Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Runtuhnya Pengetahuan Aparat Penegak Hukum
10 Juli 2024 10:40 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Mala Silviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh Mala Silviani
Akhir-akhir ini banyak mata masyarakat tertuju pada Pegi Setiawan atas kasus Vina Cirebon, setelah ditetapkan Tersangka oleh Kepolisian hingga dikabulkannya gugatan praperadilan, kini penetapan Tersangka untuk Pegi pun dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Bandung. Belum usai atas ramainya kasus Pegi yang berdasarkan pengakuannya mengalami berbagai ragam penyiksaan selama ditahan, kini muncul kasus Afif, seorang anak yang diduga tewas akibat tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian.
ADVERTISEMENT
Menariknya, dari kedua kasus di atas membawa pada satu kesamaan, yakni penyiksaan dalam proses pemeriksaan. Padahal, dalam proses peradilan berlaku suatu asas bernama presumption of innocence atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan asas praduga tak bersalah yang memiliki arti setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan Pengadilan atau dengan makna lain tidak ada orang yang bisa dihakimi sebagai penjahat sebelum ia dinyatakan bersalah oleh Pengadilan. Penulis meragukan jika penegak hukum khususnya Kepolisian yang menjadi bagian dari sub sistem peradilan pidana tidak mengetahui keberlakuan asas tersebut.
Lebih lanjut, jika disederhanakan pada pokoknya asas praduga tak bersalah bukan berarti mengartikan bahwa Tersangka atau Terdakwa sebagai orang yang tidak bersalah, melainkan terjaminnya hak asasi manusia dalam proses peradilan. Adapun tujuan asas praduga tak bersalah ini tak lain untuk melindungi Tersangka atau Terdakwa dari tindakan yang merugikan, termasuk halnya tindakan sewenang-wenang dari aparat penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Sebelum penulis menguraikan lebih lanjut, penulis ingin sampaikan bahwa penulis takut bila tiran membaca tulisan ini; tetapi penulis juga menyadari bahwa tiran tidak pernah membaca. Perlu dipahami, bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memojokan atau mendiskreditkan instansi penegak hukum tertentu. Tulisan ini hanya sebagai pengingat bahwa penegak hukum khusunya Kepolisian merupakan bagian yang paling fundamental dalam penegakan hukum, karena bagaimanapun keberhasilan penegakan hukum akan sangat tergantung pada kinerja penegak hukum, termasuk Kepolisian.
Sebagai pengingat bersama bahwa tugas dari Kepolisan sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menegaskan bahwa: “Kepolisian Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia”.
ADVERTISEMENT
Dengan landasan ketentuan pasal a quo terdapat konsekuensi ketentuan yang harus dilaksanakan oleh Kepolisian dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya, sehingga dalam proses rangkaian pemeriksaan maka Kepolisian wajib berkiblat pada ketentuan khusus yang diatur dalam hukum acara pidana atau yang dikenal dengan KUHAP yang mengenal konsep due process of law (proses hukum yang adil) di mana setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan sesuai dengan hukum acara sehingga undue process menjadi sesuatu yang diharamkan.
Namun, terdapat fakta memalukan dalam Laporan Tahunan Komnas Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tahun 2023, data menunjukan Lembaga Polri menjadi pihak yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM RI dengan adanya 771 aduan pelanggaran HAM sepanjang tahun 2023.Selain itu, berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan atau Komnas Perempuan di Tahun 2023, terdapat data bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan anggota Polri sebanyak 87 kasus. Data tersebut seakan menunjukan bahwa kultur kekerasan rupanya cerminan penegasan akan watak Kepolisian.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan polisi di bidang pengetahuan dalam mengungkapkan kejahatan, tercermin pada saat pemeriksaan Tersangka yang acapkali menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi, seperti membentak, menampar hingga menendang, seakan kebenaran bersemayam di otot dan urat malang yang disiksa. Sebagai penutup perlu penulis sampaikan bahwa Kepolisian idelanya adalah sebagai master of peace, bukan master of violence.