Kisah Lama Tentang Sebuah Kacamata

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
31 Mei 2020 16:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
pixabay.
ADVERTISEMENT
Kisah tentang kacamata ini selalu diceritakan ibu saya. Seakan-akan saya tak mengalaminya sendiri. Seolah-olah saya sudah lupa. Bahkan akhir-akhir, saban kali saya berkunjung, setiap kali pula kisah ini diulangi. Barang kali saja, ini tanda-tanda senjakala usia, sudah ada gejala demensia untuk seukuran ibu yang tujuh puluh lima tahun usianya.
ADVERTISEMENT
Ini kisah tentang kacamata. Sejak Sekolah Dasar, saya sempat dijuluki pemulung. Gegara setiap ikut ibu saya berkunjung ke rumah famili, ke pasar atau ke mana juga. Langkah-langkah kaki kecil saya akan tertahan sejenak, tiap melihat potongan koran bekas. Berhenti untuk memungutnya demi memenuhi keranjingan saya dalam membaca. Untuk membeli buku bacaan, jelas hal yang mustahil. Mungkin karena inilah, sejak kecil mata saya sudah minus, harus dibantu kacamata.
Saya telah yatim sejak kelas 5 Sekolah Dasar, ditinggal oleh Bapak yang mengalami kecelakaan dihantam truk gandeng. Sementara ibu saya hanyalah seorang ibu rumah tangga, tidak lulus Sekolah Dasar. Beliau lebih lancar membaca Al-Quran daripada mengeja bahasa Indonesia. Ayah mewariskan sepetak sawah dan pekarangan belakang rumah, dengan beberapa pohon sawo dan duku yang menjadi andalan kami. Bahkan hasil buah-buahan itu untuk dua tahun ke depanpun harus diijonkan sebagai biaya sekolah.
ADVERTISEMENT
Untuk ongkos harian naik kendaraan umum ke sekolah, kadang didapat dengan menjual daun pisang yang ditawar sekenanya oleh orang pasar penjual tempe yang mencari daun keliling kampung, rutin beberapa hari sekali.
Suatu saat tangkai kacamata saya patah, lensanya pecah. Kacamata pecah adalah bencana besar buat saya. Hati berkeping-keping untuk bercerita sekaligus meminta gantinya. Tak ada jalan lain selain mencari pengganti segera. Tanpa alat bantu, mana mungkin saya dapat membaca, pergi ke sekolah dan mengenali teman-teman dan guru-guru saya.
Dengan raut wajah cemas dan lelah, ibu pergi ke tetangga. Namanya Mbok Inah, seorang janda tua dan jelas bukan orang berpunya. Sebenarnya, tak jauh keadaannya dengan keluarga kami, hanya punya sepetak sawah dan satu orang putera, lima tahun di bawah saya. Begjo namanya. Atas cerita kesulitan ibu saya, maka Mbok Inah hanya bisa menjawab barangkali siang nanti bisa membantunya.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita diperolehlah pinjaman uang untuk membeli kacamata baru saya. Esoknya, setelah pergi ke optik tentulah kacamata terpasang di wajah saya. Hingga tiba di musala, saat hendak berjemaah magrib. Sembari menunggu antrean mengambil air wudu, di depan teman-teman saya, Begjo anak Mbok Inah yang masih umur tujuh tahun lantang dan tanpa dosa berkata.
Kacamata baru ya, Mas. Tadi siang pulang sekolah, saya nangis kehilangan kambing bandot. Kata Emak, diikhlaskan saja ya. Ada yang lagi butuh beli kacamata”
Tak ada kata-kata yang bisa saya lepaskan, selain senyuman. Ternyata, Mbok Inah, setelah Ibu saya pulang dari rumahnya. Bergegas menngutus tetangganya, Man Pardi untuk menjual bandotnya ke pasar hewan di dekat kecamatan. Hasil penjualannya untuk memberi utangan ibu saya, agar saya siap bersekolah lagi. Dan, kambing bandot itu sebenarnya disiapkan sebagai hewan qurban pada tahun itu. Mbok Inah sendiri tak punya punya uang untuk dapat dipinjamkan.
ADVERTISEMENT
Sekarang saya sudah cukup mandiri. Bisa membeli kacamata, bahkan lebih dari sekadar satu. Dan saya ingin memastikan bahwa puteri saya yang juga berkacamata minus seperi ayahnya, tidak mengalami kisah seperti saya. Menjamin dia mendapatkan buku-buku yang diiinginkannya. Ibu saya pernah bertanya,
Nak, gelar di belakang namamu sekarang nambah panjang lagi ya. Orang harus memanggil nama panjangmu bagaimana sekarang ?
Gelar nggak penting, Bu. Lagian dibaca juga susah. Malah bikin batuk.
Lha, sekarang apa yang kamu baca buku-buku apa lagi toh? Apa nggak capek baca terus. Ya sudah. Ibu nggak bakal mudheng. Yang penting kamu sudah mampu beli kacamata sendiri. Kapan saja, kamu butuh.
Begitulah, Ibu saya berkisah tentang kacamata. Rutin Seperti azan yang kudengar, bahkan lima kali setiap kali. Mungkin Ibu takut saya lupa. Sepertinya beliau sedikit kecewa, saya sering terlalu sibuk, sehingga kadang jarang mengunjunginya. Meskipun saya berdalih sibuk, bukan lupa. Mungkin benar, manusia seperti saya terlalu sibuk dan tergesa-gesa. Sibuk dengan beragam alasan. Sehingga mudah lupa pada masa lalu. Lupa pada orang tua. Lupa pada kebaikan dan ketulusan tetangga. Lupa pentingya membantu sesama.
ADVERTISEMENT
Kacamata yang baru yang saya kenakan ini, sering tidak dapat melihat hal-hal itu dengan jelas. Mungkin saya butuh kacamata lama saya, yang diperoleh dari pinjaman tetangga yang harus menjual kambing yang sedianya untuk Iedul Qurban. Jelas kacamata lama itu sudah tak ada. Mbok Inah juga sudah tiada. Mungkin tidak ada lagi yang seperti beliau, seorang yang tak berpunya, tapi memiliki keberanian. Keberanian untuk berkorban dengan caranya sendiri. Kokoh di atas ketulusan. Gelar akademis saya tidak ada maknanya dibanding kearifannya.