukan efek cokelat yang tengah dipegang Hefiza. Sedikit menerka, mungkin saja dia ikut bahagia, suaminya menjadi ayah yang perhatian.
ADVERTISEMENT
Tanpa direka, obrolan malam itu basah digenangi kenangan. Sungguh, efek manis sebatang cokelat. Suka duka masa kecil, masa awal mengenal, lima tahun awal mpernikahan. Dan sebatang coklat itu mengajak Hefiza berbunga-bunga sepanjang sore dan malam.
Dengan kepala istriku yang menyandar di tubuhku, batal sudah rencanaku. Ingin sekali kubilang, sejatinya cokelat itu bukan aku beli sendiri. Sebatang cokelat yang memaniskan suasana rumah petang hingga malam ini adalah pemberian teman satu kantor. Fakta ini akhirnya tersimpan begitu saja. Lagi pula dari semula Hefiza dan ibunya tidak pernah bertanya dari mana, bukan?
Jadi aku tak bohong. Tepatnya, tak bermaksud bohong. Cuma enggan bercerita. Satu kalimatpun tak pernah terucap, kalau aku sengaja membelinya untuk Hefiza. Dan, sebatang cokelat itu mengubah satu hari itu seolah aku menjadi ayah yang sempurna.
ADVERTISEMENT
Haruskan kusebut siapa yang memberi sebatang cokelat itu di sini. Aku berterima kasih padanya. Mau tak mau aku jadi mengingatnya. Meskipun begitu, tak perlu menuliskan nama dia di tubuhku. Seperti Rendy Kjaernett mentato wajah Syahnaz Sadiqah di punggungnya.
Tolong, jangan salah sangka. Lagi pula dia memberi cokelat itu kepada semua teman di kantor hari itu. Tak ada yang terlewat.
Hari ini aku terlihat baik, karena ada seseorang yang baik kepadaku. Kadang terlihat baik bukan karena kita baik. Terlihat sempurna, bukan karena tak cacat. Barangkali hari ini aku telihat sebagai ayah yang cukup hebat. Suami yang cukup baik. Sesungguhnya, istri dan anakku yang selalu berbaik sangka kepadaku.
ADVERTISEMENT
Sebatang cokelat membuat hari ini terasa baik. Aku rasa judul yang tepat bukan "Kebohongan Sebatang Cokelat", melainkan "Kebaikan Sebatang Cokelat". Kebaikan di balik sebatang cokelat. Aku bukan (sekadar) diberi sebatang cokelat. Tetapi dihadiahi istri, puteri dan teman-teman yang baik.