Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.0
Konten dari Pengguna
Polisi, Sukatani & Seni Merayakan Kritik
28 Februari 2025 17:30 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sampai hari ini banyak anak TK yang bermimpi menjadi polisi ketika ditanya cita-citanya. Setidaknya dalam karnaval Agustusan, ada saja yang cosplay berseragam Bhayangkara. Alasan yang sering terdengar dari mereka adalah "ingin menangkap penjahat".
ADVERTISEMENT
Mereka menebar pesona lucu dalam barisan. Di antara bocah-bocah itu, hampir pasti tak ada yang membayangkan suatu hari akan mengklarifikasi pemain band. Lalu, mengintimidasi agar meminta maaf kepada Kapolri. Siap siaga mengatur lalu lintas lagu mana yang boleh lewat atau harus putar balik.
Entah, disuruh siapa. Belum jelas, atas nama apa dan bagaimana ujungnya. Ketidakjelasan dalam sebuah perkara sudah menjadi lagu lama. Yang pasti, publik geleng-geleng kepala. Tetiba saja, Muhammad Syifa Al Ufti (Electroguy) dan Novi Chitra Indriyaki (Twister Angels) klarifikasi, meminta maaf dan menarik lagu berjudul Bayar, Bayar, Bayar dari platform Spotify. Sebelumnya, nama Sukatani nyaris tak pernah kita dengar.
Polisi Suka Seni
Di mata anak-anak belia, seragam cokelat dengan pistol di dalam holster begitu gagah. Ibu-ibunya siaga memotret atau merekam ketika tingkah polah tatkala sedang berbaris untuk diunggah ke medsos. Kendati tidak viral, setidaknya berharap banyak yang like dan berkomentar.
ADVERTISEMENT
Kita suka lupa, profesi polisi sejatinya adalah profesi pahlawan. Bhayangkara adalah penjaga masyarakat, bukan korban yang defensif mempertahankan dirinya. Entah, apakah dalam menjalani pendidikan para polisi belajar tentang sosok panutan. Kalau butuh sosok yang penuh integritas, jujur, sederhana dan bersih maka kita perlu menunjuk pada Hoegeng.
Tak berhenti di situ. Hoegeng adalah sosok polisi yang nyeni. Kedekatannya dengan Meri, gadis yang ia nikahi bermula dari bermain sandiwara radio Saija dan Adinda, kisah yang disadur dari Max Havelar karya Multatuli. Ia pandai membuat karikatur. Saat kuliah di PTIK, karikaturnya kerap berisi cinta dan kritik terhadap institusinya. Hobinya tidak seiring dengan rekening keringnya untuk membayar cat lukis. Maka, cat Rembrandt pun ia gunakan dengan sangat irit. Ia begitu sayang untuk menggunakannya, sampai-sampai sering menciumi cat minyak yang baginya begitu mahal.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya dalam Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan yang ditulis Suhartono, dikisahkan bahwa Hoegeng suka bermain musik dengan irama Hawaiian. Sejak muda, menjadi Kapolri hingga pensiun ia masih rutin bermain musik. Setelah pensiun, grup musiknya dicekal tampil di TVRI dan di mana pun. Alasannya dianggap tidak asli Indonesia. Padahal apakah dangdut dan pop yang diperbolehkan adalah original Indonesia?
Ia dilarang tampil karena aktivitasnya bergabung dengan Kelompok Petisi 50, yang kritis bersebarangan pendapat dengan pemerintah Orde Baru. Larangan tampil dengan alasan yang yang tidak nyambung. Begitulah bahasa kekuasaan.
Rupanya lama setelah Orde Baru lewat, karakter bangsa kita masih dalam taraf tidak nyambung. Lihat saja, cara menyikapi viralnya Sukatani lebih dominan mengedepankan bahasa kekuasaan. Ambil contoh pernyataan ”hanya menanyakan maksud pembuatan lagu” dan juga komentar Ketua Komisi III DPR Habiburokhman dengan bahasa ekonomi ”untungnya ada polisi”.
ADVERTISEMENT
Anak TK juga tahu, kita butuh polisi. Tidak muncul bahasa moral dalam wacana tentang kasus ini. Apakah benar ketika berurusan dengan kepolisian identik dengan bayar? Apa benar lagu Sukatani itu sebuah kejahatan?
Citra Instan
Selagi berkuasa maupun setelah purna sebagai orang nomor satu tubuh Polri, Hoegeng menampilkan bahasa moral berupa perilaku nyata yang jujur, berintegritas, bersih, pantang disuap dan anti korupsi.
Untuk ini kita hargai inovasi Polri meningkatkan citranya dengan Hoegeng Award. Indonesia butuh ”Hoegeng-Hoegeng” baru, sosok polisi panutan zaman kini. Polisi yang inovatif, berdedikasi, berintegritas, pelindung perempuan dan anak, serta berdedikasi meski bertugas di tapal batas dan pedalaman.
