Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Start With Where
1 Januari 2025 18:34 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Libur Tahun Baru kami di rumah. Begitu rampung mandi, tumben saya langsung menemukannya. Padahal tak jarang di rumah ini terdengar teriakan, ”Bun, sisir di mana?”.
Entah, berapa kali saya bertanya begitu kepada istri, pada pagi-pagi yang buru-buru. Di rumah kami, sisir seperti makhluk gaib, tiba-tiba saja lenyap. Bagi bapak-bapak dengan anak yang meremaja, sisir mungkin hanya perkara picisan. Sekadar alat menginspeksi rambut agar tak seperti instalasi kabel di kota: semrawut. Bahkan ketika darurat, cukup jari-jari untuk merapikannya, meski tak serapi barisan tentara melainkan hansip. Apalagi bagi yang berambut beberapa baris bagaikan barcode.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, bukan hanya sisir yang gampang hilang di rumah kami. Di waktu lain, ”Dimana kaus kaki, Bun? Bun, dimana name tag? Di mana charger hape?” Bahkan saat sepertinya semua ready, ”Di mana kunci mobil?”
Menjinakkan Pagi
Pagi bagi keluarga seperti kami, adalah "barang yang mudah pecah". Wajib hukumnya diperlakukan hati-hati. Tak jarang tegangnya mirip tim gegana menjinakkan bom.
Keributan-keributan kecil bisa menjadi bencana yang merusak mood. Dan akan terbawa ketika menyetir, menjadi gampang murka di jalan raya. Sampai di kantor jadi baper. Bagi guru seperti istri saya, bisa saja terbawa di dalam kelasnya. Bagi anak, bisa tak konsentrasi tatkala menghadapi ulangan matematika.
Pagi adalah ujian, yang tidak bisa dilewati dengan ”nembak” seperti bikin SIM. Melihat anak berangkat sekolah berwajah cerah tidak merengut adalah keindahan sendiri. Jadi, sebisa-bisa saya menghadapi pagi dengan senyum. Entah, lupa dari mana asalnya tapi saya pernah membaca nasihat, jika ingin berjalan dengan baik maka mulailah harimu dengan senyum. Menahan diri tidak bicara dengan nada tinggi. Meskipun si anak hendak mogok seperti motor dengan bensin tinggal tetes terakhir. Sementara jarum jam mengancam kita tak bisa presensi tepat waktu.
ADVERTISEMENT
Jadi, kalau dalam Start With Why, Simon Sinek menyebut pentingnya pertanyaan “mengapa”. Para tokoh berpengaruh memulai ide atau bisnisnya dengan pertanyaan ”mengapa”. Manusia bekerja atau melakukan sesuatu harus tahu dulu alasan mengapa kita melakukannya. Memahami tujuan akan membawa kita melakukannya dengan hati dan tak gampang menyerah. Tentu saja saya tidak dalam golongan manusia inspiratif dan ideal itu.
Ya, bagaimana lagi. Saya dan istri pasangan suami istri yang bekerja harus berangkat pagi. Sementara anak juga sekolah, tanpa ada asisten rumah tangga. Jadi izinkan saya memilih "teori" saya sendiri. Pengalaman sehari-hari saya lebih banyak dengan start with where. Ya, bagaimapun saya tahu kami lebih beruntung. Di kota besar, banyak orang tua pergi pada pagi gelap, saat anak belum bangun, dan pulang saat dia sudah terlelap.
ADVERTISEMENT
Betul kata quotes yang bersliweran di medsos. Tidak ada barang yang hilang sampai seorang ibu menemukannya. Kini di rumah kami, peran itu tergantikan oleh istri, ibu dari putri saya. Cukup sering, kisah pagi diawali dengan kebisingan saya dan puteri kami berlomba bertanya ini-itu padanya.
Oh ya, satu waktu ketika istri tugas keluar kota, dan kami ditinggal berdua. Pagi-pagi, anak saya tidak menemukan kaos kakinya. Dicari-cari tidak ketemu juga. Untuk ini, saya harus berterima kasih pada swalayan 24 jam. Kebetulan minimarket dengan teras depan tersedia kursi besi tempat bengong dan healing berada tak sampai dua ratus meter dari rumah. Di situlah saya menemukan solusi jitu, yang akan menjadi protap andai saya ketemu masalah kaos kaki.
ADVERTISEMENT
Titik Koordinat
Manusia zaman kini semua ingin bergegas. Apabila pertanyaan-pertanyaan kecil "di mana" bisa terjawab tanpa meledak. Ketika pagi sudah jinak, bisa jadi terhindar dari terlambat. Semua tahu, kecepatan telah menjadi roh kehidupan manusia modern. Lagipula waktu bukan benang layang-layang yang bisa diulur atau ditarik sesuka hati. Ketika ia lepas, ia tak terkendali. Tak kembali.
