Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Angin (Anekdot)
23 Februari 2025 17:03 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Malik Sani Ibnu Zahir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Angin menari di kota yang tak pernah tidur, berputar di antara menara kaca yang menjilat langit, menyelinap ke ruangan-ruangan berpendingin udara, mengintip pesta-pesta yang tak mengenal lelah. Meja-meja panjang penuh hidangan berkilauan, piring-piring emas menampung kemewahan, sementara tawa berderai seperti gelas kristal yang berdenting dalam perayaan tanpa akhir.
ADVERTISEMENT
Namun, jauh di bawah gemerlap itu, di tempat angin pernah lahir, ada keheningan yang menggigil. Ada bumi yang retak, langit yang letih, dan doa-doa yang terbang tanpa alamat. Angin melayang, mencari wajah-wajah yang dulu tersenyum padanya, kini hanya tersisa tatapan kosong dan bibir yang enggan berbicara.
Angin turun ke desa-desa yang dulu menyambutnya dengan sepoi lembut. Kini, yang tersisa hanya debu beterbangan, menari di atas tanah yang merintih haus. Ia melewati jalan-jalan yang katanya telah diperbaiki, tetapi masih berlubang seperti luka lama yang tak kunjung sembuh. Ia menyapu sawah-sawah yang dulu hijau, kini mengelupas kering seperti bibir yang kehausan. Tanahnya pecah, membelah diri dalam doa yang tak terjawab, merindukan hujan yang enggan turun sejak hutan-hutan dijual lebih murah dari kesetiaan.
ADVERTISEMENT
Di sebuah rumah reyot, angin mengetuk jendela. Di dalam, seorang ibu mengaduk air kosong dalam panci, berharap keajaiban datang bersama embusan angin. Seorang ayah duduk di ambang pintu, menatap langit lebih lama daripada isi dompetnya. Di sekolah, papan tulis kehilangan warna, dan anak-anak belajar dengan buku yang lebih tipis dari harapan. Di sudut puskesmas, seorang perawat menenangkan bayi yang menangis lemah, mengabdikan diri dengan gaji yang lebih kecil dari harga sebotol anggur di pesta kota.
Angin berhembus ke ladang-ladang yang dulu menghampar hijau seperti permadani surga. Kini, batang-batang padi menunduk dalam kepasrahan, menyembunyikan tangis dalam keheningan. Sungai-sungai yang dulu bernyanyi kini hanya berbisik lirih, alirannya menyusut seperti harapan yang perlahan mengering.
ADVERTISEMENT
Namun, angin tak menyerah. Ia menyusup ke telinga mereka yang duduk di singgasana kuasa, membisikkan pesan lirih:
“Lihatlah kami. Dengar kami. Kami ada.”
Namun, mereka terlalu sibuk menggulung lengan baju, menandatangani berkas-berkas yang lebih berat dari rasa peduli. Mereka berbicara tentang pertumbuhan, angka-angka yang melonjak, stabilitas yang membanggakan—kata-kata yang bergema di ruang rapat, tetapi hampa di meja makan yang tak pernah penuh.
Malam tiba, angin berhembus di antara gedung-gedung pencakar langit. Ia mendengar suara tawa, denting gelas-gelas mewah, janji-janji yang diucapkan dengan bahasa diplomasi. Ia merasakan kebahagiaan semu yang tak menyentuh tanah tempat ia berasal.
Angin bertanya-tanya dalam kepedihannya:
Apakah negeri ini masih punya telinga? Ataukah hanya mendengar suara yang mendatangkan laba?
ADVERTISEMENT
Jika angin terus diabaikan, jika bumi terus menangis tanpa didengar, jika janji-janji hanya tumbuh di panggung pidato, maka suatu hari nanti, angin mungkin akan lupa jalan pulang. Ia akan berhenti berbisik, berhenti bernyanyi, dan membiarkan keheningan menjadi satu-satunya suara yang tersisa.