Konten dari Pengguna

Masih Ada Perawat dan Bidan yang Digaji Rp 50 Ribu Setiap Bulan

dr Makhyan Jibril A MSc MBiomed SpJP
Spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Alumni Universitas Brawijaya, Airlangga, Quantics dan University College London
21 Januari 2019 0:40 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari dr Makhyan Jibril A MSc MBiomed SpJP tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masih Ada Perawat dan Bidan yang Digaji Rp 50 Ribu Setiap Bulan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Perawat dan Bidan (Sumber: Ontamedis)
Setelah dihebohkan dengan adanya statement gaji dokter yang di bawah tukang parkir. Banyak pihak mulai menginvestigasi tentang statement ini. IDI melalui ketua umumnya, yakni dr Daeng M Faqih S.H, M.H telah mengklarifikasi bahwa memang benar adanya dokter umum yang digaji kurang dari Rp 3 juta per bulan. Sementara itu, JDN Indonesia yang diketuai oleh dr Andi Khomeini Takdir Haruni SpPD telah menemukan bahwa 83 persen dokter Indonesia masih digaji di bawah standar IDI, di mana 11 persennya masih digaji di bawah Rp 3 juta per bulan.
ADVERTISEMENT
Hal ini diperparah dengan fakta bahwa dokter dengan gaji di bawah Rp 3 juta per bulan tidak hanya ada di daerah terpencil saja, melainkan juga di pulau jawa seperti Jakarta, Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), dan Jawa Timur (Jatim). Fakta ini menunjukkan bahwa meski kebanyakan dokter gajinya masih di atas tukang parkir, ternyata masih ada dokter umum di Jakarta yang gajinya di bawah gaji tukang parkir yang setara UMR (3,6 juta) di kota serupa.
Setelah terbongkarnya fakta bahwa masih banyak dokter umum yang belum sejahtera di berbagai kanal sosial media. Ternyata banyak sekali komentar dari para bidan, perawat, apoteker, ahli gizi bahkan radiografer yang juga menunjukkan bahwa fenomena gaji substandar juga terjadi pada semua tenaga kesehatan. Komentar-komentar tersebut disampaikan oleh para tenaga kesehatan di kanal Instagram @kemenkes_ri maupun @jdn_indonesia. Lestari misalnya, seorang bidan yang bekerja di salah satu puskesmas di Jawa Timur. Ternyata dia mengaku hanya mendapatkan gaji sebesar Rp 250 ribu per bulannya, padahal ia sudah bekerja lebih dari 2 tahun.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Agus sebagai seorang perawat honorer di Jombang. Meskipun sudah bekerja satu tahun di Puskesmas, ternyata dia digaji jauh di bawah UMR, yakni hanya Rp 350 ribu per bulan. Padahal ia sering kali ditempatkan di garda terdepan untuk jaga malam UGD dengan jam kerja 40-50 jam seminggu. Di saat semua sedang terlelap nyenyak dalam tidurnya, Agus masih berjibaku dengan para pasien gawat darurat.
Sekelumit fakta ini merupakan tip of iceberg yang sebenarnya menunjukkan bahwa masih sangat banyak tenaga kesehatan di Indonesia yang hidupnya masih sub-standar. Parahnya, dengan banyaknya gaji tenaga kesehatan (nakes) yang di bawah UMR menunjukkan bahwa buruh -yang dengan perjuangannya- mampu mendapatkan gaji setara UMR hidupnya jauh lebih sejahtera dibandingkan tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, ketika bidan, perawat, tenaga gizi, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya digaji di bawah standar UMR, mereka sering kali hanya mendapatkan “wejangan” bahwa menjadi tenaga kesehatan itu harus ikhlas mengabdi dan melayani. Padahal nyatanya mereka sedang diperkosa hak-haknya untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Dalam rangka investigasi pendapatan tenaga kesehatan di Indonesia, JDN Indonesia melalui dr. Makhyan Jibril selaku Deputy Chairman melakukan kompilasi dari riset pendapatan dari tenaga kesehatan di indonesia di puskesmas dan didapatkan fakta sebagai berikut.
Masih Ada Perawat dan Bidan yang Digaji Rp 50 Ribu Setiap Bulan (1)
zoom-in-whitePerbesar
Hasil pengolahan data dari Kementerian Kesehatan RI melalui program Risnakes pada tahun 2017 menunjukkan bahwa: Dari 65.646 perawat di seluruh puskesmas di Indonesia, ternyata 28.4 persen gajinya masih di bawah UMR di daerahnya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 4 perawat gajinya tidak lebih baik dari para buruh dengan gaji UMR di daerahnya.
ADVERTISEMENT
Masih Ada Perawat dan Bidan yang Digaji Rp 50 Ribu Setiap Bulan (2)
zoom-in-whitePerbesar
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa dari 70.748 bidan yang bekerja di puskesmas di Indonesia, 28.6 persen masih digaji di bawah UMR di daerahnya masing-masing. Angka ini hampir mirip dengan persentase gaji perawat yang di bawah UMR.
Masih Ada Perawat dan Bidan yang Digaji Rp 50 Ribu Setiap Bulan (3)
zoom-in-whitePerbesar
Apabila ditelusuri secara keseluruhan, pegawai puskesmas (bidan, perawat, dokter, tenaga ahli, laboran dsb). Maka ditemukan bahwa 1 dari 3 pegawai puskesmas digaji di bawah UMR. Dengan persentase sebesar 34.5 persen, ternyata pekerjaan di puskesmas tidak se-menjanjikan dibandingkan bekerja untuk swasta. Meskipun demikian, prestis/kebanggaan yang dirasakan apabila bekerja di instansi kesehatan masih dirasa cukup tinggi.
