Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Enaknya Bukan Jadi Warga Lokal, Bisa Bebas Buang Sampah Di Mana Saja
21 November 2024 17:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Malahayati Ulimas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Satu dunia, bukan, mungkin hampir satu galaksi. Permasalahan yang paling umum dan sering menempel bangga baik di halaman depan koran maupun berita adalah permasalahan sampah. Tidak hanya sampah di darat dengan total jutaan ton, sampah di laut, bahkan sampah di luar angkasa juga berasa menjadi topping di muka bumi.
Berdasarkan data dari Sindo News, total 100 triliun potongan keping satelit tua yang sudah tidak berfungsi melayang di angkasa, mereka menjadi bintang palsu, ikut mengorbit planet-planet, hanya berkeliling hampa dan tidak ada yang peduli. Indonesia juga harus 'berbangga' dengan pencapaian menghasilkan timbunan sampah mencapai 69,7 juta ton pada tahun 2023 lalu, berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK). Dan Norwegia harusnya malu, mereka sampai mengimpor sampah dari luar negeri, Norwegia harus mencontoh Indonesia.
Angkasa mungkin terlalu jauh, bagaimana dengan sampah di jalanan?
Satu orang manusia dapat menghasilkan 0.7 kg sampah menurut KLHK. Ini hanya angka yang kecil, ucap 8 miliar penduduk bumi, namun memang tidak setiap hari semua orang menghasilkan sampah sebanyak itu. Kembali lagi di Indonesia.
Apakah benar rata-rata IQ masyarakat Indonesia hanya 78?
Setiap hari, sampah yang dibuang akan digabungkan menjadi satu di TPS (Tempat Pembuangan Sementara), semuanya dikumpulkan lalu dikirim ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Selesai bukan? hanya dengan membayar Rp. 15.000,- kita sudah bebas dengan sampah, ada petugas yang akan mengambilnya. Lalu, di sinilah permasalahannya, ribuan kali pemerintah menggaungkan 3R, organik dan an organik sampai mereka berbusa sepertinya tidak berlaku kepada masyarakat yang memiliki sumber daya manusia rendah.
Samping jalanan penuh semak menjadi tempat kesayangan untuk si tidak modal membayar iuran sampah 15 ribu rupiah. Setiap hari, mereka berlalu lalang sambil menggerakkan jari jemari dan tangan 'gerakan maut' membuang sampah di samping jalan. Sebelum berangkat kerja, selain membawa bekal makanan, mereka tak lupa pula membawa bekal 'trash bag' tercinta untuk dipasangkan dengan 'trash bag' yang lain. Sangat indah.
Warga lokal membatin, siapa yang membuang 'bekal' di sini? proteslah mereka ke pak RT, kepala beliau memanggut-manggut sambil mengelus-elus dagu. Warga lokal sangat marah. "Enak saja, jalanan bagus dan asri mengapa dijadikan tempat sampah? bau!." Protes salah seorang bapak-bapak.
Warga lain menimpali "Bagaimana kalau kita adakan ronda? jadi kita tau siapa pelakunya." Sungguh ide luar biasa, lalu saking semangatnya, mereka beronda malam itu juga. Pukul 12 malam, sepi, tidak ada yang lewat satupun, hingga pukul 3 dini hari, waktunya pertunjukkan. Suara motor terdengar, dan "brukk." Suara plastik terlempar mengenai semak-semak. Pelaku tertangkap, siapa pelakunya? bukan warga lokal.
Tidak lain kalau bukan rata-rata pemilik IQ 78, mereka malah tambah berani, tidak takut dan tidak gentar walau pelaku telah tertangkap karena membuang 'bekal' di samping jalan. Astaghfirullahaladzim, musim hujan datang. Nyamuk-nyamuk hadir dua kali lipat, para nyamuk tidak kenal dengan program KB (Keluarga Berencana) tumpukan sampah menjadi bau dan lembap. Warga lokal tambah marah, lalu berpikir, apa yang ditakutkan oleh masyarakat Indonesia? benar, itu adalah uang.
"Denda Rp. 50.000 bagi yang membuang sampah di sini" hanya menjadi hiasan semak-semak, seperti hiasan wisata warna-warni di tempat rekreasi, tempat rekreasi kumpulan para sampah. Bagi mereka mungkin sayang jika harus mengeluarkan uang lima belas ribu rupiah untuk iuran, lebih baik dibelikan rokok, atau depo judi.
Kerusakan struktural
Akar dari permasalahan ini dari mana? apakah dari pemerintah, atau dari masyarakat? tentu saja dari dua-duanya. Sungguh PR besar bagi pemerintah, sudah warganya memiliki sumber daya paling rendah di Asia Tenggara, menurut Katadata.com. Pemerintah juga harus mengurusi jutaan ton sampah yang tidak tau harus disedekahkan ke mana. Lalu bagaimana solusinya, tentu solusinya juga adalah solusi yang ribuan kali dilontarkan, memisah sampah antara organik dan an organik, lalu menggerakkan 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Sebagai mahasiswa yang memiliki tugas berat untuk mencapai Indonesia Emas 2045, kontribusi yang bisa diberikan adalah dengan pengedukasian pengelolaan sampah kepada masyarakat sekitar, tidak usah jauh-jauh, memisahkan botol kaca dengan sisa sayur sop semalam menjadi langkah awal untuk kedepannya, lalu TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dengan mudah memisahkan sampah, hingga menuju TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Banyangkan jika 173 juta warga Indonesia mau berniat seperti ini, pastilah Norwegia akan malu dan minder dengan Indonesia, namun sepertinya lebih gampang membayar Rp.15.000,- dan membuat tarian maut membuang sampah daripada repot-repot memisah sampah.
ADVERTISEMENT