Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Jin Penunggu Sumur di Sebuah Pondok Pesantren
5 Desember 2023 9:36 WIB
Tulisan dari Malik Ibnu Zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya tumbuh besar di lingkungan keluarga nenek dari pihak ibu, maka otomatis saya sering berinteraksi dengan keluarga besar nenek. Nenek sendiri anak kedua dari sebelas bersaudara, di mana dari sebelas bersaudara tersebut empat diantaranya laki–laki, sebut saja namanya Mad, Wir, Abu, dan Ari. Saya memanggil mereka dengan panggilan mbah.
ADVERTISEMENT
Keempat adik nenek tersebut lulusan pondok pesantren di Jawa Timur, Ari mondok di tempat yang sama dengan Mad, Abu mondok di tempat yang sama dengan Wir. Meskipun berbeda pondok tetapi masih di satu kota yang sama.
Menurut cerita dari para kerabat, Wir itu bisa melihat hantu, begitulah cerita yang aku dengar semasa kecil. Cerita yang masih aku ingat hingga sekarang adalah pengalaman Wir bertemu dengan Wewe Gombel di pohon rambutan samping mushola. Wewe Gombel tersebut berbeda dengan Wewe Gombel pada umumnya, sebab jalannya mundur.
Dibandingkan dengan saudara nenek yang lain, Wir ini pendiam orangnya, meskipun pendiam tetapi ia dikenal pemberani, tempat angker di desa pernah dikunjunginya pada malam hari. Nah, ia memiliki hobi memancing, saking pemberaninya, sungai-sungai yang dikenal angker didatanginya, tentu saja dengan tujuan memancing ikan. Menurut penuturan nenek, Wir ini sewaktu di pondok pesantren juga senang memancing di Sungai Brantas.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2021, suami dari kakak nenek, dengan kata lain kakak ipar nenek itu meninggal dunia. Seperti lazimnya di desa-desa ada yang namanya tahlilan hingga 40 hari, tetapi tradisi di keluarga besar saya, di hari ke 8 hingga ke 39 hanya diikuti oleh keluarga besar saja. Selesai tahlilan, dihidangkanlah makanan dan minuman, menikmati hidangan tersebut tentu saja sambil ngobrol.
Saya pun ikut dalam obrolan para bapak-bapak, meskipun hanya sekedar menyimak. Pada hari ke berapa tahlilan, saya lupa tepatnya, obrolan membahas berkaitan dengan waktu di pondok pesantren dulu. Adik ipar nenek yang bernama Kapi mengawali cerita bahwa dulu mengirimkan uang untuk anak di pondok itu tidak menggunakan pos, tetapi langsung datang ke pondok meskipun jaraknya jauh.
ADVERTISEMENT
Di kecamatan tempat saya tinggal, dari dulu memang banyak orang tua yang memilih untuk memondokan anaknya, paling banyak di pondokan di Kediri. Mbah Kapi menceritakan bahwa satu bulan sekali digilir untuk datang ke Kediri membawa titipan uang dari orang tua di rumah. Jadi nanti yang dapat giliran itu mengunjungi pondok-pondok di Kediri untuk menyampaikan titipan itu tadi.
“Dari sini naik bus, kadang juga naik kereta api, nginapnya nanti di kamar santri” terangnya kepada saya yang duduk di sampingnya.
“Kamar yang ada jinnya di pondok pesantren A di mana para santri tidak ada yang berani tidur di situ masih nggak yah?” tanyanya.
“Kira-kira jinnya masih ingat nggak yah sama Kang Wir,” celetuk Mbah Ari, yang kemudian diikuti gelak tawa yang lain
ADVERTISEMENT
“Sudah dirobohkan, berganti bangunan,” jawab Mbah Abu.
Lebih lanjut Mbah Abu menceritakan bahwa para santri tidak ada yang berani tidur di kamar tersebut, sebab ketika tidur di kamar tersebut, ketika bangun berada di atas sumur. Jin berpostur tinggi dan besar itu menempati sebuah lemari di kamar tersebut, para santri juga tidak ada yang berani menggunakan lemari tersebut, sebab pasti yang menggunakan lemari tersebut sakit. Tetapi Mbah Wir berani tidur di kamar tersebut dan berani menggunakan lemari tersebut.
Mbah Wir mengamini apa yang diceritakan oleh Mbah Abu. Ia mengungkapkan ia juga pernah dijahili oleh jin tersebut (Mbah Wir menyebut nama jin tersebut, tetapi saya lupa nama jinnya), ketika tidur ia dipindahkan ke dapur. Kejadian tersebut terjadi ketika Sungai Brantas meluap di mana dapur pasti terendam banjir, tetapi anehnya Wir mengapung di air.
ADVERTISEMENT
“Awalnya bersahabat baik,” terangnya.