Masih Ada Perawat dan Bidan yang Digaji Rp 50 Ribu Setiap Bulan (4)
zoom-in-whitePerbesar
Pada grafik dari Risnakes Kemenkes RI 2017 di atas, ditemui bahwa DKI Jakarta adalah tempat paling layak bagi tenaga puskesmas, mengingat hanya 0,3 persen yang digaji di bawah UMR. Sedangkan Sulawesi Barat merupakan daerah dengan 61,8 persen dari pegawai puskesmasnya digaji di bawah UMR. Hal ini menunjukkan adanya disparitas yang amat tinggi untuk tenaga kesehatan di Indonesia. Secara rata-rata nasional, tenaga puskesmas yang digaji di bawah UMR ada pada angka 34.5 persen.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya muncul pertanyaan, berapakah gaji paling kecil dari para tenaga kesehatan yang digaji di bawah UMR tersebut?
Masih Ada Perawat dan Bidan yang Digaji Rp 50 Ribu Setiap Bulan (5)
zoom-in-whitePerbesar
Dari 70.746 bidan yang disurvei, ternyata ditemukan bahwa banyak sekali provinsi yang memberikan upah minimal bidannya sebanyak Rp 50.000 saja per bulan, yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan bahkan Jawa Timur dan Jawa Barat.
Sedangkan untuk 65.646 perawat yang disurvei, didapatkan bahwa gaji minimal Rp 50.000 per bulan ada di Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Sayangnya, dari semua data ini, Kementerian Kesehatan hanya menyampaikan median dari gaji, bukan rata-rata/mean dari gaji tersebut. Dengan banyaknya provinsi yang memberikan gaji minimal hanya Rp 50.000 per bulan, hal ini menunjukkan bahwa bargaining position dari tenaga kesehatan di puskesmas masih sangatlah lemah, bahkan cenderung dapat dikategorikan sebagai bakti sosial/volunteer.
ADVERTISEMENT
Dengan gaji tersebut, tentunya akan sangat banyak sekali tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan sampingan seperti membuka online-shop, toko kelontong bahkan ada pula yang menjadi ojek online. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan khususnya bagi mereka yang sudah berkeluarga.
Selanjutnya, apakah gaji ini cukup untuk bertahan hidup, apalagi bagi yang sudah berkeluarga?
Masih Ada Perawat dan Bidan yang Digaji Rp 50 Ribu Setiap Bulan (6)
zoom-in-whitePerbesar
Ternyata, dengan gaji yang saat ini mereka dapatkan, menurut laporan Riskesnas Kementerian Kesehatan ditemukan bahwa hanya 43,7 persen tenaga kesehatan di puskesmas yang mampu mencukupi kebutuhan keluarga selama sebulan dengan penghasilannya dari puskesmas. Sedangkan untuk kemampuan menabung, hanya 33,8 persen dari tenaga kesehatan yang mampu untuk menabung dengan penghasilannya dari puskesmas. Hal ini menunjukkan bahwa masih sangat banyak tenaga kesehatan di puskesmas yang belum mampu menabung, bahkan hanya sekadar mampu mencukupi kebutuhan keluarga selama sebulan dengan penghasilannya dari puskesmas.
ADVERTISEMENT
Dengan fakta-fakta di atas, sangat terlihat sekali bahwa profesi sebagai tenaga kesehatan itu tidak semenjanjikan yang dibicarakan oleh masyarakat. Banyaknya tenaga kesehatan yang masih digaji di bawah UMR, bahkan hanya digaji Rp 50.000 per bulan menunjukkan sangat minimnya perlindungan terhadap hak dari tenaga kesehatan. Padahal saat ini tuntutan kewajiban tenaga kesehatan sangatlah tinggi, mulai dari kompleksitas pengurusan surat tanda registrasi dan praktik, diikuti dengan biaya pendidikan berkelanjutan seperti seminar dan pelatihan yang makin mahal, ditambah lagi dengan adanya akreditasi yang mengatur standar pelayanan serinci mungkin. Kesemuanya memerlukan biaya yang sangat tinggi. Ditambah lagi makin mahalnya sekolah kesehatan karena masih dianggap sebagai profesi tentunya hal ini membuat proses pendidikan tenaga kesehatan makin tereksploitasi.
ADVERTISEMENT
"Menjadi tenaga kesehatan adalah jalan pengabdian, namun apakah pengabdian itu berarti mengorbankan anak dan istri sehingga kebutuhan bulanan tidak dapat tercukupi?"
Oleh karena itu, sudah saatnya saatnya tenaga kesehatan ini mendapatkan perlindungan dari hak-hak minimal yang didapatkannya. Bukan untuk hidup berlebih, melainkan semata-mata demi ketenangan batin melalui cukupnya dari kebutuhan dapur dan susu anaknya.
Karena sejatinya, dengan ketenangan batin, tenaga kesehatan akan bisa lebih fokus untuk mengabdi dan memberikan pelayanan sepenuh hati bagi masyarakat.
Ilustrasi tenaga kesehatan. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tenaga kesehatan. (Foto: Thinkstock)
Surabaya, 21 Januari 2018
dr. Makhyan Jibril A. MSc. M.Biomed
Deputy External Junior Doctor Networks Indonesia, Residen Cardiology Univ Airlangga, Alumni Uninversity College London, Peraih Beasiswa Pemerintah Inggris Chevening
Referensi
Risnakes. 2017. Laporan Riset Ketenagaan Bidan Kesehatan 2017. http://labmandat.litbang.depkes.go.id/images/download/laporan/RIKHUS/2017/Laporan_RNK2017_PKM.pdf
ADVERTISEMENT