Banyak polisi-polisi baik. Penikmat media You Tube atau Tiktok juga tak asing dengan tayangan polisi-polisi yang humanis. Bahkan ada polisi merelakan gajinya untuk mengasuh anak-anak yatim. Kita turut terhibur, dengan polisi yang mengatur lalu lintas dengan cara jenaka, sembari berjoget ala dangdut. Betapa risiko bertugas di jalan raya, bergelut terik dan asap polusi.
ADVERTISEMENT
Ada pula polisi-polisi yang terekspos karena goodlooking. Rasanya sayang, lebih rela mereka di catwalk atau berakting sinetron ala K-Pop daripada terancam nyawanya mengejar pengedar narkoba. Publik tak masalah, sepanjang mereka tetap bertugas melayani masyarakat. Kata-kata, lagu, visual, konten video sekarang menjadi media untuk berekspresi.
Namun, kenapa ”cawe-cawe” pada lagu Bayar Bayar Bayar begitu gerak cepat, sementara aduan kasus kekerasan perempuan, misalnya, terkesan lambat?
Memberikan tawaran kepada Sukatani menjadi duta polisi rasanya jauh untuk disebut kreatif. Melainkan solusi instan yang tidak mengenai subtansi masalah. Mendaku Polri sebagai institusi yang tidak anti kritik, dengan kerap menggelar stand up comedy dan mural jadi terasa menjadi rasionalisasi yang bersifat lipstik. Penting melibatkan masyarakat untuk mengkritik tetapi tidak dengan potong kompas yang instan, seremonial dan simbolis.
ADVERTISEMENT
Seni Menolak Suap
Musik adalah seni yang paling spiirtual, begitu kata Sosiolog Pierre Bourdieu. Musik menumbuhkan semangat, api dan dorongan. Wajar musik mencerminkan relasi persaingan, cinta, persahabatan dan permusuhan.
Ada kesamaan apa yang disuarakan Sukatani dengan keluhan banyak orang. Lagu itu relate dengan pengalaman banyak orang. Apakah memahami hal sederhana ini begitu sulit? Mantan petinggi Polri Irjen (Purn) Taufiequrachman Ruki saja nyaris terkena pungli oleh oknum polisi saat dia mengikuti ujian SIM.
Relasi permusuhan yang lebih dominan disebabkan rapuhnya kepercayaan. Sederhana rumusnya, kepercayaan rapuh karena tidak ditepatinya janji. Kepercayaan terkikis karena perilaku egois dan oportunis para oknum yang tak sedikit. Sejatinya, punk adalah genre musik yang marginal dan minoritas. Punk, sependek yang saya tahu biasa pentas dalam gigs. Tetapi ketika dukungan yang diterima Sukatani meluas artinya publik tengah merayakan kritik kepada Polri.
ADVERTISEMENT
Belakangan di medsos, tak jarang saat petugas pemadam kebakaran sigap menolong masyarakat, membantu insiden-insiden sepele bahkan menangkap maling menjadi dibanding-bandingkan dengan polisi.
Polisi harus peka, bukan semata butuh duta-duta yang dikemas dalam bermacam even terliput media. Namun perlu belajar seni menolak suap dari Hoegeng. Dikisahkan dalam melakukan perjalanan ia selalu membawa bekal makan dari istrinya. Ini dilatari sebuah alasan, pernah sehabis makan di rumah makan, kasir memberitahu bahwa sudah ada yang membayar tanpa tahu siapa sosoknya. Ini menngganggu pikirannya dan meyakini ia ditraktir karena jabatannya sebagai Kapolri.
Polri perlu merayakan kritik bersama masyarakat. Merayakan kritik bersama masyarakat adalah mempraktikkan perilaku sehar-hari yang menumbuhkan kepercayaaan. Hari ini jutaan mata dan kamera siap merekam perilaku setiap perilaku aparat dan menyebarluaskannya. Duta, lomba dan konten kampanye tak efektif selama masih banyak oknum yang suka menerima suap, korupsi, arogan dan tidak humanis.
ADVERTISEMENT
Merayakan ini memerlukan seni. Butuh kepekaan seperti ketika Hoegeng memaknai traktir sebagai suap dan gratifikasi. Seni menjauhi suap, pungli dan korupsi yang dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Inilah ”humas” paling presisi sepanjang masa.
Tak perlu cemas, masih akan banyak yang bercita-cita menjadi polisi. Di antara para peramai tagar dukungan kepada Sukatani, para mahasiswa, para pendemo yang menjadi fasih menyanyikan lagu Bayar Bayar Bayar, bisa jadi ketika TK pernah berbaris dengan seragam polisi dalam karnaval.
Itu sekadar lagu, ekspresi keresahan bukan memicu kerusuhan. Hukum butuh penegakan, memahami kritik butuh seni dan kepekaan, intimdasi hanya menciptakan ketakutan dan kemudian melipatgandakan perlawanan.
Namun kalau Polri lebih suka dengan cara dan ”lagu lama” yang intimidatif, bisa jadi akan ada ”Sukatani-Sukatani” baru. Apa kita harus bertanya kembali bertanya kepada anak-anak TK untuk kembali menegaskan alasan bermimpi menjadi polisi?
ADVERTISEMENT