Saat 'Kecelakaan Tunggal' Menjelma 'Kecelakaan Massal'

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
2 September 2020 21:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bu Tejo, tokoh di dalam film Tilik yang diperankan oleh Siti Fauziah. Foto: Ravacana Films
zoom-in-whitePerbesar
Bu Tejo, tokoh di dalam film Tilik yang diperankan oleh Siti Fauziah. Foto: Ravacana Films
ADVERTISEMENT
Film pendek "Tilik" dengan Bu Tejo sebagai tokoh viralnya masih hangat sebagai topik pergunjingan. Kini, kita mendapat sajian "film" lain tentang efek pergunjingan. Peristiwa di Ciracas adalah contoh teranyar. Bukan kasus pertama, juga bukan peristiwa terdahsyat. Sepertinya, pelaku penyerangan bukan emak-emak yang bergunjing di atas truk bukan?
ADVERTISEMENT
Bergunjing memang tidak kenal kasta atau gender. Bapak-bapak pun gemar bergunjing, meskipun tidak dengan gaya memonyong-monyongkan bibir seekstrim Bu Tejo. Semua jenis profesi baik pedagang, petani, guru, dosen, politisi, PNS, polisi, bahkan tentara tidak steril. Begitu pula level pendidikan. Barangkali, hanya anak-anak kecil yang bisa berhenti bergunjing sesaat, itu juga ketika dipaksa. "Ssst, diam !"
Spesies Jujur dan Penipu
Dalam pergunjingan, acapkali kita adalah pelaku. Saya tak yakin, pada hari ini Anda terlibat percakapan yang 100% adalah fakta yang sudah terverifikasi. Satu hari saja, pernahkah grup whatsapp kita steril dari unggahan yang tidak berkuman?
Manusia adalah spesies pengobrol. Duduk di sebelah orang asing sekalipun tak bisa menahan berbincang kosong. Apalagi kebutuhan, keinginan dan kepentingan manusia berkembang. Berburu binatang besar, membuka ladang, membuka hutan, barter barang, mencari pasangan, membangun rumah membutuhkan orang lain. Menguasai daerah, menguasai teknologi, menyusun kekuatan militer atau utang piutang untuk ekspansi ekonomi atau keperluan modal membangun, semua membutuhkan kerjasama yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Kerjasama harus dengan yang dipercaya, tentunya. Dalam Great Disruption : Human Nature and the Reconstitution of Social Order karya Francis Fukuyama, dalam membahas bab asal muasal kerjasama, satu hal penting adalah manusia senantiasa belajar bahwa setiap orang punya dua sisi sekaligus. Sebagai orang yang jujur atau penipu. Manusia adalah spesies yang mempunyai sisi malaikat dan iblis.
Demi mengindari penipu atau mencari pihak yang dipercaya untuk kerja sama mencapai kepentingannya, setiap manusia butuh informasi tentang segala hal seperti identitas orang lain, kemampuan orang lain, reputasi, situasi sosial dan lain-lain. Pendeknya, menyimpulkan apakah dia kawan, pesaing atau bahkan musuh. Betapa rumitnya, ketika informasi itu bersliweran di facebook, twitter, whatsapp dan segala jenis media online untuk bergunjing massif.
ADVERTISEMENT
Tanpa bergunjing, manusia akan stagnan seperti monyet. Monyet tidak mampu bergunjing sehingga otaknya menjadi tidak berkembang. Bergunjing mengembangkan daya pikir manusia. Dengan menggunjingkan, tercipta kreativitas berbahasa.
Menggosip bos kantor misalnya, dengan memberi julukan tertentu. Sebab kita tak ingin semua orang tahu dan tidak semua orang berada di pihak kita. Sepandai-pandai burung beo berkata “Selamat Pagi, Bos”, kepiawaiannya hanya meniru saja. Itu pun lagi-lagi untuk kepentingan manusia.
Bahasa menjadi instrumen untuk berkelit dan berdusta. Untuk kepentingan merogoh pundi-pundi milik rakyat, dalam kasus suap Wisma Atlet Jakabaring misalnya, tercipta istilah "apel malang" untuk rupiah dan "apel washington" untuk dolar. Contoh lain, istilah “kaveling” adalah uang jatah dalam kasus korupsi pengadaan Al Quran, sedangkan istilah “kyai, ustaz dan pesantren“ untuk menyebut politisi senayan, pejabat kementerian dan partai politik.
ADVERTISEMENT
Konsekuensinya, kemampuan yang perlu dikembangkan adalah bagaimana kita dapat memprediksi apakah kita ditipu orang lain atau tidak. Seorang istri dapat menebak suami yang berbelit-belit ketika mengemukakan alasan sering terlambat pulang. Tetapi problemnya, cara ngibul acapkali sukses dipelajari manusia. Sales cantik promosi menawarkan produk "ini produk edisi terbatas dan terbaik”, dengan senyum dan tatapan yang terlatih, mampu menipu kita.
Manusia tidak harus menjadi monyet, agar tidak disebut spesies penipu. Bahasa yang dipakai manusia adalah wahana untuk menyingkapkan dusta. Keterampilan yang diperlukan adalah menyaring dan memverifikasi informasi. Penting juga ketika menyadari kesalahan agar segera meralat. Penggunaan istilah new normal, misalnya, masih banyak digunakan di mana-mana, meskipun direvisi adaptasi kebiasaan baru.
Ilustrasi sebuah kecelakaan (Foto: Thinkstock/Berezko)
Bahaya Zero Trust Society
ADVERTISEMENT
Hidup di era medsos, membuat bahasa pergunjingan seperti bah tak dapat dicegah. Hoaks kecil menjadi besar. Kabar remeh menjadi serius. Kasus biasa dan personal menjadi insiden massal.
Kecelakaan tunggal jika ungkap dengan tidak jujur, informasinya bisa sedemikian rupa berkembang dan berujung pada kekerasan oleh ratusan orang pada kasus Ciracas. Kecelakaan tunggal bisa menjelma menjadi "kecelakaan massal", ironisnya kali ini melibatkan aparatur negara. Kasus personal lain yang masih lekat dalam ingatan adalah pergunjingan tentang wajah lebam-lebam Ratna Sarumpaet. Operasi plastik wajah satu orang yang bikin "lebam-lebam" wajah banyak tokoh besar.
Jika "kecelakaan-kecelakaan" akibat pergunjingan semakin beruntun dan tak dicegah, tidak mustahil kita sedang berdekatan dengan situasi zero trust society. Sibuk bergunjing tanpa mempunyai kemampuan membedakan mana yang harus dipercaya mana yang tidak. Nihilnya kepercayaan berpotensi pada chaos. Itulah "kecelakaan" dalam sekala luas dan massal.
ADVERTISEMENT
Saat chaos datang. Bisa-bisa Bu Tejo memanggil pemilik pangkat jejer-jejer bintang lima? Masyarakat dipaksa diam. Tertib di bawah ancaman. Sayangnya, saat represi itu dipilih sebagi solusi, bahkan untuk menyampaikan kebenaran sekalipun, kita dipaksa bungkam. Bukankah kita sudah pernah melewati era itu? Sayang sekali, jika bangsa ini kembali mundur, menjadi kumpulan kanak-kanak yang tidak tumbuh dewasa. Sssttt, diam !
Makhsun Bustomi, SST, MSi, seorang penulis berlatar belakang social work dan magister sains dalam kajian manajemen sumber daya manusia. Tinggal di Tegal.