Konten dari Pengguna

Hilangnya Peran Negara Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Mala Silviani
Asisten Pemberi Bantuan Hukum LBH Jakarta
8 Juli 2024 10:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mala Silviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar dibuat oleh penulis melalui aplikasi canva.
zoom-in-whitePerbesar
Gambar dibuat oleh penulis melalui aplikasi canva.
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh Mala Silviani
Secara historis tercatat bahwa perbudakan memang telah ada dan berkembang sejak beberapa ribuan tahun yang lalu. Umumnya hal ini diawali dengan penaklukan dari suatu kelompok terhadap kelompok lainnya. Singkatnya, kelompok yang lebih kuat dan memiliki kekuasaan akan dengan mudah untuk menguasai kelompok yang lebih lemah atau rentan. Dalam bahasa latin dikenal dengan Homo Homini Lupus yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks sejarah Indonesia misalnya, cikal bakal masuk dan berkembangnya perdagangan manusia di Indonesia berangkat dari terjadinya proses perbudakan juga penghambaan pada masa kerajaan-kerajaan Jawa yang menjadikan kaum perempuan hanya sebagai pelengkap dari sistem pemerintahan yang feodal.
Namun, sebelum mengurai tulisan ini lebih lanjut perlu penulis tegaskan diawal bahwa dalam tulisan ini penulis hanya akan menguliti hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang atau (TPPO) dari perspektif yuridis yang selanjutnya akan penulis coba hubungkan dengan bagaimana peran negara sejauh ini untuk memulihkan korban TPPO. Oleh karena itu sebelum membahas lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan perdagangan orang, terlebih dahulu perlu memahami pengertian dan ketentuan yuridis terkait TPPO yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Salah satu adagium yang sudah usang berbunyi “ad recte docendum oportet primum inquirere nomina, quia rerum cognitio a nominibus rerum dependet” yang berarti “agar dapat memahami sesuatu, perlu diketahui terlebih dahulu namanya, agar mendapatkan pengetahuan yang benar”.
Secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pasal 1 menuliskan bahwa:
“Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
ADVERTISEMENT
Dari ketentuan pasal di atas dapat dipahami bahwa korban TPPO adalah orang yang mengalami berbagai bentuk eksploitasi untuk mencapai titik tertentu yang umumnya dalam bentuk kerja paksa atau segala bentuk pelayanan praktik-praktik perbudakan.
Sadar akan kenyataan bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, dengan itu dirumuskanlah suatu aturan dengan berbagai ancaman penjatuhan pidana bagi siapapun yang melakukan perdagangan orang. Lantas, bagaimana dengan ketentuan hak untuk korban tindak pidana tersebut?
Dalam UU No.21 Tahun 2017 terdapat istilah Restitusi, apa itu restitusi? Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
ADVERTISEMENT
Adapun restitusi dalam hal ini merupakan akibat yang timbul dari perbuatan tindak pidana perdagangan orang, sebagaimana pasal 48 ayat (2) menguraikan bahwa Restitusi berupa ganti kerugian atas:
1. kehilangan kekayaan atau penghasilan;
2. penderitaan;
3. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
4. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Empat ketentuan di atas merupakan hal-hal yang harus dipulihkan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang terhadap korban dari TPPO. Dalam titik ini negara sadar bahwa selain membebankan ancaman penjatuhan pidana maka dibebankan pula tanggungjawab pemulihan untuk korban yang harus dilaksanakan oleh pelaku.
Lebih lanjut, jika membuka UU No.21 Tahun 2017 memang diatur ketentuan terkait Restitusi, sampai titik di mana apabila Terpidana tidak juga melaksanakan putusan Pengadilan untuk memberikan Restitusi, maka Pengadilan berhak menyita aset si Terpidana untuk dilelang. Tapi, pertanyaan berikutnya ialah bagaimana jika si Terpidana tidak memiliki aset untuk disita? Mengingat konsekuensi dari tidak adanya aset yang bisa disita hanya terhenti pada penambahan masa tahanan bagi Terpidana.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang menjadi keresahan bagi masyarakat sipil dan tugas besar negara tentunya, peran negara dalam melindungi korban tindak pidana menjadi patut dipertanyakan akibat tidak adanya aturan lebih lanjut yang mampu memulihkan korban TPPO melalui tangan-tangan negara. Sampai titik ini penulis memandang perlu adanya revisi terhadap UU No.21 Tahun 2017. Namun kita sadar betul bahwa diperlukan banyak waktu untuk mencapai adanya revisi UU, jika perlu dan memang perlu negara harus segera membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang didalamnya terdapat kompensasi dari negara bagi korban TPPO, atau selemah-lemahnya iman Presiden wajib mengeluarkan Peraturan Presiden terkait pemulihan bagi korban TPPO.
Bahkan jika penulis ingin berangan-angan penulis membayangkan bahwa seharusnya baik restitusi ataupun kompensasi tidaklah harus menunggu sampai adanya putusan pengadilan, mengingat proses dari peradilan begitu panjang dan melelahkan. Mengapa proses restitusi atau kompensasi tidak diatur di dalam tahapan awal proses sistem peradilan pidana yang melibatkan berbagai instansi mulai dari Kepolisian atau Kejaksaan misalnya, tak lain untuk sesegera mungkin negara hadir untuk korban tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Maka, dengan demikian sebagai penutup dari tulisan ini memang perlu adanya tekad dari negara untuk lebih serius dan memiliki rasa ingin untuk mementingkan hak-hak dari korban tindak pidana perdagangan orang, itupun jika negara memandang bahwa perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.