Konten dari Pengguna

Perihal Penjatuhan Pidana Penjara

Mala Silviani
Asisten Pemberi Bantuan Hukum LBH Jakarta
18 Mei 2024 9:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mala Silviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar didapatkan melalui aplikasi Canva.
zoom-in-whitePerbesar
Gambar didapatkan melalui aplikasi Canva.
ADVERTISEMENT
Di tulis oleh Mala Silviani
Setiap hukuman yang tidak lahir dari kebutuhan mutlak, ujar Montesquieu, bersifat lalim. Tegasnya, setiap tindakan kekuasaan dari seorang manusia terhadap manusia lainnya, tanpa dasar kebutuhan mutlak, bersifat lalim. Atas dalil itulah hak yang berkuasa untuk menghukum dibangun.
ADVERTISEMENT
Salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan dalam konteks hukum pidana Indonesia ialah hukuman penjara, yang mana hukuman penjara bersumber pada paham individualisme.
Jika dilihat dari sejarahnya, penggunaan pidana penjara sebagai cara untuk menghukum para penjahat dimulai pada akhir abad ke-18. Saat itu, pidana penjara semakin menduduki peranan penting sehingga menggeser pidana mati yang dipandang kejam seiring dengan kian berkembangnya pemahaman mengenai hak asasi manusia.
Sementara itu, Bernard Shaw pernah menyatakan bahwa menyediakan penjara yang tidak merusak pikiran atau setidaknya fisik narapidana adalah di luar kemampuan nalar manusia.
Di sisi lain, mulai lahir gerakan menghapuskan pidana penjara yang dipelopori oleh L.H.C Hulsman dengan membentuk organisasi ICOPA (International Conference on Prision Abolition) yang melihat pidana sebagai hal yang jahat dengan dasar bahwa "pidana adalah jahat (punishment is crime)." Oleh karena itu, untuk menanggulangi kejahatan itu tidaklah layak dengan mengenakan suatu pidana karena pidana sendiri adalah kejahatan.
ADVERTISEMENT
Keprihatian terkait sistem pemenjaraan pun turut mengusik pikiran dari O.W. Holmes sehingga ia menulis yang pada bokoknya bahwa tujuan hukum pidana yang Bentham sebut sebagai punishment justice tidak lagi efektif dan efisien, terlebih kontra-produktif karena memenjarakan seseorang selama tahunan tidak membuat jera bahkan telah meningkatkan kejahatan, sehingga sinisme dan skeptis “penjara sekolah tinggi kejahatan” kian menggema dan di yakini khalayak ramai.
Dalam konteks, ini penulis bertanya, mengapa hukum pidana Indonesia ditampilkan begitu ekstrim atau menakutkan?
Dalam pencarian dini penulis, dapat disimpulkan bahwa hal ini merupakan suatu dampak dari filosofi pembentukan KUHP. Hal mana sejak KUHP Prancis 1810 yang diadopsi ke KUHP Belanda 1881 tersebut, filosofi retribusionist (pembalasan) digunakan untuk tujuan penjeraan. ya, meskipun KUHP Indonesia yang berlaku sekrang telah diselaraskan dengan prinsip prinsip dan filosofi ke Indonesiaan sejak tahun 1946 melalui UU no 1 tahun 1946 dan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 1958 melalui uu no 73 tahun 1958.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak dapat disangkal bahwa perkembangan sejarah hukum pidana Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah hukum pidana Belanda dan pernacis.
Dengan demikian, meminjam istilah Thomas, penulis katakan "hukum pidana Indonesia masih mengandung sprit levietan (naga yang menakutkan) bagi masyarakat.
Selain dalam aspek penghukuman, penulis menemukan beberapa informasi terkait terkait akibat pemenjaraan badan adalah terjadinya kepadatan jumlah tahanan di dalam penjara atau yang disebut dengan over-crowding.
over-crowding di pandang sebagai suatu masalah besar yang sampai saat ini masih terus di eksplorasi oleh para penstudi hukum atau para ahli mengenai bagaimana cara untuk merumuskan regulasi yang mampu menjawab permasalahan tersebut.
Beranjak dari narasi tersebut, Penulis bertanya mengapa hal demikian bisa terjadi dan apa saja dampak daripada over-crowding tersebut?
ADVERTISEMENT
Ternyata, akibatnya adalah banyaknya jumlah tahanan di dalam penjara mengakibatkan makin membengkaknya pengeluaran keuangan negara yang diperuntukkan bagi para narapidana. Sebagaimana telah diuraikan di dalam buku Romli Atmasasmita bahwa biaya makan narapidana dan tahanan yang jumlahnya rata-rata 100 ribu orang per tahun dengan harga untuk satu narapidana rata-rata adalah Rp15 ribu per hari, sehingga total biaya per hari dari APBN adalah (100 ribu x 15 ribu) = Rp1.500.000.000 atau sama dengan Rp547.500.000.000,00 per tahun.
Jika rata-rata narapidana dijatuhi hukuman 3-5 tahun (tanpa remisi dan bebas bersyarat), total biaya negara yang harus dikeluarkan negara adalah Rp1.642.500.000.000 untuk hukuman penjara 3 (tiga) tahun dan meningkat sebesar Rp2.737.500.000.000 untuk hukuman penjara selama 5 (lima) tahun.
ADVERTISEMENT
Atas dasar yang demikian, penulis menilik bahwa kebijakan penegakan hukum selama ini tidak berakar pada masalah sosial, ekonomi, maupun budaya, melainkan hanya berfokus pada tujuan retributif (pembalasan). Hal itu berdampak pada padatnya jumlah tahanan yang mengakibatkan makin membengkaknya pengeluaran keuangan negara.
Penuis melihat ada 4 (empat) permasalahan mendasar mendesar yang perlu segera dilaksanakan untuk menyelesaikan permasalahan di atas, pertama masalah terkiat reaktualisasi sistem hukum, kedua masalah penataan kelembagaan aparatur hukum, ketiga pemberdayaan masyarakat, dan yang keempat masalah pemberdayaan birokrasi pemerintahan.
Pemidanaan harus sesuai dengan tujuan hukum pidana Indonesia yang merupakan kritalisasi dari nilai-nilai sosial, budaya, dan segala sistem nilai yang hidup di masyarakat, sehingga mempunyai dampak positif bagi terpidana dan masyarakat.
ADVERTISEMENT