Soal Ukuran Sepatu, Soal Ukuran Bersyukur

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
20 Juni 2020 15:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sepatu sekolah anak. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sepatu sekolah anak. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Tulisan ini berawal dari sebuah masalah pribadi tentang ukuran sepatu. Ukuran sepatu yang dibutuhkan seseorang sudah pasti yang sesuai dengan ukuran kaki. Kekecilan akan bikin lecet tersiksa, kebesaran menimbulkan masalah.
ADVERTISEMENT
Konon, sejarah ukuran sepatu dimulai sejak Raja Edward II dari Inggris yang pengin sepatu orderannya pas. Ukuran kakinya ditentukan dengan membandingkan panjangnya barleycorn, sejenis sereal atau suku padi-padian. Lalu, atas desakan pentingnya standar ukuran sepatu, pada tahun 1324 dia menerbitkan dekrit kerajaan tentang barleycorn sebagai unit mengukur sepatu.
Ya, istri saya hampir selalu bertemu kesulitan yang berulang-ulang. Mencari sepatu dengan ukuran kaki yang di bawah rata-rata, ukuran 35-36 adalah pengalaman yang menyulitkan. Saya harus ikhlas ikut “menderita” berjibaku mencari sepatu, dari etalase ke etalase dengan durasi yang panjang. Makin ambyar kalau ujung pencarian itu tetaplah sad ending.
Sebagai pendamping, saya harus menyediakan diri menjadi bantal psikologis yang empuk tempatnya meletakkan kepala. Jika pada titik habis waktu dan kesabaran, tidak menemukan sepatu yang matching. Biasanya saya mengajaknya makan-makan atau belanja barang lain sebagai teknik sublimasi untuk mengalihkan.
ADVERTISEMENT
Selain dibutuhkan kreativitas menghibur, penting juga untuk punya toleransi tinggi. Contoh kasus, ketika kami lagi travelling di suatu kota atau tempat shopping, kemudian tanpa sengaja menemukan beberapa sepatu dengan ukurannya akur dengan aspirasi kakinya. Maka kami anggap itu rezeki tak terduga dan memutuskan untuk membeli meskipun tidak ada agenda belanja sebelumnya. Mengingat penderitaan yang sudah banyak dilewati soal ukuran sepatu ini, tak apa sekali ada dendam dilepaskan. Pesan moralnya, di balik ukuran kaki yang kecil, dibutuhkan jiwa yang besar.
Tuhan memang punya rencana yang jelas untuk ciptaan-Nya. Di balik kakinya yang mungil, keluwesannya mengikuti iringan gamelan, bakat, dan minatnya mengantarkan dia menjadi pengajar dan pelatih tari tradisi. Satu profesi yang justru mengandalkan kaki nyeker, lepas alas kaki. Untuk menghibur dan membelanya, saya kadang menyelipkan doktrin Schumacher yang memiliki prasangka yang kuat dalam hal yang kecil seperti yang ia katakan dalam mantranya, ‘manusia itu kecil, dan karenanya, kecil itu indah’. Small is beautiful.
Ilustrasi sepatu lari Foto: Clam Onejeghuo/Unsplash
Masalah pribadi tentang ukuran kaki ini bukan berarti masalah yang tidak penting. Bukankah awal mula Yukka merintis Brodo berasal dari soal sulitnya dia banget mencari sepatu ukuran 46. Ukuran sepatu yang terlalu besar dicari di Indonesia. Tertulis di halaman web-nya "Brodo adalah cerita dua insinyur yang membuat bisnis dari masalah pribadi tentang sepatu". Ternyata, bagi dia, ini menjadi pesan moral kedua, di balik ukuran kaki yang besar, terdapat kekuatan mewujudkan kisah epik yang yang besar pula.
ADVERTISEMENT
Saya juga teringat kepada remaja yatim piatu, dengan ukuran kaki yang normal-normal saja, tapi tak mampu beli sepatu. Dia hanya mampu berlatih lari tanpa alas kaki. Kegigihannya membawanya menjadi kampiun 100 meter putra pada ajang IAAF World U20 Championships di Finlandia. Dia Muhammad Zohri. Pesan moral ketiga berasal dari Zohri, di balik berapa pun ukuran kaki, yang ditanyakan adalah sejauh mana kita melangkah dengan kaki ini.
Teringat pula kisah tentang wanita, budak cinta sepatu yang obsesif. Imelda Marcos, istri penguasa Philipina Ferdinand Marcos, yang berkuasa tahun 1965 -1986, yang punya 2.700 pasang sepatu. Tipe manusia yang tidak punya batas ukuran jumlah dan harga tentang mencari sepatu.
Bertolak dari cerita-cerita personal ini. Tidak berlebihan jika bertanya, nikmat kaki mana yang akan kita dustakan? Mungkin, pesan-pesan tentang ukuran sepatu bisa juga menjadi alternatif mengukur tingkat syukur.
ADVERTISEMENT
Berapa pun ukuran kaki tidak menghambat jauhnya melangkah pergi. Kalau diam-diam saja di tempat, sementara kuota hidup kita sudah ditentukan Tuhan. Apa bedanya dengan tahi lalat yang tak pernah pindah dari atas bibir Nikita Mirzani.
Makhsun Bustomi, SST, Msi. Seorang Social Worker, pencinta buku & tinggal di Tegal.