Mbah Wir menjelaskan bahwa singkat cerita Jin tersebut merasuki dan mengendalikan dirinya, dengan kata lain mengalami kesurupan. Kejadian tersebut diketahui oleh kiai pengasuh pondok pesantren, Mbah Wir pun dikurung di kamar, dan kiai pun kewalahan.
“Waktu Kang Kapi ke pondok disuruh bapak, itu semalamnya mengamuk parah, saya saja nggak berani nemuin,” timpal Mbah Abu.
Akhirnya ia pun dibawa pulang ke rumah untuk diobati, Kiai mengatakan boleh kembali lagi ke pondok jika sudah sembuh. Mbah Wir diobati oleh pamannya (kakak dari ayahnya). Jika kalian membaca kisah saya sebelumnya, yang mengobati Mbah Wir itu kakek buyut saya, jadi kakek dan nenek saya itu sepupu, lalu menikah, paham kan (Jadi ayahnya kakek dan ayahnya nenek itu kakak beradik).
ADVERTISEMENT
Jimat Teropong
Setelah sembuh, ia berangkat lagi ke pondok pesantren. Ia pun naik kereta api menuju Kediri. Jangan dibayangkan kondisi kereta api zaman itu seperti sekarang ini, para pedagang asongan bebas keluar masuk. Saat kereta api memasuki Kediri, ada kakek berbaju putih menawarkan 5 buah rambutan. Namun, tidak ada satupun yang mau membelinya, sebab harganya mahal yaitu 15 ribu. Nominal tersebut zaman itu ya besar sekali nilainya.
Kemudian oleh Mbah Wir dibeli, uang sakunya kebetulan pas sekali 15 ribu. Ia tanpa pikir panjang membelinya, sebab uang tersebut adalah uang bekalnya di pondok selama satu bulan. Selepas kakek tersebut pergi, ia pun mengupas rambutan tersebut. Pas dikupas, rambutan ke 1 dan 2 isinya kosong, rambutan ke 3 dan 4 isinya hanya biji. Nah, ketika rambutan kelima dikupas isinya jimat teropong.
ADVERTISEMENT
Beberapa penumpang pun berusaha untuk menawar jimat teropong tersebut dengan harga berapapun. Namun, Mbah Wir menolaknya. Jadi jimat teropong tersebut bentuknya cincin, dengan permata yang berlubang. Menurut Mbah Wir, lubang tersebut fungsinya seperti teropong, bisa melihat tempat yang jaraknya jauh.
Akan tetapi jimat teropong tersebut hilang, tatkala Mbah Wir baru lulus dari pondok pesantren. Hilangnya buka hilang karena dicuri, tetapi jatuh entah ke mana. Malam harinya setelah hilang, Mbah Wir dalam mimpinya didatangi oleh kakek berbaju putih.
Dalam mimpi tersebut kakek berbaju putih mengatakan harus puasa 40 hari dengan menu sahur dan berbuka berupa singkong sebesar ibu jari. Maka dengan sendirinya jimat tersebut akan kembali. Namun, Mbah Wir tidak melakukan hal itu.
ADVERTISEMENT
Kelong Wewe Laki-Laki
Rumah-rumah di keluarga besar nenek saling berdekatan satu sama lain, di tengahnya terdapat mushola keluarga yang digunakan sebagai kegiatan keagamaan di kampung. Di samping mushola terdapat pohon rambutan. Di pohon itulah dihuni oleh Wewe Gombel yang jalannya mundur. Mbah Wir yang seringkali pulang malam dari memancing, sering melihat penampakan hantu tersebut.
Selain sosok Wewe Gombel, pohon rambutan tersebut juga dihuni oleh keluarga Kelong Wewe, yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak. Beberapa dari kami pernah ditampaki keluarga Kelong Wewe tersebut. Uniknya seringkali Kelong Wewe tersebut menyerupai manusia.
Kelong Wewe laki-laki dan Kelong Wewe bocah menyerupai orang di desa kami bernama Wihad dan anaknya yang bernama Reza. Maka dari itu kami memanggilnya dengan sebutan Kelong Wihad dan Kelong Reza. Sementara Kelong perempuan sering menyerupai kakak nenek, terkadang Kelong Wewe bocah juga menyerupai anak Mbah Abu.
ADVERTISEMENT
Tentu saja mereka menampakkan diri di tengah malam. Beberapa kerabat yang hendak ke mushola untuk sholat malam sering berpapasan dengan hantu tersebut. Ketika disapa mereka akan menjawab dengan deheman “Heeem”. Tanda kehadiran mereka dikenali dengan suara sandal basah.
Suatu hari saya tidur bersama kakek, kamar kakek terletak di samping jalan yang biasa dilewati oleh hantu tersebut. Dini hari saya mendengar suara sandal basah, pas dilihat di jendela benar saja Kelong Wihad sedang menggendong Kelong Reza.
Nah, yang sering ditampaki oleh mereka ya Mbah Wir, karena memang ketika memancing pulangnya larut malam.