Wimar, Obsesi Jadi Presiden Amerika, Malah Jadi Jubir Presiden Indonesia

Makhsun Bustomi
Penulis Esai, sehari-sehari bekerja sebagai Policy Analyst di Pemerintah Kota Tegal.
Konten dari Pengguna
19 Mei 2021 22:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Makhsun Bustomi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya termasuk penggemar Gus Dur. Agar lebih tahu tentang pemikiran Gus Dur, dengan sukacita saya membeli beberapa buku karya Gus Dur. Tentu saja, saya juga penasaran dengan kawan-kawan Gus Dur. Salah satunya Wimar Witoelar.
ADVERTISEMENT
Sebagai, juru bicara saat Dur menjadi Presiden dalam waktu singkat, tentu Wimar bukan orang sembarangan. Sayangnya, saya tak terlalu kepikiran membeli dan membaca karya-karyanya.
Satu-satunya karya Wimar yang saya miliki adalah buku yang tak tebal, hanya sekitar 200 halaman saja. Buku berjudul Sweet Nothings yang saya beli karena ada diskon besar. Ini ternyata buku keempat dari serial A Book About Nothing.
Meskipun begitu, saya masih ingat dalam tulisannya, Wimar berobesi tentang Amerika. Sewaktu berusia delapan tahun, saat melihat rumah besar yang bikin dia terkagum-kagum. Ternyata itu adalah rumah duta besar Amerika. Lalu ia mulai penasaran dengan Amerika. Mengamati benderanya. Memandangi foto White House, sampai ketika ditanya-tanya apa cita-citanya. Ia menjawab, ingin jadi Presiden Amerika.
ADVERTISEMENT
Perjalanan hidupnya membawanya dari kagum, bertemu dan berkencan dengan Amerika. Menempuh kuliah di negeri yang menjadi obsesi masa kecilnya, justru menjadikannya mampu mengambil jarak dengan "sosok" yang dikaguminya.
Saya kutip kata-kata Wimar dari esainya Rediscovering America,
Belajar langsung di negeri yang menjunjung kebebasan berpendapat dan berdemokrasi menjadikannya "menjauh" dari negeri yang dikaguminya. Tentu, ia tak melihat Amerika dengan cara yang sama ketika masa kecilnya. Ia seperti ditakdirkan untuk menjadi manusia yang bersahabat sekaligus piawai dalam bersikap kritis.
Kembali ke Gus Dur. Sebagai sahabat dan orang yang dipercaya menjadi juru bicara saat Gus Dur menjadi presiden, toh ia tetap mengambil jarak yang tepat. Dalam The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid yang ditulis Greg Barton, disebutkan Wimar Witoelar berkata,
ADVERTISEMENT
Mesikpun menjadi juru bicara presiden sekaligus sahabat yang dikaguminya, Wimar Witoelar tetap jernih bicara dalam menilai Gus Dur.
Demikianlah, sebagai pengagum Gus Dur, saya sedikit belajar dari Wimar. Bagaimana tetap menjaga sikap kritis. Seperti kekaguman Wimar kecil kepada Amerika, toh ia akhirnya tahu Indonesia adalah negeri yang dicintainya. Dan ia telah berbuat banyak sebagai pejuang demokrasi dan mengajarkan sikap kritis.
ADVERTISEMENT
Disandingkan dengan Gus Dur, selain sama-sama kritis, ia punya kesukaan yang sama yaitu travelling hingga bertemu banyak orang.
Kini, Wimar baru saja berkemas. Pamit untuk perjalanan ke tempat yang tak lagi terjangkau GPS dunia. Bermula dari salut dengan kebebasan berbendapat di Amerika, ia pernah berkata, ternyata alam demokrasi Amerika sangat berisik. Negeri ideal dan nyaman tetaplah Indonesia.
Tetapi, menurut saya sepertinya Indonesia sekarang juga tak kalah bersisik. Karenanya, memang ini waktunya ia pergi ke alam yang tenang. Bertemu lagi dengan salah satu sahabatnya, Gus Dur.
Entah, apa mereka kemudian berdiskusi tentang Indonesia di sana. Yang pasti Indonesia kehilangan dan akan mendiskusikan pikiran-pikiran kritis mereka berdua.
Selamat berpulang, Wimar Witoelar. Semoga mendapatkan kedamaian hakiki dan kebebasan yang sesungguhnya di "negeri yang tak berisik lagi".
ADVERTISEMENT
Makhsun Bustomi, pembaca Sweet Nothings, A Book about Nothing #4 dan bekerja sebagai ASN di Pemkot Tegal.