Belum lama ini, saya nonton film Netflix. Kisah tentang seorang lelaki yang dipecat dari korporat. Ditengah musibah itu, ayahnya stroke, anaknya ingin masuk sekolah internasional, sementara angsuran rumah jatuh tempo dan siap disita oleh Bank. Ia sendiri penderita diabetes. Usia yang tak lagi muda, membuatnya ditolak ketika melamar kerja ke mana-mana. Hanya satu loker tersedia, kerja sebagai kurir antar pesan makanan.
ADVERTISEMENT
Film tersebut membuka mata saya perjuangan para kurir menemukan titik koordinat. Buat apa tepat kalau lambat. Buat apa cepat jika salah alamat. Antri berjejal di rumah makan, masuk gang yang kadang nomor rumahnya acak, menemukan kamar diantara rumah-rumah susun, pasar, bahkan mengantarkan oder di tengah ajeb-ajeb nightclub. Mereka berjuang mendapat ulasan lima bintang, dengan berbagai macam karakter pelanggan.
Teknologi aplikasi map tidak cukup, kadang menyesatkan. Film, berjudul Upstream itu, lebih jauh lagi pada akhirnya bukan berkisah cuma soal inovasi dan berlomba adu gesit kecepatan menemukan lokasi. Melainkan menyentuh sisi kemanusiaan. Dalam film itu setiap kurir punya kisahnya masing-masing berlomba bertahan dan memperjuangkan keluarga.
Ya, titik koordinat kita bermula dari keluarga. Start dari rumah, finish juga di rumah. Begitu pula keluarga saya. Menjelang magrib, kami saling mengecek siapa di antara kami yang berada di rumah. Oh ya, kami punya grup watshapp, berisi tiga anggota. Di situlah kami saling bertanya posisi, jika ada yang terpaksa terlambat pulang.
ADVERTISEMENT
Keluarga menjadi titik kumpul yang tak pernah basi. Alamat dalam KKBI bukan hanya berarti tempat tinggal. Alamat berarti pula pertanda, seperti pada kalimat: awan yang pekat alamat akan hujan. Begitu di rumah, titik berhimpun kami adalah ruang keluarga berdinding tembok tiga kali lima, di mana ada TV, rak buku-buku, di atas karpet lusuh kami.
Barulah kemudian ada pertanyaan lain tentang apa-apa yang kami kerjakan, apa yang terjadi pada hari itu. Titik bertemunya longitude dan latitude kehidupan adalah keluarga. Keluarga adalah juga pertanda fitrah manusia. Manusia bermula dari rahim dan manusia selalu mendambakan kasih sayang.
Memang, tak jarang saya dan anak saya berlomba menanyakan barang ini-itu di mana. Pagi kami kadang berantakan. Ya, itu sedikit hukuman atas kesemrawutan kami. Jelas, kami bukan keluarga sempurna.
ADVERTISEMENT
Tidak apa, hidup mulai dengan bertanya di mana. Sepanjang kami melewatinya. Anggap saja ritual urban itu sebagai latihan mengelola emosi. Setelah tiba di kantor, di jalan kita terpaksa harus begini begitu. Menempuh jalan berliku karena aturan yang berlaku. Sebagaimana kata Keigo Higashino "dunia bukan tempat kau bisa bermanja-manja". Baiklah, mau tidak mau saya mufakat.
Tapi tunggu dulu. Saya kira di di dunia ini masih ada titik koordinat kita bisa bermanja-manja. Dunia kecil bernama keluarga. Dunia tempat kita ribut soal kecil seperti sisir, charger hape, name tag, jepit rambut tetapi menyediakan ruang untuk maklum dan saling memahami. Ketika soal-soal kecil ini tidak membesar artinya kita masih baik-baik saja.
Sedikit berfilsafat, barangkali dari keributan kecil ini menjadi guru mitigasi membereskan soal-soal yang lebih besar. Bukankah beras dicuci menjadi bersih ketika saling bergesekan. Lagipula siapa yang menjamin setiap keluarga tidak mendapatkan ujian?
ADVERTISEMENT
Tak perlu repot-repot terlalu mempertanyakan hal-hal besar di luar kendali kami. Saya pikir, mempraktikkan Stoa dengan Filosofi Teras ala Henry Manampiring selalu relevan. Soal-soal pelik di luar rumah kami, dengan asal sebut misalnya pertanyaan di mana Harun Masiku berada apalagi bertanya mengapa Tahun Baru 2025 dia belum ditemukan koordinatnya, biarlah itu menjadi pertanyaan manusia-manusia terkemuka bertipe ”mengapa”.
Tahun 2025, kita harus siap menghadapi dunia yang cadas. Hidup akan baik-baik saja, sepanjang ada keluarga saling merawat kasih sayang. Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, keluarga menjadi titik koordinat untuk diri kita menambatkan diri, melambat dan istirahat. Keluarga adalah titik koordinat di mana kita mulai, pergi dan kembali. Keluarga di mana tombol start dinyalakan dan bendera finish berkibar.
ADVERTISEMENT
Selamat Tahun Baru 2025.